Latar Belakang Sejarah dan Politik Hamas

Label: , , , ,
Pemilihan Umum 2006
Hamas atau Harakat Al-Muqawwamat Al-Islamiyyah merupakan gerakan pemberontakan Islam rakyat Palestina atas pendudukan yang dilakukan Israel yang dilakukan di daerah Jalur Gaza dan West Bank. Untuk memahami latar belakang pembentukan Hamas haruslah diawali dengan sejarah pembentukan Persaudaraan Muslim di Palestina. Persaudaraan Muslim pada awalnya dibentuk di Mesir pada tahun 1928 oleh Hasan al-Bana. Tiga elemen utama dari persaudaraan ini adalah kebangkitan, organisasi dan didikan. Tujuan utamanya adalah mendirikan negara Islam sebagaimana yang dibentuk oleh Nabi Mohammad SAW dan pengikutnya. Persaudaraan Muslim memasuki Palestina pada tahun 1935 ketika Abd al-Rahman al-Banna dikirim untuk mencari kontak disana. Ketika negara Israel pertama kali terbentuk, Persaudaraan Muslim masih beraktivitas di lingkup sosial dan keagamaan. Ketika Israel mulai menginvasi Jalur Gaza dan West Bank pada tahun 1967, Persaudaraan ini masih berkonsentrasi untuk membentuk generasi Islam dengan mendirikan sekolah keagamaan, asosiasi amal, dan lain sebagainya.

Jihad Islam di lain pihak merupakan sebuah gerakan kecil namun tidak puas dengan kurangnya komitmen Persaudaraan untuk melawan Israel. Bagi Persaudaraan Muslim, jihad tidak bisa dilakukan hingga masyarakat benar-benar terbentuk, ide-ide Islam diterapkan dan sekularisme telah dibuang. Akan tetapi Jihad Islam percaya bahwa Palestina merupakan masalah utama yang tidak bisa menunggu proses Islamisasi masyarakat.

Fokus Jihad Islam ini ternyata memiliki kesamaan dengan PLO. Palestine Liberation Organization (Munazhzhamah Al-Tahrir Al-Filisthiniyyah) merupakan organisasi gabungan dari beberapa fraksi perjuangan rakyat Palestina yang berdiri pada tahun 1964 di Al-Quds, Jerusalem. Dalam perkembangannya, PLO menghendaki bangsa Palestina mandiri dan dapat menentukan sendiri nasibnya sehingga lebih memilih cara damai atau diplomatis dalam perjuangannya. Akan tetapi cara damai dan diplomatis tersebut pada akhirnya mendorong munculnya ketidakpuasan dari berbagai pihak. Sayap Militer Ikhwanul Muslimin dan Jihad Islam kemudian memilih melakukan gerakan bawah tanah sebagai aktivitas utamanya dibandingkan dengan jalur diplomatik. Gerakan ini kemudian berubah menjadi Hamas pada tahun 1987.

Hamas merupakan sebuah gerakan yang terinspirasi oleh Revolusi Islam Iran pada tahun 1979. Hamas beranggotakan anak-anak muda Palestina terpelajar sementara Dr. Fathi Asy-Syaqaqi berperan sebagai pemimpin dari gerakan ini. Gerakan ini terbentuk ketika terjadi kecelakaan motor di Jalur Gaza pada 8 Desember 1987 yang melibatkan truk Israel dan kendaraan pekerja milik Palestina. Kejadian ini menyebar dan berevolusi menjadi apa yang sekarang ini dikenal dengan intifada. Syekh Yasin mengeluarkan idenya untuk membentuk organisasi yang terpisah dari Persaudaraan Muslim yang mengambil tanggung jawab atas partisipasi dalam intifada.

Dalam Piagam Hamas tahun 1988, Hamas kemudian memproklamirkan diri sebagai sayap dari Persaudaraan Muslim. Tujuan utama dari organisasi ini adalah mendirikan negara Islam Palestina, dimana untuk melaksanakannya terdapat tujuan strategis yaitu memerdekakan tanah Palestina sendiri dari jajahan Israel. Secara bertahap tujuan utama Hamas tersebut akan dilaksanakan dengan membebaskan tepi barat dan Jalur Gaza yang dikuasai oleh Israel pada tahun 1967, mengIslamkan masyarakat Palestina sebagai syarat menuju kemerdekaan Palestina, mengorganisir berbagai kegiatan serta bantuan seperti dakwah, sosial, dan pendidikan Islam, emperkuat legitimasi Sayap Militer, melanjutkan gerakan intifadah yang bertujuan untuk membebaskan seluruh negeri Palestina dari cengkraman Yahudi Israel, menjaga kesatuan nasional, membebaskan para tawanan dan menghentikan serangan Israel terhadap rakyat sipil Palestina, mencari dukungan dari negara-negara Arab dan kaum Islam pada umumnya. Hamas juga harus segera menetralisasi kekuatan militer Israel dan mendapatkan legitimasi politik dari rakyat Palestina untuk membentuk negara Palestina secara sah.

Secara struktural, Hamas memiliki Maktab Qi-Yadi yang terdiri dari tiga divisi yaitu politik, keamanan, dan militer yang pada tahun 1989 mengecil menjadi dua divisi yaitu politik dan militer saja. Majelis Syura merupakan Badan Pelaksana Pusat sekaligus Pelaksana Teknik Khusus. Dalam usahanya untuk mencapai tujuan sebagaimana yang dicantumkan dalam Piagam Hamas 1988, Hamas secara aktif melakukan berbagai gerakan seperti memakmurkan masjid, melakukan gerakan politik dan propaganda di universitas-universitas, menyebarkan berbagai isu-isu politik, berpartisipasi dalam pemilu lokal maupun nasional, menjalin aliansi politik dan hubungan internasional, membangun networking dengan institusi di bidang lain yang sesuai dengan tujuan Hamas yaitu mewujudkan kesejahteraan rakyat Palestina dalam bidang politik, ekonomi, sosial, maupun budaya, menggerakan perlawanan sipil seperti demonstrasi, protes rakyat, tindakan kooperatif, dan lain-lain, serta boikot atas produk-produk Israel.

Hamas memiliki hubungan yang baik dengan persaudaraan Islam di Yordania yang menyediakan dukungan moral maupun material bagi Hamas. Selain itu Hamas juga mendapatkan dukungan dari gerakan-gerakan Islam lain di Mesir, Arab Saudi, negara-negara Teluk, Sudan, Aljazair, Tunisia bahkan dari komunitas-komunitas Islam di AS dan Eropa. Negara-negara tersebut merupakan pendukung finansial Hamas selain PLO (atas perintah Nasser) dan donasi-donasi dari masyarakat Palestina setempat.



Pada tahun 2006 Hamas berdiri secara resmi sebagai salah satu partai politik di Palestina dan ikut bersaing untuk memperoleh kursi di dalam pemerintahan. Di luar dugaan, Hamas keluar sebagai pemenang dengan jumlah suara yang sedikit lebih unggul dibandingkan dengan Fatah—partai yang sebelumnya diperkirakan akan keluar menjadi pemenang oleh AS.

Akan tetapi ketika Hamas menduduki kursi pemerintahan, Palestina justru mendapatkan kesulitan dalam mendapatkan bantuan ekonomi karena negara-negara besar yang sebelumnya menyuplai bantuan ekonomi tidak menyukai kenyataan bahwa Hamas menduduki pemerintahan. Di lain pihak Hamas juga menolak untuk mengadakan perundingan dengan Israel sehingga semakin memperburuk keadaan. Kondisi perekonomian Palestina semakin menurun sejak pemilihan umum 2006 sementara kepercayaan rakyat terhadap Hamas juga semakin menurun.

Hal ini menunjukkan bahwa sekalipun Hamas dipuja-puja berbagai kalangan Muslim di seluruh dunia berkat perjuangannya untuk merebut wilayah Palestina dan melawan penindasan Israel, akan tetapi organisasi ini masih belum mampu untuk menduduki pemerintahan. Hamas yang cenderung kaku dalam mempertahankan keyakinannya akan suatu bentuk negara Islam Palestina mungkin tidak terlalu cocok terutama dalam kondisi chaos seperti saat ini. Langkah-langkah PLO yang dianggap cenderung sekuler malah lebih memberikan hasil dengan cara-cara damai yang ditempuhnya. Oleh karena itulah untuk saat ini Fatah cenderung lebih cocok untuk menduduki kursi mayoritas di pemerintahan dibandingkan Hamas. Bagaimanapun juga Hamas masih membutuhkan evolusi dari dalam organisasinya sendiri untuk bisa menduduki kursi pemerintahan dengan benar. Hal ini dikarenakan masih banyaknya para pejuang Hamas yang sepertinya belum bisa memahami bahwa sebuah negara bukanlah tentang negara itu sendiri semata akan tetapi juga mengenai rakyatnya dan mengenai hubungannya dengan negara-negara lain dalam lingkungan internasional.

Sumber:
Anonim. 2008. Diakses dari http://www.al-ikhwan.net/hamas-ketika-sejarah-dan-letak-geografis-menjadi-saksi-1163/Akhbar Ikhwan pada tanggal 26 November 2009.
Anonim. Diakses dari http://main.man3malang.com/index.php?name=News&file=article&sid=1706 pada tanggal 26 November 2009.

Minyak: Penyebab Perang, Pendorong Perdamaian

Label: , , , , ,
Pemikiran McKinder mengenai Eurasia sebagai bagian penting pusat dunia menyebabkan Amerika Serikat (AS) percaya bahwa usaha untuk menguasai dunia sebagaimana yang diinginkan oleh kelompok Hawkish akan tercapai dengan menguasai wilayah tersebut. Dari pemikiran McKinder tersebut, AS menarik kesimpulan bahwa kawasan Teluk Persia dan Laut Kaspia—wilayah-wilayah yang kaya dan mengandung sekitar 70 persen cadangan minyak dunia—merupakan kawasan yang harus berada di bawah kontrol AS. Tidak hanya Amerika Serikat saja, Rusia, Kanada dan Inggris merupakan negara-negara yang berusaha menguasai sumber-sumber minyak strategis di dunia. Akan tetapi keinginan untuk menguasai sumber daya terbatas paling dicari tentu saja akan menyebabkan bentrokan kepentingan antara pihak-pihak yang mengejarnya. Di sini saya akan mengambil satu contoh kasus saja.

Agresi Militer yang dilakukan AS ke Irak pada tanggal 20 Maret 2003 merupakan momen yang menandai dimulainya Perang Teluk II. Dengan alasan memusnahkan senjata pemusnah masal dan terorisme internasional, AS mengabaikan PBB sekaligus penolakan global, dan melakukan serangan militer kepada Irak. Presiden Bush bahkan dengan arogan menyatakan bahwa AS tidak perlu bergantung kepada keputusan dari negara-negara lain untuk menjalankan keputusan sendiri.

Merujuk kepada pemikiran Abdul Halim (2003), terdapat sebenarnya dari agresi AS tersebut adalah permasalahan sumber daya alam terutama minyak bumi yang sangat melimpah di kawasan tersebut. AS sebagai pengimpor sekaligus konsumen minyak terbesar didunia melihat Irak sebagai kawasan strategis untuk menjaga cadangan minyak bumi AS. Dilihat dari catatan cadangan minyak AS, hanya tersedia 22 milyar barel minyak atau setara dengan 2% saja dari cadangan minyak dunia. Hal ini menunjukan terus berkurangnya cadangan minyak AS. AS sebagai pengimpor minyak terbesar didunia, sekaligus memiliki kekuatan militer terbesar di dunia melihat bahwa penguasaan minyak Irak dapat mengantisipasi penurunan keberadaan minyak dunia sebanyak 5 juta barel per hari pada dekade yang akan mendatang. Selain itu, AS berkeinginan untuk membanjiri pasar minyak dunia dengan 7 hingga 8 juta barel minyak per harinya, yang tentu saja diambil dari ladang-ladang minyak di Irak, yang kemudian dapat menghancurkan OPEC dan merugikan negara-negara penghasil minyak.

Kasus diatas merupakan salah satu contoh saja peperangan yang disebabkan oleh keinginan menguasai sumber minyak. Memang tidak dapat dipungkiri bahwa minyak merupakan sumber kekayaan bagi siapa saja yang menguasainya. Sebagai konsekuensinya, minyak juga memiliki probabilitas yang sangat tinggi untuk membawa peperangan antar negara-negara yang memperebutkannya—dimana masing-masing pihak berusaha memperoleh secuil keuntungan—serta membawa ketidakstabilan politik bagi wilayah-wilayah yang memilikinya. Wilayah Timur Tengah adalah contoh nyata yang sudah mengalami berbagai perundingan-perundingan dan diplomasi akan tetapi tidak juga meraih kestabilan politik yang diinginkan. Bahkan, kalau kita perhatikan dari sisi geoekonominya, negara-negara di Timur Tengah merupakan negara-negara yang cenderung miskin, dengan kondisi sosial politik dan ekonomi yang rentan, sehingga sangat mudah dimasuki oleh pengaruh-pengaruh asing yang justru menambah ketidakstabilan dalam negeri.

Sekalipun pandangan para sarjana mengenai persaingan memperebutkan minyak cenderung dilihat sebagai suatu hal yang negatif, akan tetapi penulis pribadi beranggapan bahwa komoditas langka tersebut juga dapat mendorong terjadinya perdamaian dan integrasi. Di sini penulis akan mengambil kasus Rusia dan Uni Eropa sebagai contohnya. Rusia sebagai negara penghasil minyak dan gas alam terbesar di kawasan Eropa memiliki posisi strategis sebagai pemasok di kawasan Eropa. Tidak hanya itu, apabila Rusia ingin mengambil minyak dari Timur Tengah, negara tersebut juga terpaksa melewati jalur Eropa. Adanya kebutuhan timbal-balik yang berlandaskan kepada minyak tersebut mendorong baik Rusia maupun negara-negara Uni Eropa untuk saling menundukkan ego masing-masing dan menjalin hubungan yang lebih damai. Oleh karena itu, apabila hubungan kerjasama negara-negara Eropa dan Rusia memburuk pada masa perang dingin, permintaan terhadap minyak dari Rusia malah cenderung mendorong hubungan yang lebih damai diantara keduanya. Kerjasama antara Uni Eropa dan Rusia kemudian terjalin dalam Euro-Rus Relations.

Contoh kasus lainnya adalah hubungan antara AS dan Arab Saudi juga terbentuk atas dasar negara pengimpor dan pengekspor minyak. Apabila kita cermati lagi, Arab Saudi menyediakan pasokan minyak kepada AS. Sebagai timbal baliknya, AS menjamin keamanan dari negara Arab Saudi dari ancaman negara-negara lain. Hubungan antara dua negara ini merupakan sebuah terobosan terhadap perdamaian Timur Tengah. Bahkan keinginan untuk menjaga hubungan baik dengan Arab Saudi lah yang mendorong AS untuk berperan aktif terhadap terwujudnya perdamaian antara Israel-Palestina. Tanpa persahabatan dengan Arab yang cenderung mendukung Palestina sementara AS sendiri juga memiliki kecenderungan memihak Israel, upaya-upaya perdamaian mungkin akan menjadi lebih sulit dibandingkan dengan kondisi saat ini.

Tidak dapat dipungkiri bahwa perdamaian yang dibangun berdasarkan kebutuhan akan minyak cenderung merupakan perdamaian yang sedikit rentan dan mungkin tidak akan kokoh dalam melewati waktu. Akan tetapi berdasarkan contoh-contoh kasus diatas, membangun perdamaian melalui komoditi yang diperebutkan bukanlah suatu hal yang mustahil. Ini hanya mengenai masalah persepsi dan mengenai bagaimana cara manusia bereaksi untuk mendapatkan komoditas langka yang ingin dikuasai. Apabila perdamaian dapat muncul dari keinginan untuk mendominasi, maka harapan mengenai perdamaian di Timur Tengah bukanlah suatu hal yang mustahil apabila negara-negara besar memutuskan untuk menggunakan pendekatan-pendekatan yang lebih kooperatif untuk menguasai komoditi minyak di kawasan tersebut.




Referensi:
Halim, Abdul Perang Teluk II: Ambisi Global Amerika Serikat; dalam Mahally. 2003. Membongkar Ambisi Global Amerika Serikat. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan. Hlm 311-414.
Jones, Martin, Rhys Jones and Michael Woods. 2004. An Introduction to Political Geography. London: Routledge.