Kegagalan Finansial

Label:

Pada dasarnya globalisasi bukanlah sebuah pilihan dimana harus dilakukan secara menyeluruh atau tidak sama sekali. Contohnya, dalam perdagangan bebas sering sekali terjadi mispersepsi dimana negara-negara yang mengimplementasikannya juga harus membebaskan arus kapital. Padahal semua keuntungan dari perdagangan bebas masih bisa didapatkan sekalipun tanpa harus menanggung resiko arus kapital yang bebas. Akan tetapi dengan kondisi finansial internasional saat ini, negara-negara hanya akan berakhir dengan mengeluarkan kebijakan perdagangan bebas yang masih bayi dengan arus modal bebas sebagai air mandinya.
Hingga saat ini, arus kapital yang bebas keluar masuk dalam suatu negara justru lebih banyak menimbulkan krisis-krisis dengan efek domino. Apabila dikaitkan dengan pemikiran LeGrain, pasar finansial pada dasarnya memang sangat tidak stabil karena selalu berkaitan dengan pertaruhan masa depan yang tidak pasti. Pertaruhan serta tebakan-tebakan yang dilakukan oleh para investor, sebagai contohnya, bisa mempengaruhi masa depan itu sendiri. Apabila hari ini para investor menganggap bahwa internet adalah bisnis yang potensial untuk melakukan investasi, bisa saja pada keesokan harinya mereka berpikir sebaliknya dan malah memutuskan untuk berinvestasi kepada bisnis minyak.
Bukti nyata dari ketidakstabilan pasar finansial adalah krisis ekonomi Asia pada tahun 1997. Tanggal 2 Juli pada tahun tersebut merupakan awal terjadinya krisis Asia yang mempengaruhi beberapa negara besar di Asia yaitu Thailand, Indonesia, Korea Selatan, Jepang, Malaysia dan Filipina. Pada saat itu pemerintah Thailand tidak dapat menahan tekanan nilai tukar Baht sehingga menyerahkan perekonomian kepada mekanisme pasar. Krisis ini sekaligus menunjukkan akhir dari fenomena Asia Miracle yang tadinya merupakan wilayah paling produktif di dunia dengan laju pertumbuhan ekonomi diatas enam persen per tahunnya. Wilayah yang tadinya dijadikan barometer perekonomian dunia ini terpaksa mencari bantuan dari lembaga-lembaga perekonomian regional maupun internasional untuk menyelamatkan perekonomian nasionalnya.
Krisis ekonomi Asia sebenarnya berawal dari adanya tekanan aliran modal keluar negeri. Kondisi tersebut diikuti dengan hancurnya nilai tukar mata uang dalam negeri beberapa negara di Asia Timur dan Asia Tenggara. Tekanan modal keluar tersebut menyebabkan terjadinya defisit neraca pembayaran internasional sementara hancurnya nilai tukar mata uang dalam negeri menyebabkan terjadinya penggelembungan hutang luar negeri yang dihadapi baik negara maupun pihak swasta.
Krisis Asia 1997 baru merupakan satu contoh saja dari kerapuhan pasar finansial internasional saat ini. Kita masih bisa menyebutkan contoh-contoh lain seperti era depresi 1930, krisis Meksiko 1994, dan yang terbaru adalah krisis finansial global 2007.
Apabila membicarakan mengenai krisis, tentu kita tidak bisa melupakan IMF. Lembaga keuangan internasional ini tidak hanya menawarkan bantuan finansial saja akan tetapi juga turut campur secara langsung dalam perekonomian negara-negara yang bermasalah. Singkatnya, IMF menawarkan pil pahit berupa Letter of Intent—yaitu bentuk kesediaan negara untuk melakukan kebijakan-kebijakan ekonomi sesuai dengan langkah kebijakan ekonomi yang disarankan oleh IMF—dimana negara tersebut diharuskan untuk menerapkan Structural Adjustment Packages (SAPs) atau Paket Penyesuaian Struktural.
Salah satu contoh dari kebijakan SAP adalah pembenahan sektor fiskal dan finansial yaitu usaha untuk mengurangi defisit anggaran belanja negara dan mobilisasi dana dari dalam maupun dari luar negeri agar iklim investasi yang telah rusak akibat krisis dapat hidup kembali. Pengurangan defisit pajak dapat dilakukan dengan meningkatkan pungutan pajak dan mengurangi pengeluaran negara. Sementara itu untuk memperbaiki sektor finansial IMF membentuk tim penilai khusus lembaga keuangan, mendesain paket rehabilitasi bagi lembaga yang terkena dampak krisis dan membangun infrastruktur keuangan yang lebih efektif. Dari penjelasan ini saja dapat dimengerti kenapa kebijakan IMF disebut sebagai pil pahit. Menekan negara yang sudah terkena krisis dengan kebijakan yang mendesak masyarakatnya tidak terdengar terlalu baik hati, tentunya.
Kenapa IMF menerapkan kebijakan pil pahit ini? Karena pada dasarnya tujuan akhir dari IMF bukan untuk mengatasi krisis yang terjadi di dalam suatu negara spesifik saja, akan tetapi untuk menjaga stabilitas sistem finansial itu sendiri. Lalu, apakah pil pahit tersebut merupakan obat yang terbaik untuk mengatasi krisis?
LeGrain melihat bahwa kebijakan-kebijakan spesifik IMF, terutama dalam kasus Krisis Asia 1997 merupakan sebuah kesalahan. Privatisasi yang dilakukan Indonesia dan pengurangan hambatan perdagangan secara unilateral yang dilakukan oleh Korea Selatan—sekalipun dapat memperbaiki perekonomian—akan tetapi IMF telah melompati hak negara-negara tersebut untuk memutuskan kebijakan sesuai dengan keinginan mereka sendiri. Lebih buruk lagi, IMF membuat pihak pemerintah negara-negara Asia menaikkan suku pinjaman setinggi mungkin yang menyebabkan perusahaan-perusahaan mengalami kebangkrutan dan membunuh perekonomian itu sendiri.[3] Bahkan sekalipun para investor tetap menyimpan investasi mereka dalam negara-negara tersebut, perekonomian dalam negeri masih saja harus mengalami keporak-porandaan yang imbasnya paling dirasakan oleh masyarakat umum.
Kemudian, bagaimana cara untuk mencegah terjadinya krisis-krisis yang serupa di masa depan? George Soros memberikan alternatif untuk mengubah IMF menjadi bank sentral internasional untuk membantu mencegah terjadinya krisis. Yang lainnya mengususlkan kebijakan untuk meniadakan IMF saja sehingga bank-bank tidak melakukan pinjaman dengan ceroboh, yang disebut Soros sebagai fundamentalis pasar. Akan tetapi karena pasar finansial pada dasarnya memang tidak stabil, solusi tersebut tetap saja tidak bisa menghentikan terjadinya krisis.
Pada akhirnya, kebijakan untuk mengcegah terjadinya krisis tetap saja kembali kepada kebijakan negara-negara berkembang yang memang lebih rentan terhadap krisis. Negara-negara berkembang harus bisa melakukan reformasi tanpa harus bergantung dengan negara-negara kaya. LeGrain dengan spesifik menegaskan bahwa negara-negara berkembang harus lebih terbuka dalam menerima FDI yang stabil dalam jangka panjang. Pemerintah harus membebankan pajak dan melakukan kontrol terhadap arus kapital yang masuk seperti yang dilakukan oleh Chile dengan sukses. Negara juga harus mencegah bank-bank dan perusahaan domestik untuk melakukan pinjaman yang cenderung tidak hati-hati kepada mata uang asing. Apabila saran-saran tersebut dilakukan, sekalipun mungkin tidak bisa menghilangkan potensi krisis secara keseluruhan, akan tetapi dapat mengurangi resikonya.

Sumber:
Fischer, Stanley. 1998. The Asian Crisis: A View From IMF. Journal of International Financial Management and Accounting.
Hadiwinata, Bob Sugeng. 2002. Politik Bisnis Internasional. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.
LeGrain, Phillippe. Financial Failings dalam buku Open World.


Trip to Malaysia-1