Pengaruh Sistem Moneter Internasional Terhadap Bisnis Internasional

Label: , , , , , ,
Evolusi Dalam Sistem Moneter Internasional
Pembabakan sejarah sistem moneter internasional diawali dengan penggu-naan standar emas. Sistem dengan menggunakan standar emas berlangsung antara tahun 1880 hingga 1914. Dalam sistem tersebut, negara menentukan sendiri mata uangnya dalam nilai emas tertentu. Bank sentral kemudian diperbolehkan memperjualbelikan emas sesuai dengan kurs yang telah ditetapkan.
Kurs mata uang satu negara terhadap negara lain ditentukan dengan emas. Misalnya Amerika menetapkan satu gram emas sama dengan US $4 sementara Inggris menetapkan satu poundsterling untuk emas dengan berat yang sama, maka kurs antara Amerika dan Inggris adalah US $4 sama dengan satu pounsterling.
Pada masa perang dunia kedua perekonomian internasional mengalami kondisi khaos. Oleh karena itu ketika perang sudah berakhir ide untuk membentuk sistem moneter yang baru pun mulai terbentuk. Pada tanggal 1 hingga 22 Juli 1944, Presiden Franklin D. Roosevelt mengadakan konferensi moneter dan keuangan PBB yang diselenggarakan di Bretton Woods. Konferensi tersebut diadakan untuk memperbaiki perekonomian dunia pasca perang dunia kedua. Pertemuan yang dihadiri oleh lebih dari 40 negara tersebut menghasilkan suatu perjanjian yang menegaskan hegemoni Amerika Serikat di dunia internasional. Melalui konferensi tersebut dibentuklah fixed-exchange rate system, bank dunia dan IMF untuk memperbaiki kondisi Khaos pada dekade 1930-an.
Dalam Bretton Woods system of fixed-exchange rate, Amerika Serikat berlaku sebagai international trade currency dimana mata uang dollar Amerika yang digunakan sebagai mata uang dunia. Nilai dollar pada saat itu ditetapkan sebesar 35 dolar per ons emas. Dengan penetapan sebesar itu, nilai dollar meng-gantikan nilai mata uang poundsterling sebagai mata uang sentral di dunia interna-sional. Nilai mata uang dollar kemudian menjadi patokan bagi nilai mata uang negara-negara lain dengan fluktuasi nilai tidak lebih dari satu persen. Untuk nilai fluktuasi lebih dari satu persen harus dilakukan dengan konsultasi bersama.
Dari sistem moneter Breton Woods tersebut, IMF berfungsi dengan memonitor moneter internasional sekaligus bertindak sebagai badan kriling tran-saksi moneter antar negara. Apabila ada negara yang mengalami ketidakseimba-ngan neraca pembayaran, maka melalui negosiasi dengan IMF negara tersebut akan diberi kuasa untuk mendevaluasikan mata uangnya. Pada saat itu, lebih dari setengah negara di dunia menggunakan dollar untuk menyimpan devisa negara di bawah payung rezim ekonomi internasional Amerika Serikat.
Sistem moneter Bretton Woods akhirnya mengalami keruntuhan ketika Amerika mengalami defisit sementara nilai dollar semakin melemah. Akhirnya sebuah sistem baru digunakan yaitu yang disebut dengan sistem mengambang. Dalam sistem mengambang, nilai tukar mata uang masing-masing negara sangat bergantung pada mekanisme pasar. Di lain pihak, pemerintah memiliki peranan penting dalam mempertahankan kekuatan mata uang domestik di pasar global, terutama melalui kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan.

Sistem moneter saat ini dan pengaruhnya terhadap bisnis internasional

Dalam sistem moneter mengambang, menentukan nilai tukar mata uang negara yang satu dengan yang lain cukup sulit karena nilai mata uang selalu ber-fluktuasi sesuai dengan kondisi pasar. Oleh karena itu, bagaimana cara menentu-kan nilai tukar mata uang? Untuk menjawab pertanyaan tersebut terdapat dua konsep yang harus dipahami terlebih dahulu, yaitu hukum satu harga dan paritas daya beli.
Hukum satu harga menetapkan bahwa sebuah produk yang identik harus memiliki harga yang sama pula di semua negara ketika harganya diekspresikan dalam sebuah mata uang yang umum. Kegunaan dari hukum satu harga adalah untuk membantu menentukan apakah sebuah mata uang memiliki nilai yang berlebih atau sebaliknya. Contoh dari penggunaan hukum satu harga yang terkenal adalah indeks Big Mac yang dipublikasikan oleh majalah The Economist. Big Mac digunakan untuk menguji hukum satu harga karena memiliki kualitas yang hampir sama di semua negara dan diproduksi oleh semua negara dimana McDonald’s berada. Dalam indeks Big Mac yang terbaru, harga rata-rata Big Mac adalah $3.15 di Amerika Serikat. Yang termurah ditemukan di China dengan harga yang setara dengan $1.30 dan yang paling mahal ditemukan di Swiss dengan harga $4.93. Hal ini menunjukkan bahwa mata uang China di bawah nilai standar sementara Swiss sebaliknya.
Kedua adalah teori paritas daya beli yang merupakan kemampuan relatif dari nilai tukar dua negara untuk membeli sejumlah barang yang sama. Teori yang dikemukakan oleh Gustav Bassel ini menyebutkan bahwa kurs antara dua negara berbeda akan berada dalam keseimbangan apabila harga barang-barang maupun jasa disamakan. Contohnya, harga satu kilogram beras di AS adalah $1 sementara di Indonesia Rp 10.000,00, maka paritas daya beli antara AS dan Indonesia adalah US $1 sama dengan Rp 10.000,00
Setelah dipahami konsep untuk menentukan nilai tukar mata uang, berikut-nya adalah membahas tentang pengaruh dari sistem mengambang tersebut terha-dap bisnis internasional.
Dalam sistem mengambang, pergerakan nilai tukar mata uang memiliki efek terhadap perusahaan-perusahaan domestik maupun internasional. Contohnya adalah permintaan produk suatu perusahaan di pasar dunia sangat dipengaruhi oleh nilai tukar tersebut. Ketika nilai tukar mata uang sebuah negara lemah, harga barang-barang ekspor menurun sementara biaya untuk impor meningkat. Hal ini memberikan kesempatan kepada perusahaan untuk mengambil pangsa pasar perusahaan lain yang sejenis.
Perusahaan-perusahaan internasional dapat memanfaatkan kondisi me-ngambang tersebut untuk mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya. Contohnya adalah perusahaan Dell Computer yang menjual produknya di negara-negara de-ngan nilai tukar yang kuat sementara membuat produknya di negara Malaysia dengan nilai tukar mata uang yang lebih lemah. Dell membayar para pekerjanya dalam mata uang lokal yaitu Ringgit Hal ini menyebabkan Dell Computer menda-patkan keuntungan yang sangat tinggi. Ketika krisis Asia terjadi, keuntungan yang diperoleh Dell semakin besar lagi karena pendapatan mengalir dari negara-negara yang mata uangnya semakin menguat sementara pembayaran upah buruh dan pegawai diberikan dalam mata uang yang nilainya semakin menurun secara drastis.
Akan tetapi karena sistem mengambang tidak dapat diprediksi, ketika kurs mata uang satu negara mengalami kejatuhan seperti pada kasus Peso Argentina pada tahun 2002, banyak perusahaan internasional di Argentina yang keuntungan-nya terganggu. Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa sekalipun dalam kondisi-kondisi tertentu sistem mengambang dapat memberikan keuntungan yang besar bagi perusahaan, akan tetapi resiko yang harus ditanggung juga semakin besar. Semakin besar resiko, biaya asuransi untuk menjaga dari berbagai kemung-kinan yang terjadi juga semakin besar.
Kurs yang terus berubah-ubah juga membawa efek negatif bagi perda-gangan internasional suatu negara. Ketidakstabilan dalam lalu lintas pembayaran internasional dapat mengurangi volume perdagangan. Bagi negara-negara yang selalu bergantung pada perdagangan internasional, perubahan tersebut dapat menyebabkan harga barang-barang dalam negeri selalu berubah sehingga keper-cayaan masyarakat terhadap mata uang juga semakin menurun.


Sumber:
Anonim. International Monetary System.
Anonim. Sistem Internasional. Diakses dari http//pdf-searh-engine.com/sistem-moneter-internasional-pdf.html pada tanggal 20 Oktober 2009.
Ball, Donald A. International Business.

Yaman: Pusat Krisis di Timur Tengah Selanjutnya atau Masih Mungkinkan untuk Diatasi?

Label: , , ,

Dibandingkan dengan negara-negara Timur Tengah yang lainnya, Yaman merupakan negara kecil yang sebelumnya tidak terlalu mendapatkan perhatian dari dunia internasional. Menurut Max Fisher, negara kecil yang bertetangga dengan Arab Saudi ini merupakan negara yang paling gagal di dunia dengan masalah kemiskinan, pemberontakan serta yang paling baru adalah tudingan sebagai negara yang menjadi basis teroris Al Qayyeda.
Yaman merupakan negara yang dianggap sebagai surga bagi para teroris karena sebagai negara Arab, Yaman memungkinkan Al Qayyeda—yang notabene merupakan organisasi Arab—untuk melakukan infiltrasi atau mobilisasi keluar masuk negara dengan mudah. Dengan kondisi keamanan yang labil sementara mayoritas rakyatnya berada di bawah garis kemiskinan negara ini menjadi basis yang aman bagi para teroris serta tempat yang potensial untuk merekrut para pengikut baru.
Yaman sebagai sarang teroris semakin nyata ketika terjadi percobaan peledakan pesawat Northwest Airlines yang akan mendarat di Detroit pada hari natal 2009 kemarin. Pelaku percobaan peledakan tersebut merupakan pemuda Nigeria yang diduga mendapatkan pelatihan dari Al Qayyeda. Hal ini kemudian semakin diperkuat dengan pengakuan sayap Al Qayyeda di Yaman. Percobaan peledakan pesawat yang gagal tersebut memaksa Yaman untuk memasuki garis depan arena peperangan melawan terorisme yang digencarkan AS.
Amerika Serikat dan Inggris sendiri pada awalnya sempat berkeinginan untuk mengirim-kan pasukan anti-terorisnya ke Yaman untuk memberantas terorisme secara langsung. Akan tetapi kalau menilik kembali tindakan gegabah AS pada saat meluncurkan misil ke dua lokasi di Yaman yang diduga menjadi sarang teroris, AS harus lebih berhati-hati lagi dalam mengeluarkan kebijakannya. Peluncuran misil atas perintah langsung Presiden Obama tersebut dilakukan pada tanggal 17 Desember 2009 dan menewaskan setidaknya120 orang warga sipil sementara kamp pelatihan Al Qayyeda yang diduga berada di daerah tersebut ternyata nihil adanya. Misil tersebut menghancurkan beberapa perumahan dan membunuh 23 anak-anak dan 17 korban wanita menimbulkan munculnya keprihatinan dari masyarakat internasional.
Pihak pemerintah Yaman sendiri, sekalipun terbelit antara masalah pemberontakan dan terorisme, menolak intervensi langsung dari Amerika Serikat maupun Inggris. Menteri Luar Negeri Yaman, Abubakr al-Qirbi menegaskan bahwa sebagaimana yang telah disaksikan dunia atas apa yang terjadi di Irak dan Afghanistan, intervensi dari AS malah hanya akan lebih merusak kondisi Yaman sendiri. Oleh karena itulah Yaman akan berusaha mengatasi masalah terorisme tersebut dengan pasukan keamanan serta tentaranya sendiri.
Akan tetapi al-Qirbi tidak menampik bahwa Yaman membutuhkan bantuan keterampilan teknik, peralatan dan teknologi termutakhir, persenjataan serta informasi intelijen dari negara-negara lain terutama AS dan Inggris. Saat ini Washington telah memasok peralatan militer, informasi intelijen serta melakukan pelatihan terhadap pasukan Yaman untuk memberantas Al Qayyeda.

Konsekuensi Campur Tangan AS bagi Yaman yang Masih Labil

Pada dasarnya Yaman memang negara labil yang memiliki berbagai permasalahannya sendiri bahkan sebelum terpaksa maju ke garis depan pertempuran melawan terorisme. Peluncuran misil dari AS untuk menghancurkan basis Al Qayyeda di Yaman yang kemudian mengalami kegagalan, bantuan persenjataan serta upaya dari AS dan Inggris sendiri untuk bisa memasukkan pasukan anti-terorisnya ke Yaman menunjukkan bahwa paranoia AS akan teroris semakin meluas lagi. Bahkan, apabila dibiarkan, AS dengan kecenderungannya untuk memeran-kan polisi dunia dan ikut campur terhadap permasalahan negara-negara lain mungkin saja tidak akan ragu-ragu memaksa memasukkan pasukannya ke Yaman, menjadikan negara ini sebagai pusat krisis dunia yang selanjutnya, sehingga mengundang perhatian yang tidak diinginkan di lingkungan internasional.
Sejauh ini langkah-langkah yang diterapkan oleh AS masih berkisar di bidang militer saja. Sementara itu baik Inggris maupun Uni Eropa cenderung untuk memberantas terorisme itu sendiri dengan melakukan aksi nyata di Yaman melalui Financial Action Task Force, badan internasional yang menangani kasus pencucian uang dan pendanaan untuk kelompok-kelompok ekstremis. Padahal untuk mengatasi krisis di Yaman tidak harus terbatas pada bidang militer serta usaha untuk menghambat aliran dana teroris saja. Melatih para tentara Yaman untuk menghadapi para teroris mungkin dapat menenangkan sedikit dari kekhawatiran AS dan memberikan solusi bagi salah satu permasalahan dari berbagai permasalahan lain yang dihadapi oleh Yaman.
Menurut penulis sendiri, bantuan yang diberikan oleh AS masih belum bisa membantu memberantas terorisme ataupun sayap Al Qayyeda yang berada di Yaman. Selama masalah kemiskinan masih belum diatasi dan kondisi sosial-politik-ekonomi dalam negeri masih labil, Al Qayyeda masih dapat terus berkembang biak apalagi karena Yaman terang-terangan menolak intervensi lansung dari kekuatan besar yang memungkinkan melakukan pembasmian Al Qayyeda dengan lebih efektif. Selain itu bantuan-bantuan yang diberikan AS serta paksaan bagi pemerintah Yaman untuk segera menghabisi kaum teroris justru malah bisa menimbulkan dendam dan kemarahan dari pihak teroris. Dalam jangka panjang, tentu saja hal ini tidak terlalu menguntungkan Yaman. Apabila para teroris melihat Yaman sebagai antek terbaru AS, bukan tidak mungkin para teroris akan berusaha semakin mengacaukan kondisi dalam negeri Yaman dengan kegiatan-kegiatan terornya. Belum lagi korban yang berjatuhan dari penduduk setempat seperti dalam kasus 17 Desember bisa menyebabkan kemarahan rakyat yang mendorong menurunnya kepercayaan terhadap pemerintah dan munculnya gerakan anti AS. Padahal pemerintah Yaman masih harus membagi perhatiannya dengan masalah pemberontakan yang terjadi di beberapa wilayahnya serta masalah pertumbuhan ekonomi yang sangat rendah.



Dukungan Ekonomi Sebagai Solusi

Sejauh ini reaksi yang diberikan oleh AS dengan meminimalisir intervensi militer merupakan langkah yang sudah cukup bagus apabila melihat kondisi-kondisi negara-negara Timur Tengah lain yang semakin berantakan dengan intervensi militer langsung AS. Akan tetapi bantuan yang diberikan kepada Yaman sendiri masih mengabaikan kondisi Yaman secara keseluruhan. Salah satu solusi bantuan yang belum dilakukan AS secara maksimal adalah bantuan dari segi ekonomi. Selama ini bantuan ekonomi yang diberikan AS kepada Yaman jumlahnya masih sangat kecil apabila dibandingkan dengan bantuan yang diberikan kepada negara-negara lain. Padahal memperbaiki infrastruktur Yaman, kondisi pendidikan masyarakatnya serta peningkatan taraf hidup rakyat secara keseluruhan malah bisa menjadi alternatif halus yang bisa mempersulit ruang gerak Al Qayyeda. Bantuan ekonomi juga bisa bukan hanya mendorong terwujudnya stabilitas dalam negeri saja akan tetapi sekaligus sebagai persiapan Yaman dalam menghadapi habisnya pasokan minyak yang menjadi tumpuan ekonomi utama negara ini pada tahun 2017 nanti. Apabila Yaman harus menghadapi masalah habisnya minyak tanpa persiapan pembangunan sektor-sektor ekonomi yang lainnya, Yaman akan terpaksa menghadapi krisis ekonomi, demografis, dan environmental pada saat yang bersamaan sementara masalah terorisme dan pemberontakan akan berada diluar kendali pihak pemerintah dan semakin sulit diatasi oleh AS sendiri. AS tidak bisa mengabaikan kenyataan ini begitu saja karena ketidakstabilan Yaman akan mempengaruhi ketidakstabilan regional secara keseluruhan dan dapat mengganggu rute perdagangan AS dalam mendapatkan bahan bakar minyak dari regional ini.
Bantuan ekonomi tidak harus dilakukan secara terus-menerus akan tetapi bisa dilakukan secara bertahap dengan intensitas dari besar dan semakin mengecil sedikit demi sedikit hingga negara ini bisa semakin independen. Seiring dengan bantuan tersebut, AS maupun negara-negara lainnya bisa membantu untuk membenahi infrastruktur dalam negeri, membangun sekolah-sekolah serta memperkenalkan budaya enterpreneurship kepada masyarakat Yaman agar mereka bisa lebih independen dan bebas berkreasi dalam usaha untuk memajukan negaranya sendiri. Pada saat yang bersamaan, Yaman bisa membangun militer yang lebih kuat dalam menghadapi berbagai pergelutan menghadapi terorisme dalam negeri dan berbagai konflik lainnya dibawah bimbingan pasukan anti-teroris AS sehingga perbaikan dilakukan secara simultan di berbagai bidang. Pada saat kondisi dalam negeri Yaman semakin stabil, pada saat itulah teroris semakin sulit melakukan pergerakannya sekaligus semakin mudah untuk diberantas dan Yaman bisa terhindar sebagai pusat krisis dunia yang selanjutnya.


Sumber:
Fisher, Max. 2009. “Could Yemen Become The Next Afghanistan?”. Diakses dari http://www.theatlanticwire.com/opinions/Could-Yemen-Become-The-Next-Afghanistan-1977 pada tanggal 12 Januari 2010.
Anonim. 2010. Yaman Terus Buru Anggota Al Qaida. Diakses dari http://www.dw-world.com/dw/article/0,,5095831,00.html pada tanggal 12 Januari 2010.
Adams, Henry. 2009. Obama intervenes in Yemeni civil strife with strikes killing 120, many civilians. Diakses dari http://www.ufppc.org/us-a-world-news-mainmenu-35/9231/ pada tanggal 12 Januari 2010.

Negara Arab: Teritorial atau Pan Arabis?

Label: , , , ,
Pan-Arabisme pada dasarnya merupakan merupakan doktrin abad keduapuluh yang terben-tuk terutama disebabkan oleh runtuhnya Kekaisaran Ottoman dan adanya gangguan berupa kolonia-lisasi negara-negara Barat. Pergerakan nasional yang awalnya hanya muncul diantara kalangan terpelajar ini, yang pada awalnya hanya membahas mengenai permasalahan kultural, kemudian berubah halauan menjadi sebuah gerakan yang bertujuan menyatukan bangsa-bangsa dan negara-negara Arab mencakup wilayah Samudra Atlantik hingga Laut Arab. Sekalipun doktrin ini memba-wa budaya dan tradisi Arab, akan tetapi di lain pihak cenderung sekuler dan sosialis.
Doktrin ini semakin menyebar ketika negara-negara Arab mulai mendapatkan kemerdeka-annya. Saat itu seorang pemimpin Mesir yaitu Gamal Abdul Nasser ingin mempersatukan dunia Arab yang terpecah-pecah pasca keruntuhan Kekaisaran Ottoman. Nasser mendapatkan prestise yang tinggi di dunia Arab ketika dapat mengusir Inggris, Prancis dan Israel pada Pertempuran Suez di tahun 1956, yang akhirnya diikuti dengan nasionalisasi Terusan Suez oleh Mesir. Nasser kemu-dian berusaha untuk mendirikan Pan-Arabisme dengan membuat United Arab Republic (UAR) pada tahun 1958, akan tetapi tidak mendapatkan sambutan yang cukup hangat mengingat hanya Mesir dan Suriah yang tertarik. UAR hanya berlangsung sampai pada tahun 1961, ketika tentara Suriah memberontak melawan tentara Mesir, yang dikarenakan ketidakpuasan Suriah atas dominasi Mesir dalam UAR.
Nasser merupakan seorang politisi sekaligus seorang tentara akan tetapi bukan seorang ideologis. Oleh karena itu, struktur konseptual dari Arabisme Nasser cukup sederhana yaitu memili-ki karakter politik baik secara kultural maupun strategis. Kultural dalam terminologi kesamaan bahasa dan sejarah antar negara-negara Arab. Strategis dalam terminologi persamaan perjuangan dalam melawan kolonialisme Barat. Arabisme Nasser juga memiliki sifat politis seperti yang terlihat pada UAR.
Pan-Arabisme Gamal Abdul Nasser akhirnya menemukan organisasi yang dapat mengeks-presikan gerakannya secara resmi melalui Liga Arab setelah berakhirnya perang dunia kedua, tepatnya pada 22 Maret 1945. Liga Arab didirikan di Mesir di mana pada akhirnya Cairo dijadikan markas sekretariat jendral Liga Arab. Anggota liga tersebut terdiri dari 23 negara yang terbentang dari Mauritania sampai ke Irak. Pendirian liga ini berdasarkan Pact of The League of Arab States yang kemudian dijadikan konstitusi. Tujuan pendirian Liga Arab adalah untuk memajukan kerja sama politik antara negara anggota, menyelesaikan sengketa-sengketa antar negara Arab, mengga-lakkan dan mengawasi kerja sama antar negara Arab di bidang ekonomi, komunikasi, kebudayaan, sosial dan lainnya ( Kirdi Dipoyudo, 1981: 25).
Dalam Liga Arab, agresi terhadap satu negara anggota dapat dianggap sebagai agresi terha-dap seluruh negara Arab sehingga diperlukan tindakan kolektif untuk mengatasinya melalui Perma-nent Joint Defence Council dan Permanent Military Council pada tahun 1952. Akan tetapi pengga-langan kekuatan kolektif ini seringkali gagal dalam prakteknya seperti pada kasus Krisis Terusan Suez tahun 1956, kasus Palestina, Perang Irak-Iran maupun Invasi Irak ke Kuwait. Mungkin hanya penyelesaian perang saudara di Libanon, yang kemudian melahirkan Perjajian Taif 1991, yang bisa dianggap sebagai kesuksesan Liga Arab.
Akan tetapi Persatuan Arab yang diharapkan Nasser kemungkinan besar masih jauh dari harapan. Terdapat beberapa hal yang masih harus ditelaah kembali dalam proses pembentukannya. Bagaimana posisi Islam jika pan-Arabisme dibentuk dengan prinsip-prinsip sekularisme masih harus dipertanyakan kembali. Selain itu posisi kaum minoritas yaitu non-Muslim dan Kurdi yang semakin terdesak apabila pan-Arabisme benar-benar terjadi dapat menjadi hambatan terwujudnya pan-Arabisme itu sendiri. Terakhir adalah pertanyaan mengenai pemimpin pan-Arabisme, apakah dipilih sebagai individu atau pemimpin kolektif.

Berlawanan dengan ideologi Arabisme Nasser, terdapat pendekatan lain yang lebih terbatas yaitu pendekatan regional melalui pembentukan Gulf Cooperation Council (GCC) pada tahun 1980-an. Meskipun GCC hanya sebuah organisasi regional, bukan negara federal, akan tetapi GCC dapat merepresentasikan ilustrasi bahwa integrasi Arab adalah suatu hal yang memungkinkan selama beberapa kondisi konkrit dapat dipenuhi yaitu, hubungan geografis, kesamaan kepedulian strategis serta kesamaan pandangan sosio-ekonomi.
Dalam pembentukan GCC, terdapat dua kepentingan bersama para anggotanya yaitu masalah keamanan dan ekonomi. Dengan berbagai permasalahan atau konflik yang dialami oleh Egypt, Iran dan Iraq, negara-negara Gulf mengkhawatirkan kerentanan keamanan wilayah tersebut. Pada saat yang sama, negara-negara Gulf sangat memperhatikan prospek perkembangan perekono-mian mereka di masa depan, terutama pasca era minyak. Persamaan permasalahan antara negara-negara Arab dan Gulf tersebut menyebabkan dimulainya usaha kerjasama. Gulf International Bank kemudian terbentuk pada 1975 dengan GCC berperan sebagai pengontrol.
Peranan utama Saudi Arabia dalam GCC merupakan sebuah permasalahan yang kontro-versial. Saudi Arabia sebagai negara terbesar dan paling berpengaruh baik secara regional maupun internasional memainkan peranan sebagai perantara sekaligus pemberi modal. Akan tetapi Saudi Arabia menjadi salah satu pendukung pendirian Uni Emirat Arab, yang kemudian balik mendukung Saudi Arabia di OPEC.
Tindakan yang dilakukan oleh Saudi Arabia tersebut menyebabkan Pan-Arab semakin sulit terwujud. Selain itu, Saudi Arabia sekalipun sering mengkritik solidaritas Arab, akan tetapi tidak bersedia mengorbankan kedaulatannya sendiri demi persatuan Pan-Arab dan memilih memperta-hankan pola politik dan sosial seperti yang telah dilakukan selama ini. Pan-Arab juga tidak dapat mendorong Sudan untuk bergabung dengan Mesir. Yaman memilih tindakan yang serupa dengan Saudi Arabia sementara Tunisia mengambil langkah drastis dengan memutuskan hubungan dengan Liga Arab pada tahun 1959 hingga 1961 demi menghindari penyebaran Pan-Arabisme dalam negaranya.
Negara-negara Arab sekalipun memiliki ikatan sosial-budaya dan agama Islam, akan tetapi berkeinginan untuk mempertahankan identitas dan kebebasan politiknya sendiri. Tidak hanya bagi para penguasa saja, yang notabene mendapat hak-hak istimewa penguasa apabila dibandingkan dengan mengikuti bentuk Persatuan Arab, akan tetapi juga golongan rakyat biasa yang cenderung enggan terhadap perubahan dan sangat terikat dengan kelompoknya sendiri. Negara-negara Arab juga cenderung enggan berbagi sumber daya ekonomi dengan yang lain. Padahal apabila ditilik kembali, dari segi politis, persatuan tersebut dapat memberikan keunggulan politik yang sangat besar dan posisi unggul terhadap negara-negara lain.

Sumber:
http://www.ismes.net/baca.php?ArtID=214 diakses pada tanggal 15 September 2009.
http://www.infoplease.com/ce6/history/A0837455.html diakses pada tanggal 15 September 2009
Lenczowski, George. 1993. Timur Tengah di Tengah Kancah Dunia. Berkeley: University of California.
Nayubi, Nazih N. 2001. The Arab State: Territorial or Pan-Arabist dalam. Over-stating the Arab State; Politics and Society in Middle East. London: LB Tauris& Co. Ltd. Hlm 135-163.

Iran: Sang Adikuasa Baru?

Label: , , , , ,

Revolusi Islam Iran yang digerakkan oleh kaum Syi’ah, yaitu revolusi yang merubah Iran dari bentuk monarki menjadi Republik Islam, menginspirasi munculnya gerakan-gerakan Islam fundamentalis atau radi-kal di negara-negara Timur Tengah lainnya. Gerakan-gerakan fundamentalis yang bermunculan di negara-negara Timur Tengah seperti Arab Saudi dan Afghanistan tersebut mendapatkan dukungan dari pemerintah Republik Islam Iran sebagai suatu bentuk solidaritas antar sesama kaum Syi’ah. Artikel ini akan menjelaskan mengenai pengaruh Revolusi Islam Iran dan keterlibatan Iran sendiri di beberapa negara yang memiliki masalah dengan minoritas, khususnya minoritas Syi’ah.

Arab Saudi
Di Arab Saudi, kelompok Syi’ah merupakan kelompok minoritas yang selalu dianaktirikan oleh pemerintah Arab sementara kelompok Sunni selalu dinomorsatukan dalam berbagai bidang. Contohnya saja di bidang pekerjaan. Untuk pekerjaan yang sama, kaum Sunni mendapatkan gaji yang lebih besar dibanding-kan dengan kaum Syi’ah. Hal ini tentu saja memunculkan ketidakpuasan dari kelompok-kelompok Syi’ah di Arab. Ketidakpuasan tersebut memunculkan gerakan-gerakan anti-monarki diantara kaum Syi’ah, yang terinspirasi dari Revolusi Islam Iran. Gerakan tersebut bahkan mendapatkan dukungan dari pihak Iran sendiri.
Pemerintah Arab Saudi di lain pihak jauh lebih condong kepada Irak sehingga harus bekerja keras menanggulangi berbagai gerakan anti-monarki kaum Syi’ah. Dalam melakukan peredaman, pemerintah Arab tidak segan-segan menggunakan berbagai cara, termasuk berbagai pelanggaran hak asasi manusia kepada kaum Syi’ah.

Afghanistan

Di Afghanistan, Iran memiliki peranan kunci dalam perang saudara yang telah berlangsung satu dasawarsa pada Desember 1989. Pertama, Iran merupakan negara yang menampung pengungsi Afghanistan terbesar kedua setelah Pakistan. Kedua, kaum Syi’ah Afghanistan yang jumlahnya hanya 20% dari total penduduk Afghanistan mendapatkan dukungan dari kelompok gerilyawan Mujahidin Syi’ah di Iran. Hal ini memberikan kaum Syi’ah Afghanistan posisi strategis yang tidak dapat dibaikan begitu saja. Ketiga, penola-kan Iran terhadap perjanjian Jenewa menyebabkan Mujahidin Syi’ah menolak Pemerintahan Sementara Afghanistan (AIG) sehingga memperlemah posisi AIG tersebut terhadap rezim Najibullah di bawah dukungan Soviet.
Dukungan yang diberikan Iran kepada Mujahidin Syi’ah Afghanistan ini juga sekaligus untuk mengimbangi bantuan yang diberikan AS dan Arab Saudi kepada kelompok Mujahidin Sunni dan Wahabi. Ketika Iran melakukan normalisasi hubungan Soviet, yang kemudian diikuti dengan normalisasi hubungan Iran dengan blok Barat termasuk As, Iran mencoba melakukan manuver-manuver baru. Iran menunjukkan adanya tekanan kepada Muahidin Syi’ah untuk berkoalisi dengan rezim Najibullah, yang semakin mempersulit posisi AIG. Akan tetapi melalui konferensi tentang Afghanistan yang diselenggarakan IPIS di Teheran, manuver Iran mulai menunjukkan hasil dengan kesediaan pemuka Mujahidin Sunni menerima tuntutan Mujahidin Syi’ah yang pro-Iran.
Dampak Pergolakan Azerbaijan bagi Hubungan Iran-Soviet
Pada tahun 1989, Azerbaijan merupakan negara bagian Uni Soviet yang sedang mengalami pergo-lakan nasionalistis. Hal ini berkaitan dengan keinginan kaum Azeri Soviet untuk bersatu dengan kaum Azeri di Provinsi Azerbaijan Iran dan juga konflik yang memperebutkan Nagorno Karabakh antara Azerbaijan dengan Armenia. Masalah yang pertama khususnya memiliki pengaruh yang cukup besar bagi hubungan internasional Soviet dengan Iran.
Pasca revolusi Islam Iran, Kaum Azeri yang turut berpartisispasi dalam revolusi tersebut tidak mendapatkan perubahan nasib yang berarti. Keinginan kaum Azeri untuk mendapatkan otonomi yang lebih besar atas dua provinsi Azerbaijan di timur dan barat ditolak oleh pemerintahan kaum mullah karena khawatir akan munculnya tuntutan-tuntutan serupa dari kaum minoritas lain sekaligus untuk menjaga sumber-sumber minyak yang berada di Tabriz.
Kaum mullah kemudian melakukan kombinasi kebijakan represif dan persuasif untuk mengatasi keresahan kaum Azeri. Pertama adalah dengan mempersenjatai para tuan tanah Azerbaijan yang sedang berkonflik dengan para petani, yang diharapkan dapat memulihkan ketertiban. Kedua adalah dengan melakukan rehabilitasi pasca revolusi di daerah-daerah pedesaan. Kedua kebijakan tersebut pada akhirnya dapat mengatasi permasalahan minoritas dan membungkam pihak-pihak oposisi.
Tahun 1989 Khomeini meninggal dan digantikan Khamenei. Kemudian, Ali Akbar Hashemi Rafsan-jani yang menjadi pembicara Majelis dari tahun 1980 hingga 1989 memenangkan pemilihan presiden dan memimpin Iran bersama Khamenai. Pemerintahan Rafsanjani yang lebih memusatkan perhatian kepada masalah perbaikan infrastruktur sosial-ekonomi dalam negeri berusaha melakukan normalisasi hubungan dengan Soviet terutama karena adanya kebutuhan modal dan teknologi. Soviet menjadi pilihan utama bagi Rafsanjani karena Iran masih belum bisa melakukan normalisasi hubungan dengan blok Barat termasuk AS dan Inggris.
Hubungan antara Iran dan Soviet sempat mengalami masa-masa kritis ketika rakyat Azerbaijan Soviet melakukan pemberontakan sementara Kremlin berusaha mengatasi pemberontakan tersebut dengan cara-cara yang represif. Gorbachev menuduh bahwa terdapat elemen Muslim fundamentalis di bawah pemberontakan tersebut. Media-media Soviet menuduh Iran sebagai pemasok senjata bagi para pembe-rontak. Di lain pihak para pemimpin Iran termasuk Khamenai dan Rafsanjani melakukan kecaman untuk berabagai tindkan Soviet dalam menghadapi pemberontakan tersebut. Akan tetapi tuduhan Soviet hanya semata-mata tuduhan yang tidak terbukti. Iran yang membutuhkan pasokan dana dan teknologi dari Soviet dan akan berhati-hati untuk tidak melakukan apapun yang akan mengganggu hubungan tersebut. Selain itu, pemberontakan yang dilakukan oleh rakyat Azerbaijan dikhawatirkan dapat mendorong semangat separatis-me kaum Azeri yang ada di Iran.

Indonesia
Di Indonesia, revolusi Iran pada tahun 1979 menumbuhkan kewaspadaan tersendiri. Kedubes Iran mendapat mendapatkan teguran dari pemerintah Indonesia karena memutar film-film tentang revolusi Iran dan menerbitkan majalah yang dianggap terlalu provokatif. Pada tahun 1980-an MUI bahkan sempat mengeluarkan fatwa yang mengimbau umat Islam agar mewaspadai ajaran-ajaran Syi’ah. Hubungan Indonesia-Iran yang tidak terlalu baik itu bahkan turut mempengaruhi hubungan ekonomi antara kedua negara, dimana neraca perdagangan nilainya nol.
Perbaikan hubungan politik antara Indonesia-Iran diawali dengan ditandatanganinya MoU pada tahun 1984. Hubungan ekonomi sendiri baru mengalami kemajuan setelah perang antara Iran dan Irak berakhir pada tahun 1988. Tahun-tahun berikutnya Indonesia semakin menyadari potensi pasar Iran yang sangat besar terutama untuk produk-produk non-migas.

Dari penjabaran di atas, tidak dapat dipungkiri bahwa Iran dan Revolusi Islam-nya memiliki pengaruh yang kuat di beberapa negara. Akan tetapi apakah pengaruh maupun berbagai keterlibatan Iran dengan negara-negara lain tersebut dapat menjadikan Iran sebagai ’adikuasa baru’ sebagaimana judul artikel ini? Henry Kissinger, mantan menlu AS pernah menyebutkan bahwa Revolusi Islam Iran pada tahun 1979 adalah gempa bumi yang tidak hanya menguncang Timur Tengah akan tetapi juga seluruh dunia. Pasca blok Timur tumbang, pengaruh Republik Islam Iran terhadap perkembangan di dunia bahkan semakin kentara. Hal ini dibuktikan dengan hadirnya Presiden Ahmadinejad dalam Konferensi Tingkat Tinggi Dewan Kerjasama Teluk Persia (PGCC) di Qatar yang mempertegas tali persahabatan Iran dengan negara-negara tetangganya di kawasan Teluk Persia. Bukti lain dapat dilihat dari ajakan AS kepada Iran untuk melakukan perundingan berkaitan dengan krisis Irak. Hal ini menunjukkan bahwa Iran kini merupakan kekuatan regional yang patut diperhitungkan dan kekuatan tak bisa diabaikan begitu saja dalam unipolarisme AS.

Sumber:

Sihbudi, Riza. 1993. Iran, Sang Adikuasa Baru. Dalam buku “Bara Timur Tengah”. Bandung: Mizan.
Hooglund, Eric. "Iran." Microsoft® Student 2008 [DVD]. Redmond, WA: Microsoft Corporation, 2007.
Suny, Ronald Grigor. "Azerbaijan." Microsoft® Student 2008 [DVD]. Redmond, WA: Microsoft Corporation, 2007.