Review: The Coming Anarchy

Label: , , , , ,
Dalam bukunya yang berjudul “The Coming Anarchy”, pada dasarnya Robert Kaplan berargumen bahwa implikasi politik dan kartografik dari postmodern, yaitu suatu periode juktaposisi tanpa tema, adalah terjadinya suatu peralihan negara bangsa yang akan digantikan oleh sebuah pola negara-kota dan regionalisme yang samar dan anarkis. Bertentangan dengan pendapat umum bawa akhir Perang Dingin berarti dimulainya masa-masa damai, menurut Kaplan era Perang Dingin justru merupakan saat-saat dimana dunia paling mendekati kondisi utopis. Dengan berakhirnya Perang Dingin, dunia malah sedang menjemput anarkisme itu sendiri. Kaplan kemudian menggunakan Afrika Barat yaitu Sierra Leone sebagai sampel negara yang cenderung anarkis dan bermasalah. Kaplan kemudian memprediksi bahwa negara-negara lain akan mengikuti jejak Sierra Leone dan kondisi dunia pada umumnya akan didominasi oleh anarki sementara negara bangsa akan mengalami kehancuran dalam skala besar.

Sebagaimana yang tersirat dalam bukunya, Kaplan berusaha menunjukkan bahwa demokrasi hanya bersifat cenderung sementara dan bahwa demokrasi serta perdamaian yang berlebihan malah merupakan suatu hal yang tidak terlalu baik. Hal ini sekaligus menunjukkan identitasnya sebagai seorang realis yang menganggap bahwa menerima batasan-batasan yang kita miliki serta mempercayai bahwa kita dapat melakukan suatu hal dengan lebih baik apabila kita mencoba seminimal mungkin adalah suatu hal yang wajar. Sekalipun begitu, saat ini, dimana sudah lebih dari satu setengah dekade sejak Kaplan memprediksi datangnya anarki, prediksi Kaplan tersebut tidak pernah benar-benar terbukti. Hingga saat ini masih belum ada negara yang mengalami kejatuhan dalam skala yang digambarkannya. Menurut penulis, Kaplan terlalu melebih-lebihkan relevansi peristiwa-peristiwa buruk yang terjadi di Afrika Barat dengan perpolitikan dunia pada umumnya. Kaplan juga tidak terlalu memperhatikan peran dari pihak pemerintah lokal, yang sebagaimanapun buruknya dalam menjalankan pemerintahan seperti yang terjadi di Sierra Leone, masih memiliki pengaruh yang sangat besar dalam kehidupan sosial masyarakatnya.

Sekalipun penulis menganggap bahwa buku Kaplan terlalu berlebihan dalam memprediksi datangnya anarki di masa depan, akan tetapi tulisannya ini dapat menjadi semacam gambaran besar peringatan bagi umat manusia akan kemungkinan munculnya masalah-masalah yang digambarkan Kaplan di masa depan. Dengan begitu, buku ini dapat menjadi alarm bagi umat manusia sehingga dapat mempersiapkan diri serta berusaha menurunkan tingkat musibah yang mungkin akan terjadi.


Sumber:
Garfinkle, Adam. Selected reviews of The Coming Anarchy. Diakses dari http://newamerica.net/publications/books/the_coming_anarchy pada tanggal 5 Oktober 2010.
Kaplan, Robert D. 2000. The Coming Anarchy: shattering the dreams of the post Cold War. New York: Random House, Inc.

Variabel Internasional dalam Pembuatan Kebijakan Luar Negeri

Label: , , ,
Dalam analisis kebijakan luar negeri level makro, para teoretis cenderung tidak tertarik untuk menciptakan teori-teori mengenai kebijakan luar negeri. Oleh karena itu, untuk melakukan analisis sering kali harus menggunakan suatu ’hubungan’ –sebagai contohnya adalah teori hubungan internasional dengan kebijakan luar negeri— dikarenakan teoretis yang bersangkutan kemungkinan tidak dapat menghubungkannya sendiri. Analisis kebijakan luar negeri kemudian harus diteliti dalam semua level analisis demi menemukan hasil yang memungkinkan untuk pilihan kebijakan luar negeri.

Analisis kebijakan luar negeri dalam level makro memiliki dua variabel penting yaitu atribut nasional dan sistem internasional. Atribut nasional meliputi hal-hal yang juga diasosiasikan sebagai kekuatan dari negara-bangsa. Contoh dari atribut nasional adalah sumber daya alam, kondisi geografis, karakteristik populasi, dan sejenisnya.

Sumber daya alam merupakan salah satu atribut nasional yang sangat populer dalam pembuatan kebijakan luar negeri. Negara-negara yang mayoritas wilayahnya berupa gurun, misalnya, keberadaan air dan akses terhadap sungai-sungai besar sangatlah penting. Masalah pertikaian atas Sungai Eufrat antara Turki, Siria dan Irak mempengaruhi politik luar negeri ketiga negara tersebut terhadap satu sama lain mengingat ketiganya sangat bergantung kepada aliran Sungai Eufrat untuk memenuhi kebutuhan hidup penduduknya. Turki yang memiliki hulu sungai Eufrat mengambil keuntungan atas letak geografisnya dengan membangun dua buah dam besar untuk tenaga listrik di Sungai Eufrat. Akibatnya, aliran air ke Siria berkurang dengan dengan drastis. Siria kemudian membangun dam yang akhirnya mereduksi aliran air ke Irak. Sebagai akibatnya, Irak yang mengalami kekurangan air yang mempengaruhi ke bidang agrikulturnya. Kondisi ini menunjukkan posisi strategis Turki atas Siria serta Siria akan Turki berkaitan dengan sumber daya air. Akan tetapi sebagai akibatnya perang nyaris pecah diantara Siria dan Turki pada tahun 1975.

Kondisi geografis juga memiliki pengaruh dalam pembuatan kebijakan luar negeri suatu negara. Dalam kasus Kashmir, dataran tinggi tersebut memiliki posisi geografis diantara India dengan Pakistan, dua negara yang selalu mengalami konflik sejak terbentuknya Pakistan sebagai sebuah negara. Dikarenakan posisi Kashmir yang strategis untuk mengontrol perang atau perdamaian antara kedua negara, India dan Pakistan berusaha untuk menguasai dataran tersebut dengan kebijakan luar negeri yang cenderung offensif satu sama lain.

Selain kondisi geografis, kedekatan geografis terkadang menimbulkan implikasi kebijakan luar negeri atau bahkan pertikaian yang berkaitan dengan batas antar negara. Contohnya adalah masalah pertikaian perbatasan antara Indonesia dengan Malaysia. Kasus yang terkenal antara kedua negara ini adalah perebutan Pulau Sipadan-Ligitan yang kemudian dimenangkan oleh Malaysia, namun menimbulkan kekecewaan diantara warga Indonesia. Hudson menjelaskan bahwa negara yang memiliki lebih banyak batas memang cenderung lebih terlibat dalam konflik regional dibandingkan dengan negara yang memiliki lebih sedikit batas.

Atribut nasional yang tidak boleh dilupakan dalam era perdagangan bebas ini adalah kapabilitas ekonomi. Negara-negara terbelakang dan negara berkembang memiliki kecenderungan untuk membuat kebijakan luar negeri yang bergantung kepada negara lain yang lebih kuat secara ekonomi. Sebagian negara-negara di Afrika memiliki ketergantungan ekonomi yang cukup besar terhadap Uni Eropa terutama di beberapa komoditas tertentu. Contohnya, negara-negara Afrika Barat memiliki komoditas ekspor utama biji cokelat yang hasilnya digunakan untuk menyokong kehidupan penduduknya. Oleh karena itu negara-negara Afrika Barat cenderung berhati-hati dalam membuat kebijakan luar negeri, terutama yang berkaitan dengan negara yang mengimpor produk biji cokelatnya, agar hubungan kedua negara tetap berjalan baik sehingga kegiatan ekspor-impor tidak terganggu.

Variabel yang kedua yaitu sistem internasional, merupakan level abstraksi tertinggi dalam ilmu hubungan internasional. Berdasarkan pandangan kaum neorealis, sistem internasional memiliki sifat dasar anarkis sehingga menimbulkan perilaku disfungsional seperti dilema keamanan. Kerjasama antara negara satu dengan lainnya sulit dilakukan karena tidak adanya kepercayaan terhadap satu sama lain. Menurut Kenneth Waltz dalam buku berjudul Theory of International Politics (1979), negara melihat negara-negara lainnya sebagai musuh potensial dan yang dapat menjadi ancaman bagi keamanan nasionalnya sehingga menyebabkan dilema keamanan yang mempengaruhi kebijakan luar negeri masing-masing negara. Akan tetapi struktur sistem merupakan faktor terpenting yang mempengaruhi tingkah laku para aktornya. Struktur memaksa aktor bertindak dengan cara-cara tertentu dan menentukan tindakan yang akan diambil. Oleh karena itu, negara-negara besar berperan penting dalam perubahan struktur internasional. Kebijakan luar negeri AS sebagai contohnya memiliki berbedaan antara tahun 1935 dengan tahun 1945; tahun 1955 dengan tahun 1989; atau tahun 1989 dengan tahun 1992, yang sangat dipengaruhi oleh sistem internasional. Sebelum tahun 1989 misalnya, kebijakan luar negeri AS sangat hati-hati terhadap Uni Soviet yang merupakan tandingan AS dalam sistem internasional yang cenderung bipolar. Pasca keruntuhan US pada tahun 1990, sistem internasional cenderung multipolar sehingga kebijakan luar negeri AS mulai terfokus pada usahanya untuk mempromosikan perdagangan bebas.
Berbeda dengan pandangan neorealis, sistem internasional menurut kaum marxis merupakan sebuah siklus panjang dari sebuah teori yang terus bergerak maju menuju kondisi ’berakhirnya sejarah’. Marx menjelaskan bahwa pergerakan sejarah, termasuk apa yang saat ini kita sebut sebagai sistem internasional berawal dari sebuah istilah materialisme, yaitu suatu kondisi dimana berbagai peristiwa yang terjadi di dunia ini berawal dari keinginan untuk menguasai suatu materi. Hal ini kemudian yang menjadikan adanya pemisahan kelas antara kaum yang memiliki materi dengan kaum buruh yang hanya memiliki tenaga. Sejarah yang merupakan cerita tantang dialektikal perpecahan antar kelas akan berakhir apabila kaum proletariat di seluruh dunia bangkit dan melakukan perlawanan. Sejarah akan berakhir ketika dunia menjadi global dan tidak ada lagi kaum yang miskin maupun yang kaya.

Berdasarkan penjelasan marxis diatas, dan digabung dengan teori Lenin mengenai pemisahan kelas dalam sistem internasional, struktur perekonomian internasional digambarkan sebagai kepentingan negara-negara besar terhadap negara-negara berkembang atau negara-negara miskin dimana negara-negara besar memiliki kebijakan luar negeri yang cenderung memanfaatkan negara kecil untuk mempertahankan kekuasaannya, sementara negara kecil memiliki kebijakan luar negeri yang cenderung dependen terhadap negara besar baik secara ekonomi, politik, bahkan militer.

Terakhir, baik atribut nasional maupun sistem internasional memiliki pengaruh yang sangat besar dalam pembuatan kebijakan luar negeri. Atribut dari sebuah sistem cenderung membentuk sebuah jaringan insentif dan disinsentif. Jaringan tersebut juga dapat terbentuk dari aktor yang memiliki prioritas yang lebih besar dibandingkan dengan nilai yang disediakan dalam jaringan yang sudah ada. Hal yang sama juga dapat dikatakan mengenai atribut nasional. AS yang memiliki wilayah yang sangat luas dan SDM yang banyak memiliki kecenderungan untuk berperan sebagai hegemon. Belanda di lain pihak berhasil membentuk dataran di bawah level ketinggian laut sehingga menjadi negara dengan kekuatan maritim terbesar di dunia.


Referensi:
Couloumbis, Theodore A. dan James H. Wolfe. 1986. Introduction to IR: Power and Justice. USA: Prentice-Hall Inc.
Hudson, Valerie. 2007. Foreign Policy Analysis: Classic and Contemporary Theory. USA: Rowman & Littlefield Publisher, Inc.
Plano, Jack C. and Roy Olton. 1982. The International Relation Dictionary. England: Cho Press Ltd.

Budaya Korupsi Afrika: Produk Kegagalan Pengelolaan Era Kolonialisme

Label: , , ,
Afrika merupakan sebuah benua yang hingga saat ini masih merasakan efek berkesinambungan dari masa kolonialisme yang dilakukan oleh negara-negara Barat. Implikasi dari masa penjajahan di masa lampau memiliki keterkaitan erat dengan perkembangan pengetahuan, lingkungan, serta masalah kenegaraaan di negara-negara tersebut—yang menyebabkan negara-negara bekas jajahan sulit untuk menjadi independen dan mengembangkan diri secara optimal.
Paul R. Josephson melihat bahwa Afrika, sebagai negara yang memiliki keragaman biodiversitas dalam ekosistem yang variatif, justru merupakan benua yang terkenal akan berbagai masalah sosial-ekonominya. Negara-negara di Afrika dan masyarakatnya menghadapi masalah ketidakpastian masa depan karena adanya deteriorasi lingkungan yang sangat cepat, minimnya akses ke air bersih, ketimpangan dalam memanajemen SDA, perang, instabilitas politik, peningkatan jumlah penduduk yang tidak terkendali, dan berbagai masalah lainnya. Masalah kemiskinan, kelaparan dan kematian terutama, masih menjadi momok bagi mayoritas negara-negara Afrika, bahkan hingga saat ini.
Dari pernyataan-pernyataan diatas, muncul sebuah pertanyaan yaitu: apa yang sebenarnya menyebabkan permasalahan-permasalahan diatas? Dan kenapa Afrika cenderung mengalami kemajuan yang sangat lambat—kalau bukan malah kemunduran—tidak seperti negara-negara bekas jajahan lain yang sudah mulai berkembang? Dari pertanyaan ini saya mengajukan tesis bahwa permasalahan utama Afrika adalah ketiadaan good governance untuk mengatur dan mendistribusikan sumber daya kepada masyarakat secara merata. Afrika yang sudah resmi menjadi wilayah jajahan negara-negara Eropa sejak tahun 1885 tidak mengenal sama sekali apa yang disebut dengan pemerintahan yang baik karena pemerintah kolonial tidak cukup peduli untuk menunjukkan dan mengajari masyarakatnya mengenai good governance itu sendiri.

Kegagalan Pemerintahan Kolonial
Henry Stanley dalam bukunya yang berjudul In Darkest Afrika menegaskan tesis saya mengenai apa yang menyebabkan benua ini tidak juga bisa bangkit dari keterpurukan ekonomi bahkan setelah memperoleh kemerdekaannya. Stanley melihat bahwa permasalahan utama Afrika adalah ketiadaan pemerintahan yang baik, terutama sejak masa-masa penjajahan yang merupakan masa-masa kritis yang membuat Afrika—sebuah benua yang masih liar dan kesukuan—menjadi wilayah-wilayah koloni di bawah pemerintahan yang terpusat dari Gubernur yang memimpin wilayah tersebut hingga ke negara atau kerajaan yang membawahinya. Para gubernur yang menjabat di Afrika tidak memiliki pengaruh yang cukup kuat terhadap pasukannya sendiri sehingga mereka tidak memiliki respek terhadap penduduk asli yang merupakan bagian dari subjek untuk menjaga keamanan dan melindungi properti. Kondisi tersebut kemudian mengarah kepada implikasi lainnya yaitu semakin terbiasanya penduduk setempat untuk selalu diinjak-injak dan diperlakukan seperti sampah oleh para pemimpinnya, apalagi ketika perlawanan hanya akan menimbulkan kesengsaraan yang lebih dalam. Dari sinilah watak masyarakat Afrika pada umumnya mulai terbentuk menjadi lebih defensif tidak terlalu ingin ikut campur dalam pemerintahan. Manajemen sumber daya alam pun sepenuhnya diserahkan kepada para penguasa koloni yang membaginya dengan sangat tidak adil. Kemudian, seiring dengan membudayanya watak masyarakat Afrika mudah tunduk dalam kontrol, korupsi juga ikut membudaya dengan sangat kuatnya sehingga sangat sulit untuk diberantas. Apabila pada masa kolonial korupsi dilakukan oleh para pejabat-pejabat kolonial, termasuk VOC, tanpa ada pengawasan yang berarti dari negara induk, budaya ini kemudian turut mengalir dalam pemerintahan pasca kemerdekaan negara-negara Afrika.
Yang menjadikan masalah korupsi ini unik adalah budaya korupsi itu sendiri berkembang dari masa penjajahan ke masa pasca kemerdekaan, dimana budaya korupsi bukan semakin melemah malah cenderung semakin kuat dan mengakar. Calderisi melihat bahwa budaya korupsi justru berkembang dari kuatnya ikatan kekeluargaan di Afrika. Dalam badan pemerintahan sendiri, para elit-elitnya menghadapi berbagai tuntutan dari para sepupu dan kerabat yang menginginkan bantuan finansial. Korupsi di Afrika ini sudah terlalu bersifat endemis dalam kehidupan masyarakatnya sehingga korupsi nyaris tidak dianggap sebagai sesuatu yang menyalahi aturan. Hanya sedikit yang menginginkan adanya perubahan secara langsung. Mayoritas masyarakatnya terlalu powerless untuk menuntut adanya perubahan itu sendiri.
Oleh karena itu, dalam usaha untuk membantu Afrika, bantuan finansial seperti Marshall Plan seharusnya ditilik ulang lagi. Karena seperti yang sudah terjadi sebelumnya, dana tersebut pasti akan lenyap di tengah jalan. Contoh terkenal adalah Presiden Mobuntu dari Zaire dan Jenderal Abacha dari Nigeria. Pemerintah Nigeria dengan terang-terangan mengijinkan anak-anak Abacha untuk menyimpan $100 juta sebagai penyelesaian untuk mengembalikan $2-3 milyar yang Abacha tumpuk di luar negeri. Rakyat Nigeria sempat gembar dengan kemurahan hati kalangan pemerintahnya. Pada akhirnya, penyelesaian tersebut tidak jadi dilaksanakan. Akan tetapi tetap saja sangat sedikit dari uang tersebut yang kembali ke masyarakat.
Selain contoh diatas, ada perbedaan menarik dari kultur korupsi di Afrika dengan negara-negara lain. Ada sebuah kisah menarik yang diceritakan oleh Julius Nyerere dari Tanzania akan perbedaan korupsi dari orang Asia dengan orang Afrika. Apabila orang Asia mengalirkan sebagian dana dari proyek ia tangani ke kantongnya sendiri, maka orang Afrika justru menggunakan keseluruhan dana untuk proyek yang serupa demi kepentingannya sendiri.

Perkembangan Kontemporer: Usaha Pemerintah-Pemerintah Lokal serta Bagaimana Usaha Tersebut Gagal
Sekalipun pemerintah-pemerintah Afrika tidak dipungkiri memiliki budaya korupsi yang sangat kuat, bukan berarti sama sekali tidak ada usaha untuk memperbaiki permasalahan-permasalahan kemiskinan, lingkungan dan sejenisnya yang semakin memburuk di Afrika. Sayangnya, langkah yang ditempuh pemerintah dalam melakukan perbaikan itu sendirilah yang menurut saya jauh dari memperbaiki masalah. Hingga saat ini mayoritas pemerintah di Afrika masih bergantung kepada negara-negara maju untuk memberikan asistensi keuangan dan teknologi. Akan tetapi, apakah paket bantuan yang diberikan oleh negara-negara maju dapat menyelesaikan masalah? Paul R. Josephson justru melihat sebaliknya.
Pertama, teknologi inovasi memiliki keuntungan yang masih dipertanyakan bagi negara-negara tersebut. Teknologi agrikultural memang memungkinkan negara-negara Afrika untuk mengatasi masalah kelaparan, akan tetapi elektrifikasi daerah-daerah pedesaan malah cenderung menimbulkan perubahan lingkungan dan kekacauan sosial. Pembangunan stasiun-stasiun hydropower, sebagai contohnya, seringkali menyebabkan relokasi sebagian atau keseluruhan komunitas masyarakat dan menghilangkan kesuburan tanah setempat.
Kedua, negara-negara bekas koloni mayoritas cenderung masih lemah, memiliki pemerintahan yang tidak terlalu transparan, serta ekonomi dan perpolitikan yang terselubung. Birokrasinya tidak memiliki kekuatan atau pengaruh yang cukup terhadap kapital mereka sendiri. Negara-negara seperti ini tidak mampu mengumpulkan data-data jangka panjang yang diperlukan untuk proyek-proyek pembangunan seperti dam air dan sejenisnya. Keadaan ini menyebabkan negara-negara Afrika rentan diintervensi oleh negara-negara besar yang memiliki keunggulan teknologi dan kapital, terutama oleh negara-negara yang menawarkan bantuan-bantuan keuangan dan teknologi. Kondisi tersebut menjelaskan trend negara-negara di Afrika dimana penduduk maupun lingkungannya tetap saja miskin kalau otoritas negara masih lemah. Sekalipun negara-negara Afrika terus mengejar pembangunan, modernisasi dan urbanisasi, tanpa adanya pembuatan kebijakan finansial, legal dan institusi-institusi regulator yang memadai untuk mendukung perubahan yang dibawa oleh inovasi-inovasi teknologi, tetap saja tujuan-tujuan tersebut tidak akan terwujud.
Josephson berargumen bahwa teknologi justru merupakan alat yang mendukung neo-imperialisme di bawah kekuasaan MNCs. Sebagai komoditas yang tidak dimiliki oleh negara-negara bekas jajahan, teknologi kemudian dijadikan alat tawar oleh negara-negara industrialis demi keuntungan mereka sendiri. Negara-negara industrialis menawarkan teknologi dan berbagai proyek-proyek asistensi untuk mengatasi berbagai permasalahan di Afrika, termasuk masalah pangan.
Para analis melihat bahwa teknologi dan bantuan asistensi keuangan yang diberikan kepada negara-negara berkembang tidak menyelesaikan permasalahan negara-negara tersebut, justru meningkatkan dependensi. Negara-negara Afrika tidak memiliki SDM yang berkemampuan untuk membangkitkan, beradaptasi dan menggunakan teknologi itu sendiri, sementara di lain pihak teknologi memiliki biaya kapitas yang sangat tinggi, hanya menguntungkan pihak-pihak tertentu saja, dan menyebabkan pergolakan sosial, ekonomi maupun lingkungan dalam proses adaptasinya. Dan dengan tingginya tingkat korupsi, dapat dipahami kenapa bantuan asistensi keuangan tidak pernah mencapai sasaran atau hilang di tengah jalan sementara bantuan teknologi rata-rata tidak diimplementasikan karena pemerintah tidak mengerahkan sumber daya secara maksimal untuk menggunakan teknologi tersebut.

Langkah Solutif untuk Memperbaiki Afrika
Dari penjabaran diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa pemerintah-pemerintah Afrika cenderung terfokus kepada solusi-solusi yang salah. Faktor paling penting untuk melakukan perubahan sosial ekonomi di Afrika bukan
Robert Calderisi menyebutkan bahwa setidaknya ada sepuluh langkah untuk memperbaiki kondisi Afrika. Sepuluh langkah tersebut dapat diperkenalkan oleh negara-negara asisten dan meliputi : a/ memperkenalkan mekanisme untuk melacak dan memperbaiki keuangan publik; b/ mewajibkan semua kepala negara, para menteri dan para pegawai senior untuk membuka rekening bank pribadi mereka agar dapat diketahui oleh publik; c/ memotong bantuan langsung terhadap negara-negara secara individual dalam jumlah setidaknya setengah dari jumlah awal; d/ memfokuskan bantuan hanya kepada empat atau lima negara namun yang memiliki keseriusan dalam melakukan usaha mereduksi kemiskinan; e/ meminta seluruh negara-negara Afrika untuk melakukan pemilihan yang diawasi oleh secara internasional; f/ mempromosikan aspek-aspek lain dari demokrasi termasuk kebebasan media dan pengadilan independen; g/ mengawasi jalannya sekolah-sekolah di Afrika serta keberlangsungan program-program untuk HIV/AIDS; h/ membentuk kelompok pengawas dari golongan masyarakat umum untuk mengawasi kebijakan pemerintah dan perjanjian-perjanjian bantuan; i/ memberikan perhatian lebih kepada infrastruktur dan jaringan regional; j/ menggabungkan World Bank, IMF dan UN Development Programme.
Kesepuluh langkah yang dianjurkan oleh Calderisi ini, apabila kita perhatikan lagi merupakan langkah-langkah untuk mengenalkan dan membentuk good governance di kawasan Afrika. Beberapa negara pendonor pun sebenarnya sudah menerapkan kebijakan ini, terutama pasca perang dingin, yang menunjukkan bahwa negara-negara asisten pun mulai gerah terhadap budaya korupsi Afrika. Sebagai contohnya, pada tahun 1991, Swedia sebagai salah satu pendonor utama Tanzania mengurangi jumlah asistensinya hingga 10 juta dolar.
Nyaris seirama dengan Calderisi, Josephson juga berpendapat bahwa negara-negara maju harus memformat bantuan yang akan diberikan dalam bentuk yang mudah diadaptasi oleh negara-negara berkembang yang masih belum siap menerima teknologi negara-negara maju secara keseluruhan. Contohnya, bantuan teknologi obat-obatan dengan harga murah, terutama untuk AIDS, nyaris tidak terlalu diperhatikan atau bahkan disertakan dalam paket-paket bantuan yang diberikan negara maju. Padahal teknologi obat-obatan justru sangat dibutuhkan oleh sebagian besar warga Afrika yang rentan oleh penyakit ini.
Saya sendiri cenderung berpendapat bahwa pemerintah negara-negara Afrika harus bisa mengambil langkah drastis terutama di bidang edukasi. Pengembangan bidang ini akan memberi kesempatan bagi para penduduk setempat untuk membangun institusi-institusi iptek milik mereka sendiri dan menciptakan teknologi yang lebih sesuai dan ramah lingkungan bagi masyarakat setempat. Dengan solusi ini, negara-negara bekas jajahan tidak lagi hanya terfokus untuk mengejar dan berusaha mengimplementasikan teknologi negara-negara maju yang belum tentu sesuai untuk mereka, akan tetapi berusaha mengembangkan potensi mereka sendiri dalam penciptaan teknologi sekaligus dalam membenahi moral masyarakatnya yang cenderung koruptif. Sejauh ini, aspek pendidikan merupakan salah satu yang kurang mendapatkan perhatian, baik dari pemerintah setempat maupun negara-negara Asisten.



Referensi:
Calderisi, Robert. 2006. The Trouble with Africa. USA: Yale University Press.
Josephson, Paul R. Development, Colonialism and The Environment.
Nzomo, Maria. The Foreign Policy of Tanzania: From Cold War to Post-Cold War.
Oliver, Roland and Anthony Atmore. 1994. Africa Since 1800. Cambridge: Cambridge University Press.

Petualangan Alfa

Label: , , ,
Alfa sudah selesai membereskan barang-barangnya. Saat ini ia merasa puas sekali karena bisa mengatur kamar barunya, nyaris serapi yang bisa dilakukan oleh ibunya. Kemudian Alfa menuruni tangga untuk mencari ibunya. Ia ingin memamerkan hasil kreasinya dalam menata kamar barunya. Ibu pasti akan memujinya. Saking bangganya, Alfa nyaris melompat-lompat.
”Bu, Alfa sudah selesai menata dan membereskan kamar. Sekarang kamar baru Alfa terlihat bersih dan rapi sekali.” lapor Alfa kepada ibunya. Ibu sedang sibuk mendorong sebuah lemari kecil. Tapi beliau berhenti sejenak dan mengusap-usap kepala Alfa. Wajahnya penuh senyuman seperti yang selalu disukai oleh Alfa.
”Anak pandai.” puji Ibu. ”Kau pasti lapar karena sudah bekerja keras. Tunggu sebentar lagi ya. Ibu akan memasakkan semur ayam kalau sudah selesai menata ruang tamu.”
”Boleh tidak kalau aku berjalan-jalan sebentar, Bu? Daerah sekitar sini benar-benar indah dan asri. Aku berjanji akan berhati-hati.” mohon Alfa.
Setelah menimbang-nimbang sejenak, ibu mengijinkan Alfa untuk pergi berjalan-jalan.
”Jangan jauh-jauh.” pesan Ibu. Alfa bersorak. ”Dan jangan ikut orang yang tidak dikenal!”
Tapi Alfa sudah berlari keluar. Ia memang sudah tidak sabar menjelajahi lingkungan rumah barunya yang terletak di pedesaan. Sebagai anak yang dibesarkan di daerah perkotaan, Alfa belum pernah melihat ayam hidup yang berkotek riang sambil mencari cacing. Segerombolan bebek yang sedang dihalau oleh penjaganya agar tidak berpencar-pencar. Bahkan ada dua ekor angsa berleher panjang yang sedang dipermainkan oleh anak-anak desa.
Alfa menoleh ke kanan dan ke kiri. Ia bingung memilih antara berkenalan dengan anak-anak desa yang sedang menggoda angsa, angsa tersebut sekarang balas menyerang kedua anak desa itu, atau melihat-lihat sungai dan persawahan yang sudah menarik perhatiannya ketika ia pertama kali memasuki desa tempat ia tinggal sekarang ini. Ketika si angsa berhasil mematuk kaki anak kedua, bocah kecil dengan rambut keriting kemerahan, Alfa memutuskan kalau berkenalan dengan anak-anak tersebut belum aman untuk dilakukan sore ini. Dengan riang ia melangkahkan kakinya ke persawahan.
Persawahan itu membentang luas seperti permadani berwarna hijau. Ada beberapa gubuk yang didirikan tiap beberapa petak sawah. Sementara itu orang-orangan sawah menjulang menakutkan tidak jauh dari tempat Alfa berdiri.
Alfa berjalan berhati-hati menelusuri pematang sawah. Ia menyapa beberapa petani yang sedang menyiangi padi. Kemudian Alfa menghampiri salah satu gubuk dan ditawari pisang goreng oleh keluarga petani yang sedang menyantap makan siang. Sambil menggigiti pisang gorengnya yang manis dan renyah, Alfa kembali menelusuri pematang.
Tiba-tiba Alfa terlonjak kaget. ”Ada ular!” pekik Alfa ketika melihat sesuatu yang licin dan panjang bergerak-gerak diantara padi di dekat pematang.
Putra keluarga petani yang memberi Alfa pisang goreng tertawa. Ia turun dari gubuk dan berlari lincah menghampiri Alfa.
”Ini bukan ular.” kata Si Anak Petani. Dengan cekatan ia menangkap binatang tersebut dan menggoyang-goyangkannya di depan wajah Alfa. ”Ini namanya belut. Enak sekali kalau dimakan. Kau mau? Ibumu bisa memasakkannya untukmu.”
Si Anak Petani tersenyum lebar. Wajahnya yang terbakar membuat giginya terlihat sangat putih. Ia memakai caping kecil seperti yang dipakai oleh ayahnya. Dalam senyumnya ada sebuah ketulusan yang membuat Alfa yakin kalau anak petani itu tidak bermaksud mengolok-oloknya.
”Eh, tidak usah saja deh. Aku lebih senang melihat binatang itu hidup bebas.” kata Alfa namun tak urung mundur selangkah ketika belut yang dicengkeram Si Anak Petani bergoyang-goyang hampir mengenai wajahnya.
Si Anak Petani tampak keheranan. Tapi ia melepaskan belut tersebut sesuai keinginan Alfa.
”Namaku Alfa.” kata Alfa. ”Kalau kamu?”
Si Anak Petani menegakkan tubuhnya dan tersenyum lagi. ”Namaku Rahman. Kamu anak baru ya di lingkungan ini?”
Alfa menganggukkan kepalanya. Kemudian mereka berdua berjabat tangan.
”Aku baru saja mengantar makan siang untuk bapak bersama ibuku. Sekarang aku mau mencari kerang untuk lauk makan malam kami. Kamu mau ikut?”
”Tentu saja.” kata Alfa senang.
Mereka berdua berjalan menuju sungai kecil yang berada tidak jauh dari persawahan. Sungai tersebut dikelilingi pepohonan tinggi yang Alfa tidak ketahui namanya. Angin semilir berhembus sejuk menyegarkan tengkuk Alfa yang basah oleh keringat.
”Hei, itu ada teman-temanku,” kata Rahman. ”Ayo, kukenalkan pada mereka.”
Rahman berlari mendahului Alfa. Ia meloncat tanpa ragu-ragu ke sungai dangkal di hadapan mereka dan menghampiri dua anak yang masing-masing membawa ember kecil. Alfa mengenali kedua anak tersebut sebagai anak yang mengganggu angsa di dekat rumahnya.
”Alfa! Ayo kemari!” panggil Rahman. Ia melambai-lambaikan tangannya dengan tidak sabar.
Alfa ragu-ragu sejenak. Namun dengan segera ia tidak bisa menahan godaan air sungai yang terlihat sejuk itu. Tanpa melepaskan sendalnya, Alfa memasuki sungai dengan hati-hati. Air sungai tersebut hanya mencapai lututnya. Airnya terasa dingin menyegarkan membuat Alfa sedikit tergoda untuk mencelupkan kepalanya sekalian.
”Alfa, ini Bandi dan Agus. Teman-teman, ini Alfa. Dia baru saja pindah ke desa kita. Hari ini tepatnya.” kata Rahman.
Alfa bersalaman dengan Bandi dan Agus. Bandi adalah anak berambut keriting kemerahan yang dipatuk oleh angsa tadi. Sementara itu Agus bertubuh gempal dengan rambut hitam lurus dan hidung sedikit pesek.
”Hei, aku tahu siapa kamu.” kata Agus. ”Keluargamu membeli rumah di sebelah rumahku.”
Alfa mengangguk. ”Aku juga tahu siapa kalian berdua. Kalian yang tadi mengganggu angsa-angsa di dekat rumahku.”
Bandi dan Agus tertawa.
”Kami hanya ingin memperoleh dua lembar bulunya. Untuk tugas prakarya sekolah besok pagi. Bulunya harus dicelupkan ke pewarna, ditempelkan ke kertas putih dan seterusnya. Tapi mendapatkan bulu angsa jelas-jelas sebuah tantangan. Kaki Bandi dipatuk sementara siku tanganku sedikit lecet sebelum kami mendapatkan dua lembar bulu.” jelas Agus.
”Ooh...” Alfa manggut-manggut. ”Aku juga mendapatkan tugas itu di sekolahku yang lama. Aku mencabut bulunya dari kemoceng di rumah.”
Bandi dan Agus serentak menepuk kepala bersamaan. ”Iya juga ya! Kenapa kami tidak memakai bulu dari kemoceng saja?” Mereka berempat tertawa bersama-sama.
”Hei, lihat. Kalian berdua sudah mendapatkan banyak kerang. Bahkan ada kepiting juga.” kata Rahman sambil menengok ember Bandi dan Agus.
”Untuk dimakan?” tanya Alfa.
”Tentu saja tidak.” kata Bandi tertawa. ”Kau tidak bisa memakan kepiting sungai.”
”Kami masih akan menelusuri sungai. Kalian berdua mau ikut?” tanya Agus.
Rahman mengeluarkan kresek hitam dari saku celananya. ”Tentu saja.” sahut Rahman sambil mengibaskan kreseknya.
Mereka berempat menelusuri sungai bersama-sama. Dengan cepat Alfa belajar mencari kerang berwarna coklat kehijauan dari balik bebatuan dan pasir di dasar sungai. Ia memekik kecil ketika melihat seekor kepiting yang berenang-renang mengikuti arus sungai. Ia sangat senang memperhatikan ikan-ikan kecil berwarna keperakan yang bermain-main di dekat kakinya. Ikan-ikan itu bersembunyi dengan cepat kalau tangan Alfa sudah mau menyentuh mereka.
”Cantik sekali ikan-ikan ini.” kata Alfa. Bandi menoleh. ”Ikan jenis itu tidak terlalu enak dimakan. Tapi, ya, kurasa mereka memang cantik. Aku suka warna peraknya.”
Alfa tersenyum dan meneruskan mencari kerang. Ia bersorak setiap kali menemukan kerang yang besar. Ketiga teman barunya terlihat senang dengan semangat Alfa dan mengajarinya hal-hal baru seperti nama-nama tumbuhan di sekitar mereka, binatang apa saja yang mudah dicari di sungai serta enak dimakan, dan lain sebagainya.
”Tumbuhan itu namanya talas. Bisa membuat gatal-gatal.” kata Rahman kepada Alfa yang sedang memelototi tumbuhan berdaun lebar di tepi sungai. Alfa langsung menarik tangannya yang sudah terulur untuk menyentuh daunnya. ”Tapi kalau kau tahu cara mengolahnya, batang talas bisa menjadi makanan yang lezat.”
Alfa sedikit tidak percaya kalau batang tanaman apapun bisa terasa lezat. Tapi ia tidak mengatakan apapun.
Mereka berempat bercanda-canda dengan berisik, terkadang memercikkan air sungai ke wajah kawannya yang lain. Pakaian Alfa sudah separo basah. Akan tetapi ia tidak bisa berhenti tertawa. Ketiga teman barunya itu sangat lucu. Terutama ketika mereka sudah mulai berdebat. Saat ini mereka mulai mendebatkan jenis dan ukuran cacing untuk memancing di empang yang terletak di perbatasan desa. Kebanyakan Alfa hanya mendengarkan dengan tertarik karena ia tidak pernah mencari cacing untuk memancing. Bahkan sebenarnya ia belum pernah memancing apapun. Ia harus ingat untuk meminta teman-temannya agar tidak lupa mengajaknya ketika mereka pergi memancing.
Akhirnya, ketika plastik yang dibawa Rahman mulai sedikit menggembung dan ember-ember Bandi dan Agus terlihat agak penuh, Alfa sudah merasa sebagai anak desa sejati. Ia bahkan tidak terlalu kaget lagi ketika seekor belut melintas cepat diantara kaki-kakinya.
Kalau ia sudah sampai di rumah nanti, akan ada banyak hal yang ingin ia ceritakan kepada ibunya, pikir Alfa. Hari ini ia benar-benar mengalami petualangan yang menakjubkan! Dan ibunya juga harus tahu kalau Alfa sudah mendapatkan beberapa teman baru yang hebat. Coba kalau keluarga mereka memutuskan pindah ke desa dari dulu-dulu saja, angan Alfa.
Ketika matahari semakin rendah di ufuk barat, Alfa berlari-lari bersama teman-teman barunya. Mereka berlomba-lomba mendahului satu sama lain untuk mencapai rumah masih-masing. Kedua tangan Alfa penuh oleh kerang-kerang yang masih basah oleh air sungai. Kira-kira ibu bisa memasak kerang-kerang ini atau tidak, ya?

*****

Fundamentalisme dan Tatanan Dunia Baru

Label: , , , ,
Setiap gerakan fundamentalisme terjadi karena orang-orang yang berada di balik gerakan-gerakan tersebut menginginkan adanya perubahan. Entah perubahan itu di bidang sosial, politik maupun di bidang budaya dan religi. Dan pada dasarnya, perubahan yang diinginkan oleh fundamentalis adalah membentuk sebuah tatanan dunia baru yang sesuai dengan kepercayaan atau ideal mereka.

Membahas fundamentalisme maka agama merupakan salah satu topik wajib yang selalu dikaitkan dengan istilah fundamentalisme sendiri. Saat ini, dengan berbagai perubahan yang dibawa oleh globalisasi, agama tidak lagi bergerak di ranah-ranah yang bersifat privat saja akan tetapi semakin terbuka dan berinteraksi di ranah-ranah publik. Di Indonesia sendiri, organisasi keagamaan bahkan memainkan peranan yang cukup penting di pemerintahan. Contoh yang paling dikenal adalah Nahdlatul Ulama. Tidak hanya di Indonesia, di Amerika Serikat pun gereja-gereja juga melakukan interaksi langsung dengan publik melalui kegiatan-kegiatan sosial atau edukasi. Sekalipun dua contoh diatas menunjukkan bahwa interaksi antara agama dengan publik atau bahkan pemerintahan bisa berlangsung dengan baik, akan tetapi di beberapa kasus, interaksi antara agama dengan publik bisa membawa akibat-akibat yang tidak diinginkan. Di Lithuania sebagai contohnya, gereja-gereja di negara tersebut justru mendorong masyarakat untuk bertindak melanggar kepentingan umum.

Islam dan Tatanan Dunia Baru

Gerakan-gerakan fundamentalis yang mengusung nilai-nilai Islam saat ini tidak hanya menginginkan perubahan sosial demi perbaikan kualitas hidup semata. Melalui nilai-nilai Islam yang mereka usung, gerakan-gerakan fundamentalis Islam menginginkan pembentukan masyarakat berdasarkan konsepsi dan syariah-syariah Islam. Jadi, sebagai alternatif dari globalisasi, gerakan-gerakan semacam itu berusaha turut bergerak dan berpartisipasi di bidang politik maupun ekonomi, namun tetap dengan mempertahankan kesadaran diri terhadap akar budaya mereka sendiri. Contoh dari gerakan fundamentalisme Islam yang juga terkenal di Indonesia adalah Hizbut Tahrir. Dengan menggunakan masyarakat sipil sendiri, Hizbut Tahrir berusaha membuat tatanan dunia baru yang disebut dengan kekhalifahan. Kekhalifahan merupakan tatanan masyarakat Islam yang pada zaman dahulu muncul pasca meninggalnya Nabi Muhammad. Dalam kekhalifahan, pemimpin yang disebut sebagai Khalifah haruslah beragama Islam. Masyarakatnya sendiri juga harus hidup dalam norma-norma yang diajarkan oleh Islam. Agama-agama lain diijinkan tetap berkembang dan berdampingan secara damai dalam masyarakat tersebut namun tidak bisa berperan aktif dalam perpolitikan.

Fundamentalisme Kristen

Tidak hanya di Islam saja, di agama-agama lain juga terdapat gerakan-gerakan fundamentalisme yang berusaha menonjolkan kepercayaan masing-masing dalam masyarakat. Di AS, ada gerakan yang disebut dengan The Family yaitu gerakan fundamentalis elit yang berusaha memperoleh kekuasaan dengan melakukan kontrol institusi-institusi di AS. Untuk mengembalikan tatanan konservatif, gerakan ini melakukan pembaptisan terhadap elit-elit ekonomi lokal dengan nilai-nilai ke-Kristen-an. Dan untuk memperkuat jaringan politik maupun bisnis mereka, The Family bergerak melalui organisasi-organisasi bayangan seperti the Fellowship, kedutaan Kristen, jaringan doa Capitol Hill, dan sebagainya.

Fundamentalisme Yahudi

Salah satu gerakan fundamentalisme Yahudi yang terkenal adalah Zionisme. Awal mula terbentuknya gerakan ini dimulai pada tahun 1986 ketika Theodore Herzl, seorang jurnalis Yahudi berkebangsaan Austria, menerbitkan bukunya yang berjudul Der Jundenstaat. Herzl merupakan orang yang mencetuskan pendirian negara Israel. Alasan Herzl adalah munculnya paham anti-semit di negara-negara Eropa Timur dan Eropa Tengah, terutama di Jerman. Hal itu pulalah yang menyebabkan terbunuhnya Alfred Dreyfus, Kapten Tentara Prancis yang juga adalah orang Yahudi, karena dituduh menjadi mata-mata musuh. Dalam bukunya, Herzl mengungkapkan bahwa:

1. Orang-orang Yahudi, dimanapun juga mereka berada di permukaan bumi ini, di negara manapun juga meereka bertempat tinggal akan tetap saja merupakan sebuah "bangsa" yang tunggal.
2. Mereka selamanya dan di mana sajapun selalu menjadi korban pengejaran.
3. Mereka sama sekali tidak dapat diasimilasikan oleh negara-negara dimana mereka telah bertempat tinggal sekian lamanya.

Pemecahan yang diajukan Herzl adalah membentuk negara Yahudi yang berdiri sendiri di tanah Zion (Jerusalem), yang merupakan tanah yang dijanjikan Tuhan bagi mereka. Gerakan untuk kembali ke tanah Israel tersebut kemudian disebut dengan Zionisme. Melalui pemikiran Herzl itulah Zionisme berubah menjadi sebuah gerakan terorganisir yang bertujuan mewujudkan pendirian negara Yahudi. Sebuah kongres Yahudi Internasional digelar di Bassel Swiss pada tahun 1987. Dalam kongres ini disepakati bahwa seluruh Yahudi-Diaspora, atau warga Yahudi yang masih berserak di seluruh dunia, diharuskan segera bermigrasi ke Promise Land yaitu kota Yerusalem. Sekalipun pada mulanya orang-orang Yahudi, terutama yang sudah mapan, merasa enggan untuk pindah ke Palestina, pada akhirnya mereka berbondong-bondong bermigrasi ke Palestina ketika Tragedi Holocaust meletus. Dalam perkembangannya gerakan Zionisme ini berusaha menggunakan tindak-tindak kekerasan dan berusaha mengusir masyarakat Palestina yang mayoritas Islam dari tanah mereka sendiri. Tatanan baru yang diinginkan oleh kaum Zionis ini cenderung lebih eksklusif dibandingkan dengan gerakan fundamentalis lain dimana lingkup yang diinginkan masih hanya sebatas di kawasan konflik Israel-Palestina saja. Akan tetapi dengan menyebarnya kaum Zionis ke seluruh penjuru dunia, termasuk di kalangan pemerintah AS dan di negara-negara Eropa, bukan tidak mungkin kaum Zionis menginginkan sesuatu yang lebih besar lagi untuk para pengikutnya.

Clash of Fundamentalism

Peningkatan gerakan-gerakan fundamentalisme baik dari Timur maupun dari Barat, dari Hizbut Tahrir hingga Ku Klux Klan, memunculkan mitos baru yang disebut dengan clash of fundamentalism atau benturan fundamentalisme yang diprediksi dapat mengguncang tatanan dunia saat ini. Guncangan tersebut terjadi dalam kondisi ketika para ekstrimis dari Barat bertabrakan dan berkonflik dengan para ekstrimis dari Timur. Kondisi ini dimisalkan dengan fundamentalisme politik dari neokonservatif Kristen melawan fundamentalisme agama dari para ekstrimis Islam yang merupakan representasi dari war on terrorism yang dicetuskan oleh Bush sebagai tokoh neokonservatif (Barat) dengan kelompok teroris Islam Al Qaeda (Timur).

Teori Clash of Fundamentalism, menurut penulis pribadi, tidak sepenuhnya mitos belaka. Sebagaimana Clash of Civilization yang dulunya juga dianggap sebagai mitos, juga sudah mulai terlihat kebenarannya dengan benturan antara peradaban Barat, peradaban China dengan Konfusianismenya ataupun peradaban Islam di Timur Tengah. Sejauh ini baik kaum neokonservatif maupun Al Qaeda memang hanya merepresentasikan dua dari berbagai gerakan-gerakan fundamentalisme yang ada di dunia. Bahkan untuk Islam sendiri, Al Qaeda hanyalah satu dari berbagai gerakan fundamentalis yang ada, dimana Al Qaeda dan teror yang digunakan untuk mempromosikan Islam tidak bisa digunakan untuk menilai umat Islam secara keseluruhan karena pada dasarnya yang diajarkan oleh Islam dan agama-agama lain di dunia adalah perdamaian. Akan tetapi masih ada contoh lain ketika ekstrimis Islam berkonfrontasi dengan ekstrimis Yahudi dalam kasus Israel-Palestina, dan mungkin saja masih akan bermunculan kasus-kasus lain yang serupa sebagai konsekuensi globalisasi.


Referensi
Brinkley, Alan. 2003. American History: A Survey. New York: McGraw-Hill.
Garaudy, Robert. Israel dan Praktik-Praktik Zionisme. Bandung: Pustaka.1988.
Khaled, Mahjabeen. 2007. Globalization and Religion pdf. , diakses 20 Mei 2010 Tatanan Dunia Baru

Biodiversitas dan Hak Properti Intelektual

Label: , , ,
Mengaitkan biodiversitas dan hak properti intelektual akan merujuk kepada gerakan Demokrasi Bumi yang dilakukan oleh Vandana Shiva sebagai salah satu contoh yang terkenal. Gerakan yang dipelopori oleh Shiva tersebut mendorong terjadinya protes yang dilakukan oleh para petani India terhadap Dunkel Draft Text (DDT) dari negosiasi GATT di Uruguay. The Trade Related Intellectual Property Rights atau TRIPs atas DDT tersebut bagi para petani India merupakan suatu hal yang tidak dapat ditoleransi—mengingat bibit dan biodiversitas sangatlah mendasar dalam proses produksi makanan—sehingga karenanya menyimbolkan adanya perbudakan yang dilakukan oleh TNCs. Hal inilah yang kemudian mendorong petani India melakukan gerakan diam kedua pada tahun 1992 (gerakan yang pertama berlangsung pada tahun 1942 yang dipelopori oleh Mahatma Gandhi).
Kenapa draft tersebut dianggap sebagai ancaman? Karena bagi para petani India, draft tersebut jelas merugikan para petani dunia ketiga yang merupakan pendonor biodiversitas dengan mereproduksi dan memodifikasi sendiri materi tanaman dan bibit-bibitnya. Bagi para petani, bibit merupakan suatu hal yang sangat esensial, anugerah dari alam dan dapat ditukarkan dengan bebas antara petani satu dengan petani lainnya dan antara negara satu dengan yang lainnya. Oleh karena itu, monopoli terhadap bibit, dalam hal ini disebut sebagai Bibit Satyagraha, merupakan suatu hal yang melanggar hak cipta dan dapat disamakan dengan kasus hukum garam di Inggris.
Bagi Shiva, pematenan yang dilakukan melalui TRIPs sebagaimana yang dijelaskan diatas merupakan efek dari globalisasi yang pada dasarnya membahayakan hak-hak kehidupan masyarakat pada umumnya. Oleh karena itu, tidak heran kaum petani di India melakukan gerakan untuk menolak kebijakan tersebut. Dalam level pertama, penolakan dilakukan dengan perlawanan. Argumen dasarnya adalah, kehidupan bukan ciptaan manusia, oleh karena itu tidak dapat dimonopoli oleh pihak-pihak tertentu, sekalipun ada royalti yang diberikan sebagai timbal balik. Dalam level kedua difokuskan kepada usaha untuk merebut kembali demokrasi rakyat dalam menjaga maupun menggunakan biodiversitas secara berkelanjutan. Untuk level yang kedua ini, Shiva mencontohkan gerakan yang berlangsung di salah satu desa di India pada Hari Lingkungan Hidup 1998 yang berusaha mendeklarasikan kedaulatan untuk mengkonversi biodeversitas mereka sendiri.
Masalah antara biodiversitas melawan hak intelektual properti di India kemudian menjadi semakin memanas. Masalah hak paten beras Bismati merupakan salah satu contoh lainnya. Ricetec Inc. sebagai perusahaan yang mengklaim dan mematenkan beras tersebut mendapatkan penolakan dari masyarakat yang telah mengkonsumsi beras tersebut selama berabad-abad. Masyarakat bahkan menuduh perusahaan tersebut melakukan pencurian dan pembajakan terhadap masyarakat lokal.
Bagi TNC seperti Ricetec Inc. sendiri, kecenderungan masyarakat negara-negara dunia ketiga yang menganggap bahwa biodiversitas serta pengetahuan mengenai pemanfaatannya tersebut sebagai halangan dalam melakukan ekspansi pasar. Satu hal yang menarik disini, dari sudut pandang TNCs, pemanfaatan biodiversitas seperti reproduksi benih yang dilakukan oleh para petani-petani kecil secara bebas juga merupakan suatu pentuk pencurian. Oleh karena itulah permintaan akan hak properti intelektual yang diinginkan oleh TNCs sebenarnya merupakan suatu asumsi yang tidak dapat dibenarkan mengingat sebagai ganti dari investasi, TNCs tersebut menginginkan monopoli sebagai gantinya.
Dari penjabaran dan contoh-contoh diatas, Shiva sebenarnya berusaha berargumen bahwa globalisasi yang membawa tren liberalisme dan privatisasi terhadap berbagai unsur-unsur kehidupan termasuk biodiversitas merupakan suatu hal yang melanggar hak-hak manusia atas alam. Gerakan sebagaimana yang dilakukan oleh penduduk India dalam mendeklarasikan kedaulatan untuk mengkonversi biodiversitas sebenarnya merupakan salah satu contoh dari berbagai respon terhadap globalisasi yang dianggap telah mengingkari kemerdekaan sipil dan kebebasan.
Praktek yang berlangsung terkait kebijakan TRIPs tersebut membuat keragaman biodiversitas seperti benih dikuasai oleh raksasa-raksasa korporat global tertentu. Kondisi itu tentu saja tidak dapat dibenarkan mengingat bibit-bibit seharusnya berada di tangan para petani. Hal yang sama juga terjadi dengan air, hutan, dan sebagainya. Jadi, sistem ekonomi global saat ini bukannya malah membantu masyarakat malah justru merebut berbagai kebutuhan hidup masyarakat yang sebenarnya sudah tersedia di sekitar mereka, akan tetapi tidak dapat dimanfaatkan untuk kepentingan umum secara maksimal akibat eksploitasi yang terjadi. Shiva berargumen bahwa model ekonomi kapitalisme liberal yang mendukung privatisasi ini justru mendorong peningkatan ketidakamanan ekonomi bagi sebagian besar masyarakat, terutama yang menyandarkan hidupnya dari hasil alam seperti para petani dan nelayan. Bahkan negara yang seharusnya menjadi pelindung masyarakat pun sekarang tidak dapat menjalankan fungsi dengan selayaknya karena hak absolut atas sumber daya alam yang ada di tangan negara dilalihkan kepada korporat-korporat yang kebanyakan adalah dari negara-negara lain. Belum lagi konsekuensi dari eksploitasi yang dilakukan oleh pihak korporat tersebut cenderung merusak ragam biodiversitas tanpa adanya rasa pertanggungjawaban terhadap masyarakat lokal.
Apabila dipandang dari sudut yang lebih radikal lagi, hak intelektual properti dapat menjadi alat yang digunakan oleh TNCs dalam melakukan kolonialisasi, atau dalam hal ini rekolonialisasi dunia ketiga setelah masa kolonialisasi yang dimulai pada jaman Colombus. Bibit Satyagraha contohnya menjadi simbol baru terhadap perjuangan untuk memperoleh kebebasan dalam memerangi sistem yang berlangsung saat ini secara damai sebagaimana yang dicontohkan oleh Gandhi.
Menurut saya sendiri, pandangan Shiva diatas memang cenderung ekstrim dalam memandang globalisasi dan privatisasi. Akan tetapi pandangan tersebut sebenarnya tidak dapat disalahkan. Kerusakan alam yang terjadi dalam dekade-dekade belakangan ini cenderung terjadi karena adanya eksploitasi manusia yang dilakukan secara berlebihan. Eksploitasi dalam batas yang sewajarnya sebagaimana yang dilakukan oleh individu-individu yang bekerja sebagai petani, nelayan, bahkan tukang kayu tidak akan membawa kerusakan yang separah ini karena ada norma-norma tradisional diantara masyarakat negara-negara dunia ketiga mengenai hidup yang sederhana dan mengambil secukupnya dari alam. Eksploitasi yang dilakukan oleh TNCs di lain pihak dilakukan semaksimal mungkin untuk mengeringkan sumber daya yang seharusnya dimiliki oleh masyarakat luas demi keuntungan sebesar-besarnya. Sebagai akibatnya, uang hanya berputar kepada sejumlah kecil manusia sementara mayoritas bukan hanya menderita kehilangan sumber penghidupan yang kemudian berujung kepada ketidakstabilan sosial politik. Dan apabila kita perhatikan lagi, ketidakstabilan sosial politik akibat eksploitasi pihak-pihak korporat itulah yang menyebabkan munculnya gerakan-gerakan sosial di seluruh dunia yang kemudian identik dengan gerakan-gerakan fundamentalisme.

Referensi:
Heffni Effendi. 2010. Masalah Sumber Daya Alam di Indonesia. Diakses dari www.mediaindonesia.com/webtorial/klh/?ar_id=NzEx0Q pada 31 Mei 2010.
Shiva, Vandana. Biodiversity and Intellectual Property Rights.