Book Review: A Lot Like Love by Julie James
0
komentar
Jordan Rhodes adalah puteri seorang miliarder terkenal. Ia terjebak dalam operasi rahasia FBI untuk mengeluarkan saudara kembarnya dari penjara gara-gara melakukan kejahatan cyber internasional (itu hanya twitter saudara-saudara!) setelah diputuskan oleh pacarnya melalui jejaring sosial.
Nick McCall, agen FBI yang menangani kasus ini merupakan kasus akut dari agen FBI menyebalkan. Jordan merasa bahwa Nick adalah duri dalam daging dan tidak bisa melewatkan waktu sejenak bersama Nick tanpa berdebat dengannya. Demi saudaranya, Jordan terpaksa harus tahan berpura-pura menjadi kekasih Nick. Akan tetapi bagaimana kalau kepura-puraan itu semakin terasa seperti kenyataan??
James boleh dikatakan sebagai orang baru dalam dunia novel romantis. A Lot Like Love sendiri merupakan bukunya yang keempat. Akan tetapi James menawarkan gaya penulisan yang menarik dengan tokoh-tokoh yang memiliki karakter menyegarkan. Semua tokoh utama wanita dalam novel-novel James memiliki nama laki-laki (Cameron, Taylor, dan untuk novel ini Jordan), digambarkan sebagai wanita-wanita tangguh, sassy, quirky dan semua pembaca tidak memiliki pilihan kecuali untuk menyukainya. Bagian terbaiknya, kita tidak perlu disuguhi dengan tokoh utama pria yang memiliki masa lalu kelam dan sejenisnya namun sebagai seseorang yang berdiri setara dengan sang tokoh wanita.
Diposkan oleh
Mega Savitri
di
7:35 PM
Label:
afrika,
Bach,
OAU,
Pan Afrika,
regionalisme
Pemikiran mengenai regionalisme dalam artikel Daniel Bach merupakan suatu bentuk dari berbagai ideologi, program, kebijakan dan hasil akhir yang berusaha untuk mengubah atau mengidentifikasi jarak sosial ke sebuah proyek regional. Oleh karena itu, regionalisme termasuk konstruksi identitas sebagai lawan formasinya. Di lain pihak, regionalisasi merupakan proses dan hasil akhir dari proyek sub nasional yang menerima sasaran yang ditetapkan. Regionalisasi dapat juga diartikan sebagai situasi dimana keregionan tumbuh dengan bebas dari strategi regionalis yang dapat diidentifikasi. Dalam hal ini, regionalisasi merupakan hasil akhir dari tingkah laku para agen (jaringan perdagangan, korporasi miltinasional) yang aktivitasnya berkontribusi secara de facto dalam formasi regional sekalipun tidak termotifasi oleh proyek para regionalis.
Regionalisme di Afrika diawali dari gerakan pan-Afrika pada pergantian abad keduapuluh. Pada masa perang dunia kedua, objek pergerakan tersebut menjadi lebih terfokus pada isu-isu kolonialisasi dan dominasi oleh para kulit putih. Pada tahun 1963 terbentuk Organisation of African Unity (OAU) yang diadopsi dari piagam Addis Ababa. Organisasi ini mengajak negara-negara merdeka untuk bergabung dan berjuang demi kebebasan atas kolonialisme dan apartheid. OAU memberikan bentuk dasar dari komunitas khayalan di region Afrika.
OAU memiliki kapasitas dalam menyelesaikan konflik yang muncul pasca Perang Dingin dan kolonialisme. Contohnya adalah masalah batas teritorial yang menimbulkan konflik-konflik di Rwanda, Uganda, Kongo. OAU juga memiliki fungsi bagi anggotanya yaitu memberikan jaminan non intervensi pada masalah internal negara anggota. Akan tetapi jaminan non intervensi tersebut malah mendorong terbentuknya suatu rezim yang menidas rakyat di negara-negara Afrika. Munculnya rezim tersebut memicu pembentukan African Unity (AU) pada 9 Agustus 2002 yang membahas masalah keamanan, pengembangan ekonomi, dan kestabilan di wilayah Afrika.
New Partnership for Africa’s Development (NEPAD) kemudian muncul sebagai bentuk regionalisme baru yang merefleksikan kekecewaan rakyat Afrika Selatan terhadap klaim Presiden Thabo Mbeki yang menggunakan pan-Afrika sebagai alat strategi politik. NEPAD kemudian mendorong perdagangan internasional di wilayah Afrika dan membuka peluang peningkatan investasi dan pertumbuhan ekonomi.
Pada era globalisasi masa kini, Afrika merupakan benua yang paling tertinggal di dunia. Di Sub-Sahara Afrika, 37 dari 48 negara yang ada merupakan negara-negara berpenghasilan rendah, dengan pendapatan perkapita dibawah $785. Oleh karena itu, Afrika otomatis juga paling terakhir terkena dampak dari ketidakstabilan arsitektur finansial dunia.
Regionalisme di Afrika pasca perang dingin sangat mengecewakan karena sektor formal perdagangan regional gagal untuk tumbuh melampaui level global. Akan tetapi pertukaran sektor informal Afrika terus berkembang sebagai respon atas batasan level formal dari yang familiar ke bentuk hambatan non-tarif spesifik. Terdapat beberapa pengelompokan perdagangan resmi antar pemerintahan, yaitu Common Market of Eastern and Southern Africa (COMESA), the Economic Community of West African States (ECOWAS), the Southern African Development Community (SADC), African Economic Community (AEC), dan sebagainya.
Pasca perang dingin, konlik regional dan internal tumbuh dan menyebar di Afrika menyebabkan keguncangan dalam stabilitas dan keamanan regional dan benua terutama dalam istilah keamanan manusia. Pada dasarnya hampir semua konflik di Afrika merupakan konflik internal. Namun seiring dengan sejalannya waktu, konflik internal tersebut meluas dan berkembang menjadi konflik regional.
Alternatif bentuk regionalisme untuk Afrika ditawarkan oleh Timothy Shaw yaitu regionalisme pada level meso. Regionalisme meso melihat analisis struktur trilateral yang meliputi negara, korporasi dan komunitas. Shaw melihat regionalisme di Afrika sebagai regionalisme informal dengan korporasi dan komunitas sebagai penggerak utama regionalisme tersebut. Terdapat beberapa indikator yang digunakan dalam analisis ini yaitu; isu-isu area, tingkat integrasi dan diversifikasi aktor.
Shaw juga memandang jaringan transnasional dan institusi regional formal tidak harus selalu bertentangan hanya karena membahas isu-isu yang berbeda. Sebagai contoh, negara dan NGOs dapat memiliki hubungan timbal balik dalam lingkup demokrasi, sekalipun NGO sendiri terkadang memiliki otonomi kebijakan sendiri yang terpisah dengan kebijakan pemerintah.
Kesimpulan yang dapat diambil, perspektif regional baru di benua ini memegang janji untuk sejumlah overlapping dalam berbagai disiplin dan debat-debat, termasuk dalam:
a. Ilmu politik yang membutuhkan pemeriksaan ulang asumsi-asumsi mengenai segitiga antara negara, ekonomi dan hubungan masyarakat.
b. Regionalisme baru bersikap menantang terhadap hubungan internasional atau kebijakan luar negeri yang tidak lagi berupa monopoli negara akan tetapi juga aktor non-negara seperti NGOs.
c. Pembelajaran mengenai keamanan harus dimulai untuk melebihi negara-sentris dan asumsi bipolar, tidak hanya dalam teori akan tetapi juga pada prakteknya.
d. Ekonomi poitik internasional harus dimulai untuk mencegah kehancuran dan rekonstruksi selama produksi dan teknologi baru sebagai suatu bentuk perekonomian baru memiliki bentuk yang berbeda di Afrika Selatan.
Afrika sebagai benua dengan mayoritas negara yang tergabung di dalamnya adalah negara terbelakang mengalami pertumbuhan dalam segi ekonomi secara perlahan tapi pasti. Saat ini perekonomian di Afrika sedang mengalami pertumbuhan sebesar 5,4% setingkat dengan pertumbuhan global. Sejumlah negara di Afrika bahkan menunjukkan pertumbuhan ekonomi setingkat dengan negara-negara berkembang dan ada juga yang menunjukkan angka pertumbuhan ekonomi melebihi beberapa negara maju.
Akan tetapi pertumbuhan perekonomian yang tidak merata dan hanya didominasi oleh negara-negara pengekspor minyak seperti Afrika Selatan dan Nigeria dapat menyebabkan perpecahan dalam regional yang sudah rentan tersebut. Selain itu kondisi Afrika sub Sahara yang tidak stabil dapat mengganggu aliran investasi. Infrastruktur yang tidak memadai dan biaya ekspor dari Afrika yang mahal juga dapat mengganggu pertumbuhan ekonomi regional tersebut. Apabila hal-hal tersebut tidak segera diatasi, maka pertumbuhan ekonomi antara negara kaya di Afrika dengan negara miskin akan semakin melebar sementara pertumbuhan ekonomi regional akan semakin menurun.
Selain itu, Afrika juga harus berhenti mengadaptasi bentuk kerjasama regionalisme seperti yang diterapkan di Eropa. Adaptasi tersebut terjadi karena Afrika pernah menjadi koloni negara-negara di Eropa sehingga secara tidak langsung masyarakat di Afrika mengadaptasi nilai-nilai di Eropa. Kondisi perekonomian, perpolitikan maupun geografis di kedua negara tersebut berbeda jauh sehingga implementasi regionalisme di Eropa belum tentu dapat sesuai dan berhasil diterapkan di Afrika. Untuk membentuk regionalisme di Afrika yang stabil dan terus meningkat, Afrika harus berusaha memanfaatkan sumber daya yang ada di Afrika seperti minyak bumi dan berbagai mineral untuk selanjutnya dimanfaatkan semaksimal mungkin dengan memperhatikan berbagai aspek geografis dan ekonomis.
Sources:
Shaw,Timothy M.,2000,’New Regionalisms in Afrika in the New Millenium : Comparative Perspective on Renaissance, Realisms and / or Regressions’,in New Political Economy,Vol.5,No.3
Bach, Daniel. 2003. ’The Global Politics of Regionalism:Afrika’, in Farrel,Mary,et al, Global Politics of Regionalism. Pluto Press: London.
Regionalisme di Afrika diawali dari gerakan pan-Afrika pada pergantian abad keduapuluh. Pada masa perang dunia kedua, objek pergerakan tersebut menjadi lebih terfokus pada isu-isu kolonialisasi dan dominasi oleh para kulit putih. Pada tahun 1963 terbentuk Organisation of African Unity (OAU) yang diadopsi dari piagam Addis Ababa. Organisasi ini mengajak negara-negara merdeka untuk bergabung dan berjuang demi kebebasan atas kolonialisme dan apartheid. OAU memberikan bentuk dasar dari komunitas khayalan di region Afrika.
OAU memiliki kapasitas dalam menyelesaikan konflik yang muncul pasca Perang Dingin dan kolonialisme. Contohnya adalah masalah batas teritorial yang menimbulkan konflik-konflik di Rwanda, Uganda, Kongo. OAU juga memiliki fungsi bagi anggotanya yaitu memberikan jaminan non intervensi pada masalah internal negara anggota. Akan tetapi jaminan non intervensi tersebut malah mendorong terbentuknya suatu rezim yang menidas rakyat di negara-negara Afrika. Munculnya rezim tersebut memicu pembentukan African Unity (AU) pada 9 Agustus 2002 yang membahas masalah keamanan, pengembangan ekonomi, dan kestabilan di wilayah Afrika.
New Partnership for Africa’s Development (NEPAD) kemudian muncul sebagai bentuk regionalisme baru yang merefleksikan kekecewaan rakyat Afrika Selatan terhadap klaim Presiden Thabo Mbeki yang menggunakan pan-Afrika sebagai alat strategi politik. NEPAD kemudian mendorong perdagangan internasional di wilayah Afrika dan membuka peluang peningkatan investasi dan pertumbuhan ekonomi.
Pada era globalisasi masa kini, Afrika merupakan benua yang paling tertinggal di dunia. Di Sub-Sahara Afrika, 37 dari 48 negara yang ada merupakan negara-negara berpenghasilan rendah, dengan pendapatan perkapita dibawah $785. Oleh karena itu, Afrika otomatis juga paling terakhir terkena dampak dari ketidakstabilan arsitektur finansial dunia.
Regionalisme di Afrika pasca perang dingin sangat mengecewakan karena sektor formal perdagangan regional gagal untuk tumbuh melampaui level global. Akan tetapi pertukaran sektor informal Afrika terus berkembang sebagai respon atas batasan level formal dari yang familiar ke bentuk hambatan non-tarif spesifik. Terdapat beberapa pengelompokan perdagangan resmi antar pemerintahan, yaitu Common Market of Eastern and Southern Africa (COMESA), the Economic Community of West African States (ECOWAS), the Southern African Development Community (SADC), African Economic Community (AEC), dan sebagainya.
Pasca perang dingin, konlik regional dan internal tumbuh dan menyebar di Afrika menyebabkan keguncangan dalam stabilitas dan keamanan regional dan benua terutama dalam istilah keamanan manusia. Pada dasarnya hampir semua konflik di Afrika merupakan konflik internal. Namun seiring dengan sejalannya waktu, konflik internal tersebut meluas dan berkembang menjadi konflik regional.
Alternatif bentuk regionalisme untuk Afrika ditawarkan oleh Timothy Shaw yaitu regionalisme pada level meso. Regionalisme meso melihat analisis struktur trilateral yang meliputi negara, korporasi dan komunitas. Shaw melihat regionalisme di Afrika sebagai regionalisme informal dengan korporasi dan komunitas sebagai penggerak utama regionalisme tersebut. Terdapat beberapa indikator yang digunakan dalam analisis ini yaitu; isu-isu area, tingkat integrasi dan diversifikasi aktor.
Shaw juga memandang jaringan transnasional dan institusi regional formal tidak harus selalu bertentangan hanya karena membahas isu-isu yang berbeda. Sebagai contoh, negara dan NGOs dapat memiliki hubungan timbal balik dalam lingkup demokrasi, sekalipun NGO sendiri terkadang memiliki otonomi kebijakan sendiri yang terpisah dengan kebijakan pemerintah.
Kesimpulan yang dapat diambil, perspektif regional baru di benua ini memegang janji untuk sejumlah overlapping dalam berbagai disiplin dan debat-debat, termasuk dalam:
a. Ilmu politik yang membutuhkan pemeriksaan ulang asumsi-asumsi mengenai segitiga antara negara, ekonomi dan hubungan masyarakat.
b. Regionalisme baru bersikap menantang terhadap hubungan internasional atau kebijakan luar negeri yang tidak lagi berupa monopoli negara akan tetapi juga aktor non-negara seperti NGOs.
c. Pembelajaran mengenai keamanan harus dimulai untuk melebihi negara-sentris dan asumsi bipolar, tidak hanya dalam teori akan tetapi juga pada prakteknya.
d. Ekonomi poitik internasional harus dimulai untuk mencegah kehancuran dan rekonstruksi selama produksi dan teknologi baru sebagai suatu bentuk perekonomian baru memiliki bentuk yang berbeda di Afrika Selatan.
Afrika sebagai benua dengan mayoritas negara yang tergabung di dalamnya adalah negara terbelakang mengalami pertumbuhan dalam segi ekonomi secara perlahan tapi pasti. Saat ini perekonomian di Afrika sedang mengalami pertumbuhan sebesar 5,4% setingkat dengan pertumbuhan global. Sejumlah negara di Afrika bahkan menunjukkan pertumbuhan ekonomi setingkat dengan negara-negara berkembang dan ada juga yang menunjukkan angka pertumbuhan ekonomi melebihi beberapa negara maju.
Akan tetapi pertumbuhan perekonomian yang tidak merata dan hanya didominasi oleh negara-negara pengekspor minyak seperti Afrika Selatan dan Nigeria dapat menyebabkan perpecahan dalam regional yang sudah rentan tersebut. Selain itu kondisi Afrika sub Sahara yang tidak stabil dapat mengganggu aliran investasi. Infrastruktur yang tidak memadai dan biaya ekspor dari Afrika yang mahal juga dapat mengganggu pertumbuhan ekonomi regional tersebut. Apabila hal-hal tersebut tidak segera diatasi, maka pertumbuhan ekonomi antara negara kaya di Afrika dengan negara miskin akan semakin melebar sementara pertumbuhan ekonomi regional akan semakin menurun.
Selain itu, Afrika juga harus berhenti mengadaptasi bentuk kerjasama regionalisme seperti yang diterapkan di Eropa. Adaptasi tersebut terjadi karena Afrika pernah menjadi koloni negara-negara di Eropa sehingga secara tidak langsung masyarakat di Afrika mengadaptasi nilai-nilai di Eropa. Kondisi perekonomian, perpolitikan maupun geografis di kedua negara tersebut berbeda jauh sehingga implementasi regionalisme di Eropa belum tentu dapat sesuai dan berhasil diterapkan di Afrika. Untuk membentuk regionalisme di Afrika yang stabil dan terus meningkat, Afrika harus berusaha memanfaatkan sumber daya yang ada di Afrika seperti minyak bumi dan berbagai mineral untuk selanjutnya dimanfaatkan semaksimal mungkin dengan memperhatikan berbagai aspek geografis dan ekonomis.
Sources:
Shaw,Timothy M.,2000,’New Regionalisms in Afrika in the New Millenium : Comparative Perspective on Renaissance, Realisms and / or Regressions’,in New Political Economy,Vol.5,No.3
Bach, Daniel. 2003. ’The Global Politics of Regionalism:Afrika’, in Farrel,Mary,et al, Global Politics of Regionalism. Pluto Press: London.
Diposkan oleh
Mega Savitri
di
8:54 PM
Pada dasarnya ekonomi politik internasional tidak memiliki kontrol struktur dalam tatanannya. Marx dan Smith melihat ekonomi politik internasional melalui sistem yang ada. Dalam sistem tersebut terdapat kepemimpinan dan stabilisator yang berdiri berdampingan. Pemimpin memiliki bentuk konotasi tunggal dan selalu mengontrol keadaan sepanjang waktu. Dalam suatu kepemimpinan, aktor yang menjadi pemimpin memiliki suatu komitmen untuk menciptakan suatu bentuk tatanan dalam keadaan baik ataupun keadaan buruk. Oleh karena itu pemimpin dapat disebut sebagai manajer di segala bidang.
Dari kepemimpinan tunggal muncul sebuah konsep yang disebut hegemoni. Dalam hegemoni, kepemimpinan dipegang oleh seorang hegemon yang memiliki kapabilitas besar dalam bidang ekonomi, politik maupun militer. Kapabilitas tersebut memunculkan suatu bentuk pengaruh atau kendali dalam aktivitas lingkungan internasional.
Stabilisator di lain pihak dapat berupa aktor tunggal maupun jamak. Peran stabilisator adalah untuk melakukan manajemen di saat-saat krisis untuk menciptakan atau mempertahan-kan stabilitas yang ada. Apabila terdapat keadaan krisis, tugas stabilisator adalah untuk meng-upayakan kondisi yang normal dan terkontrol agar tercipta suasana kondusif untuk melakukan kerja sama. Contoh negara yang memegang peranan stabilisator pada saat ini adalah negara Inggris.
Interaksi antara kepemimpinan tunggal dan stabilisator ini menciptakan suatu kondisi yang disebut stabilitas hegemonik. Teori stabilitas hegemonik ini dikembangkan oleh para akademisi EPI pada tahun 1970-an. Variabel dependen dalam teori ini adalah rezim-rezim sementara variabel independen adalah hegemoni. Menurut teori stabilitas hegemonik, kestabilan suatu rezim dalam hubungan ekonomi internasional membutuhkan keberadaan hegemon yang mengatur dan menegaskan peraturan-peraturan dan norma-norma dalam rezim tersebut.
Teori ini merupakan produk dari liberalisme yang memadukan liberalisme dan merkantilisme. Untuk membentuk perekonomian pasar dunia yang liberal, adanya hegemon yang memiliki kekuatan ekonomi-politik dominan merupakan hal yang mutlak dibutuhkan. Adanya hegemon dengan kekuatan dominan dapat mendorong terciptanya perekonomian terbuka antara negara-negara yang berpartisipasi dan bukan hanya negara-negara dengan kekuatan besar saja. Selain itu keberadaan hegemon dapat memaksa negara-negara lain untuk melakukan kerjasama dan mematuhi hasil akhir serta peraturan dalam kerjasama tersebut. Apabila aturan dan norma dalam kerjasama tersebut dipatuhi, hegemon dapat memberikan feedback positif bagi negara tersebut.
Keberadaan hegemon dengan kekuatan dominan sangat penting untuk menjaga tegak-nya perekonomian internasional liberal. Hubungan perekonomian tanpa adanya pengawas sekaligus pengatur dapat menyebabkan terjadinya krisis seperti pada tahun 1930-an dimana setiap negara berusaha mengejar kepentingannya sendiri-sendiri dan meningkatkan hambatan dalam perdagangan internasional melalui proteksionisme dan politik yang saling menjegal lawan.
Menurut Keynes, order atau tatanan itu ada dan diatur oleh negara hegemon untuk mengatasi kegagalan dalam mekanisme pasar. Order diperlukan untuk mengatur pemerataan pendistribusian barang-barang. Dengan adanya keterbatasan produksi barang sementara jumlah konsumsi lebih besar, adanya tatanan merupakan salah satu faktor penting dalam perekonomian internasional.
Contoh struktur dalam order dapat dijumpai dalam Liberal International Economic Order. Dalam LIEO terdapat empat struktur yang berpengaruh yaitu World Bank, IMF, GATT dan Bretton Woods system of fixed-exchange rate.
Pada akhir perang dunia kedua, Amerika Serikat merupakan negara dengan kekuatan dominan. Keberadaan Amerika sebagai pengganti Inggris dalam memegang posisi hegemon merupakan hal yang tak terhindarkan karena kondisi negara-negara Eropa yang masih kelelahan pasca perang sementara negara Jepang dan Uni Soviet mengalami kehancuran sehingga tidak ada negara lain yang dapat memegang peranan hegemon sebaik Amerika Serikat.
Pada masa Amerika memegang peranan sebagai hegemon sejak akhir perang dunia kedua hingga pada tahun 1970-an, tatanan perekonomian internasional dikenal dengan sebutan Liberal International Economic Order (LIEO). Pada saat itu Amerika membentuk tata ekonomi baru yang didasarkan pada perdagangan bebas. Menurut anggapan Amerika, perdagangan bebas merupakan bentuk perekonomian yang mempromosikan kesejahteraan, efisiensi serta kebebasan bagi masing-masing negara untuk melebarkan sayapnya tanpa adanya halangan-halangan yang berarti.
Diawali pada bulan Juli 1944, Presiden Franklin D. Roosevelt memprakarsai kon-ferensi moneter dan keuangan PBB yang berlangsung di Bretton Woods. Konferensi tersebut diadakan untuk memperbaiki perekonomian dunia pasca perang dunia kedua. Pertemuan yang dihadiri oleh lebih dari 40 negara tersebut menghasilkan suatu perjanjian yang menegaskan hegemoni Amerika Serikat di dunia internasonal. Melalui konferensi tersebut dibentuklah fixed-exchange rate system, bank dunia dan IMF untuk memperbaiki kondisi Khaos pada dekade 1930-an. Dalam Bretton Woods system of fixed-exchange rate, Amerika Serikat berlaku sebagai international trade currency dimana mata uang dolar Amerika yang digunakan sebagai mata uang dunia. Nilai dolar pada saat itu ditetapkan sebesar 35 dolar per ons emas. Dengan penetapan sebesar itu, nilai dolar menggantikan nilai mata uang poundsterling sebagai mata uang sentral di dunia internasional. Sebagai hasilnya, lebih dari setengah negara di dunia menggunakan dolar Amerika untuk menyimpan devisa negara.
Order dapat mengalami perubahan seperti yang terjadi kepada LIEO pada dekade 1970-an. Pada dekade tersebut, Amerika mengalami defisit perdagangan untuk yang pertama kalinya. Kondisi defisit tersebut diakibatkan oleh beberapa faktor, salah satunya adalah kebangkitan perekonomian Eropa dan Jepang yang menyebabkan turunnya daya saing produk-produk Amerika. Defisit tersebut diikuti kerugian militer Amerika yang berasal dari perang Indocina yang berkepanjangan menambah neraca pembayaran hingga 10,3 miliar dolar. Belum lagi perusahaan-perusahaan multinasional mengalihkan investasi ke Eropa dan Asia karena tertarik dengan upah buruh yang jauh lebih rendah.
Untuk mengatasi kondisi defisit di Amerika, Presiden Nixon mulai melanggar perekonomian dunia liberal yang mereka bentuk sendiri dan menerapkan langkah-langkah proteksionisme untuk melindungi perekonomian dalam negeri Amerika. Nixon memerin-tahkan penghentian penjualan emas kepada pihak swasta asing pemegang uang dolar yang diikuti penghentian penjualan emas sama sekali, bahkan kepada bank-bank sentral luar negeri. Pada saat Amerika melanggar sistem Bretton Woods tersebut, pada saat itulah hegemoni Amerika Serikat dalam perekonomian internasional mulai menurun.
Penurunan hegemoni Amerika Serikat tersebut diikuti dengan adanya permintaan dari negara-negara berkembang maupun negara-negara dunia ketiga untuk ikut andil dalam pembuatan arsitektur perekonomian global serta bergabung dalam aktivitas yang berlangsung dalam perekonomian global menyebabkan terjadi perubahan bentuk dari LIEO. Sebagai gantinya, sebuah isu mengenai sistem perekonomian baru yang lebih selaras dengan kepen-tingan negara-negara berkembang dan negara-negara yang masih terbelakang muncul untuk menggantikan LIEO.
New International Economic Order (NIEO) pertama kali dikemukakan dalam sidang keenam Majelis Umum PBB pada tahun 1974. PBB menerima Declaration on the Establishment of a New International Economic Order dari negara-negara dunia ketiga yang rata-rata tergabung dalam Gerakan Non-Blok. Pada tahun yang sama Majelis Umum PBB juga menerima Charter of Economic Rights and Duties of States yang berisi perincian prinsip-prinsip dan praktek yang dibutuhkan untuk merealisasikan pembentukan NIEO. Isi dari Charter of Economic Rights and Duties of States adalah: a) reformasi perdagangan dan akses pasar terhadap negara industri maju b) reformasi pada institusi-institusi keuangan global terutama reformasi IMF c) kepedulian terhadap masalah hutang negara-negara berkembang d) permintaan bantuan ekonomi yang lebih besar serta transfer teknologi dari negara-negara industri yang sudah maju e) pengakuan terhadap hak kedaulatan ekonomi, terutama untuk menasionalisasi dan mengendalikan aktifitas MNC.
NIEO pada dasarnya merupakan suatu bentuk usaha politik dari negara-negara ber-kembang untuk menata kembali sistem perekonomian dunia yang dianggap merugikan nega-ra-negara berkembang dan negara-negara terbelakang atas eksploitasi ekonomi dari negara-negara industri maju serta bentuk pendistribusian yang tidak merata. Akan tetapi pemben-tukan NIEO mendapat tentangan dari negara-negara industri yang mayoritas adalah negara-negara maju dan kaya. Ketika Charter of Economic Rights and Duties of States dibawa kepada Majelis Umum PBB, terdapat 120 negara yang mendukung resolusi tersebut sementara negara yang menolak ada enam termasuk Amerika Serikat dan Inggris. Penolakan dari negara-negara maju seperti Amerika Serikat dikarenakan sistem ekonomi baru tersebut dianggap tidak menguntungkan negara-negara industri. Sisa sepuluh negara memilih untuk abstain.
Dari penjabaran diatas memang benar bahwa Amerika telah mengalami penurunan hegemoni dalam lingkungan perekonomian internasional. Akan tetapi apabila ditilik kembali, hingga saat ini Amerika masih mendominasi kekuatan di dunia bahkan diantara negara-negara maju dengan kekuatan besar lainnya. Menurut Strange, Russet dan Nye, Amerika serikat sekalipun mengalami penurunan relatif dalam bidang ekonomi dan teknologi, akan tetapi negara tersebut masih memiliki sumber daya kekuatan tradisional seperti militer, wilayah dan ekonomi. Selain itu perekonomian Amerika Serikat tidak hanya berkembang dalam batas-batas Amerika Serikat saja akan tetapi sudah berkembang melampaui batas-batas wilayah Amerika Serikat. Investasi luar negeri Amerika Serikat merupakan salah satu yang terbesar di dunia sehingga output dunia yang berupa produk barang, jasa maupun mineral masih dalam kekuasaan eksekutif perusahaan-perusahaan Amerika Serikat.
Amerika Serikat hingga pada saat ini masih merupakan hegemon dengan kekuatan yang oleh Joseph Nye disebut sebagai kekuatan co-optive. Kekuatan tersebut menjadikan Amerika memiliki kemampuan untuk membentuk situasi yang mendorong bangsa-bangsa lain menentukan kepentingan-kepentingannya dengan cara yang sesuai dengan keinginan dan kepentingan Amerika Serikat sendiri.
Sekalipun sistem Bretton Woods telah berhenti digunakan sekitar tiga dekade yang lalu, hingga saat ini dolar Amerika masih tetap digunakan dalam berbagai transaksi perda-gangan internasional. Lebih dari setengah negara di dunia masih menyimpan cadangan devisa negara dalam bentuk uang dolar Amerika. Semua kebijakan suku bunga dari Bank Sentral juga selalu memiliki dampak yang luas terhadap perekonomian negara-negara lain di dunia. Kesimpulan yang dapat diambil adalah Amerika Serikat masih memegang posisi hegemon dalam dunia ekonomi politik internasional. Posisi hegemon tersebut dikukuhkan dengan dominasi dolar Amerika dan juga sistem militer dan informasi Amerika yang sangat kuat.
Dari kesimpulan tersebut dapat dilihat suatu kelemahan dari teori stabilitas hegemo-nik. Teori hegemonik tersebut terlalu menekankan kepada pentingnya kepemimpinan tunggal dari aktor yang memiliki dominasi kekuatan sehingga cenderung mengabaikan peranan dari negara-negara berkembang dan negara-negara dunia ketiga, bahkan menganggap negara-negara tersebut sebagai pembonceng egois yang hanya mengambil keuntungan semata tanpa benar-benar bergabung dalam sistem. Padahal sikap kooperatif dan kontribusi dari negara-negara kecil tersebut membantu terbentuknya rezim internasional dengan negara hegemon sebagai pusatnya. Memang benar hegemon dapat membantu kestabilan perekonomian internasional. Akan tetapi pada masa dimana Amerika Serikat bukan satu-satunya negara kuat di dunia seperti pada saat ini menunjukkan bahwa sebenarnya perekonomian dapat berjalan dengan sendirinya dalam sistem yang multipolar. Bagaimanapun keadaan politik dalam lingkungan internasional, perekonomian akan selalu memiliki dinamikanya sendiri.
Sources:
Couloumbis, Theodore A. dan James H. Wolfe. 1986. Introduction to IR: Power and Justice. USA: Prentice-Hall Inc.
Jackson, Roberts dan George Sorensen. 1999. Pengantar Studi Hubungan Internasional. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Plano, Jack C. and Roy Olton. 1982. The International Relation Dictionary. England: Cho Press Ltd.
www.unu.edu yang diakses pada tanggal 22 April 2009.
Dari kepemimpinan tunggal muncul sebuah konsep yang disebut hegemoni. Dalam hegemoni, kepemimpinan dipegang oleh seorang hegemon yang memiliki kapabilitas besar dalam bidang ekonomi, politik maupun militer. Kapabilitas tersebut memunculkan suatu bentuk pengaruh atau kendali dalam aktivitas lingkungan internasional.
Stabilisator di lain pihak dapat berupa aktor tunggal maupun jamak. Peran stabilisator adalah untuk melakukan manajemen di saat-saat krisis untuk menciptakan atau mempertahan-kan stabilitas yang ada. Apabila terdapat keadaan krisis, tugas stabilisator adalah untuk meng-upayakan kondisi yang normal dan terkontrol agar tercipta suasana kondusif untuk melakukan kerja sama. Contoh negara yang memegang peranan stabilisator pada saat ini adalah negara Inggris.
Interaksi antara kepemimpinan tunggal dan stabilisator ini menciptakan suatu kondisi yang disebut stabilitas hegemonik. Teori stabilitas hegemonik ini dikembangkan oleh para akademisi EPI pada tahun 1970-an. Variabel dependen dalam teori ini adalah rezim-rezim sementara variabel independen adalah hegemoni. Menurut teori stabilitas hegemonik, kestabilan suatu rezim dalam hubungan ekonomi internasional membutuhkan keberadaan hegemon yang mengatur dan menegaskan peraturan-peraturan dan norma-norma dalam rezim tersebut.
Teori ini merupakan produk dari liberalisme yang memadukan liberalisme dan merkantilisme. Untuk membentuk perekonomian pasar dunia yang liberal, adanya hegemon yang memiliki kekuatan ekonomi-politik dominan merupakan hal yang mutlak dibutuhkan. Adanya hegemon dengan kekuatan dominan dapat mendorong terciptanya perekonomian terbuka antara negara-negara yang berpartisipasi dan bukan hanya negara-negara dengan kekuatan besar saja. Selain itu keberadaan hegemon dapat memaksa negara-negara lain untuk melakukan kerjasama dan mematuhi hasil akhir serta peraturan dalam kerjasama tersebut. Apabila aturan dan norma dalam kerjasama tersebut dipatuhi, hegemon dapat memberikan feedback positif bagi negara tersebut.
Keberadaan hegemon dengan kekuatan dominan sangat penting untuk menjaga tegak-nya perekonomian internasional liberal. Hubungan perekonomian tanpa adanya pengawas sekaligus pengatur dapat menyebabkan terjadinya krisis seperti pada tahun 1930-an dimana setiap negara berusaha mengejar kepentingannya sendiri-sendiri dan meningkatkan hambatan dalam perdagangan internasional melalui proteksionisme dan politik yang saling menjegal lawan.
Menurut Keynes, order atau tatanan itu ada dan diatur oleh negara hegemon untuk mengatasi kegagalan dalam mekanisme pasar. Order diperlukan untuk mengatur pemerataan pendistribusian barang-barang. Dengan adanya keterbatasan produksi barang sementara jumlah konsumsi lebih besar, adanya tatanan merupakan salah satu faktor penting dalam perekonomian internasional.
Contoh struktur dalam order dapat dijumpai dalam Liberal International Economic Order. Dalam LIEO terdapat empat struktur yang berpengaruh yaitu World Bank, IMF, GATT dan Bretton Woods system of fixed-exchange rate.
Pada akhir perang dunia kedua, Amerika Serikat merupakan negara dengan kekuatan dominan. Keberadaan Amerika sebagai pengganti Inggris dalam memegang posisi hegemon merupakan hal yang tak terhindarkan karena kondisi negara-negara Eropa yang masih kelelahan pasca perang sementara negara Jepang dan Uni Soviet mengalami kehancuran sehingga tidak ada negara lain yang dapat memegang peranan hegemon sebaik Amerika Serikat.
Pada masa Amerika memegang peranan sebagai hegemon sejak akhir perang dunia kedua hingga pada tahun 1970-an, tatanan perekonomian internasional dikenal dengan sebutan Liberal International Economic Order (LIEO). Pada saat itu Amerika membentuk tata ekonomi baru yang didasarkan pada perdagangan bebas. Menurut anggapan Amerika, perdagangan bebas merupakan bentuk perekonomian yang mempromosikan kesejahteraan, efisiensi serta kebebasan bagi masing-masing negara untuk melebarkan sayapnya tanpa adanya halangan-halangan yang berarti.
Diawali pada bulan Juli 1944, Presiden Franklin D. Roosevelt memprakarsai kon-ferensi moneter dan keuangan PBB yang berlangsung di Bretton Woods. Konferensi tersebut diadakan untuk memperbaiki perekonomian dunia pasca perang dunia kedua. Pertemuan yang dihadiri oleh lebih dari 40 negara tersebut menghasilkan suatu perjanjian yang menegaskan hegemoni Amerika Serikat di dunia internasonal. Melalui konferensi tersebut dibentuklah fixed-exchange rate system, bank dunia dan IMF untuk memperbaiki kondisi Khaos pada dekade 1930-an. Dalam Bretton Woods system of fixed-exchange rate, Amerika Serikat berlaku sebagai international trade currency dimana mata uang dolar Amerika yang digunakan sebagai mata uang dunia. Nilai dolar pada saat itu ditetapkan sebesar 35 dolar per ons emas. Dengan penetapan sebesar itu, nilai dolar menggantikan nilai mata uang poundsterling sebagai mata uang sentral di dunia internasional. Sebagai hasilnya, lebih dari setengah negara di dunia menggunakan dolar Amerika untuk menyimpan devisa negara.
Order dapat mengalami perubahan seperti yang terjadi kepada LIEO pada dekade 1970-an. Pada dekade tersebut, Amerika mengalami defisit perdagangan untuk yang pertama kalinya. Kondisi defisit tersebut diakibatkan oleh beberapa faktor, salah satunya adalah kebangkitan perekonomian Eropa dan Jepang yang menyebabkan turunnya daya saing produk-produk Amerika. Defisit tersebut diikuti kerugian militer Amerika yang berasal dari perang Indocina yang berkepanjangan menambah neraca pembayaran hingga 10,3 miliar dolar. Belum lagi perusahaan-perusahaan multinasional mengalihkan investasi ke Eropa dan Asia karena tertarik dengan upah buruh yang jauh lebih rendah.
Untuk mengatasi kondisi defisit di Amerika, Presiden Nixon mulai melanggar perekonomian dunia liberal yang mereka bentuk sendiri dan menerapkan langkah-langkah proteksionisme untuk melindungi perekonomian dalam negeri Amerika. Nixon memerin-tahkan penghentian penjualan emas kepada pihak swasta asing pemegang uang dolar yang diikuti penghentian penjualan emas sama sekali, bahkan kepada bank-bank sentral luar negeri. Pada saat Amerika melanggar sistem Bretton Woods tersebut, pada saat itulah hegemoni Amerika Serikat dalam perekonomian internasional mulai menurun.
Penurunan hegemoni Amerika Serikat tersebut diikuti dengan adanya permintaan dari negara-negara berkembang maupun negara-negara dunia ketiga untuk ikut andil dalam pembuatan arsitektur perekonomian global serta bergabung dalam aktivitas yang berlangsung dalam perekonomian global menyebabkan terjadi perubahan bentuk dari LIEO. Sebagai gantinya, sebuah isu mengenai sistem perekonomian baru yang lebih selaras dengan kepen-tingan negara-negara berkembang dan negara-negara yang masih terbelakang muncul untuk menggantikan LIEO.
New International Economic Order (NIEO) pertama kali dikemukakan dalam sidang keenam Majelis Umum PBB pada tahun 1974. PBB menerima Declaration on the Establishment of a New International Economic Order dari negara-negara dunia ketiga yang rata-rata tergabung dalam Gerakan Non-Blok. Pada tahun yang sama Majelis Umum PBB juga menerima Charter of Economic Rights and Duties of States yang berisi perincian prinsip-prinsip dan praktek yang dibutuhkan untuk merealisasikan pembentukan NIEO. Isi dari Charter of Economic Rights and Duties of States adalah: a) reformasi perdagangan dan akses pasar terhadap negara industri maju b) reformasi pada institusi-institusi keuangan global terutama reformasi IMF c) kepedulian terhadap masalah hutang negara-negara berkembang d) permintaan bantuan ekonomi yang lebih besar serta transfer teknologi dari negara-negara industri yang sudah maju e) pengakuan terhadap hak kedaulatan ekonomi, terutama untuk menasionalisasi dan mengendalikan aktifitas MNC.
NIEO pada dasarnya merupakan suatu bentuk usaha politik dari negara-negara ber-kembang untuk menata kembali sistem perekonomian dunia yang dianggap merugikan nega-ra-negara berkembang dan negara-negara terbelakang atas eksploitasi ekonomi dari negara-negara industri maju serta bentuk pendistribusian yang tidak merata. Akan tetapi pemben-tukan NIEO mendapat tentangan dari negara-negara industri yang mayoritas adalah negara-negara maju dan kaya. Ketika Charter of Economic Rights and Duties of States dibawa kepada Majelis Umum PBB, terdapat 120 negara yang mendukung resolusi tersebut sementara negara yang menolak ada enam termasuk Amerika Serikat dan Inggris. Penolakan dari negara-negara maju seperti Amerika Serikat dikarenakan sistem ekonomi baru tersebut dianggap tidak menguntungkan negara-negara industri. Sisa sepuluh negara memilih untuk abstain.
Dari penjabaran diatas memang benar bahwa Amerika telah mengalami penurunan hegemoni dalam lingkungan perekonomian internasional. Akan tetapi apabila ditilik kembali, hingga saat ini Amerika masih mendominasi kekuatan di dunia bahkan diantara negara-negara maju dengan kekuatan besar lainnya. Menurut Strange, Russet dan Nye, Amerika serikat sekalipun mengalami penurunan relatif dalam bidang ekonomi dan teknologi, akan tetapi negara tersebut masih memiliki sumber daya kekuatan tradisional seperti militer, wilayah dan ekonomi. Selain itu perekonomian Amerika Serikat tidak hanya berkembang dalam batas-batas Amerika Serikat saja akan tetapi sudah berkembang melampaui batas-batas wilayah Amerika Serikat. Investasi luar negeri Amerika Serikat merupakan salah satu yang terbesar di dunia sehingga output dunia yang berupa produk barang, jasa maupun mineral masih dalam kekuasaan eksekutif perusahaan-perusahaan Amerika Serikat.
Amerika Serikat hingga pada saat ini masih merupakan hegemon dengan kekuatan yang oleh Joseph Nye disebut sebagai kekuatan co-optive. Kekuatan tersebut menjadikan Amerika memiliki kemampuan untuk membentuk situasi yang mendorong bangsa-bangsa lain menentukan kepentingan-kepentingannya dengan cara yang sesuai dengan keinginan dan kepentingan Amerika Serikat sendiri.
Sekalipun sistem Bretton Woods telah berhenti digunakan sekitar tiga dekade yang lalu, hingga saat ini dolar Amerika masih tetap digunakan dalam berbagai transaksi perda-gangan internasional. Lebih dari setengah negara di dunia masih menyimpan cadangan devisa negara dalam bentuk uang dolar Amerika. Semua kebijakan suku bunga dari Bank Sentral juga selalu memiliki dampak yang luas terhadap perekonomian negara-negara lain di dunia. Kesimpulan yang dapat diambil adalah Amerika Serikat masih memegang posisi hegemon dalam dunia ekonomi politik internasional. Posisi hegemon tersebut dikukuhkan dengan dominasi dolar Amerika dan juga sistem militer dan informasi Amerika yang sangat kuat.
Dari kesimpulan tersebut dapat dilihat suatu kelemahan dari teori stabilitas hegemo-nik. Teori hegemonik tersebut terlalu menekankan kepada pentingnya kepemimpinan tunggal dari aktor yang memiliki dominasi kekuatan sehingga cenderung mengabaikan peranan dari negara-negara berkembang dan negara-negara dunia ketiga, bahkan menganggap negara-negara tersebut sebagai pembonceng egois yang hanya mengambil keuntungan semata tanpa benar-benar bergabung dalam sistem. Padahal sikap kooperatif dan kontribusi dari negara-negara kecil tersebut membantu terbentuknya rezim internasional dengan negara hegemon sebagai pusatnya. Memang benar hegemon dapat membantu kestabilan perekonomian internasional. Akan tetapi pada masa dimana Amerika Serikat bukan satu-satunya negara kuat di dunia seperti pada saat ini menunjukkan bahwa sebenarnya perekonomian dapat berjalan dengan sendirinya dalam sistem yang multipolar. Bagaimanapun keadaan politik dalam lingkungan internasional, perekonomian akan selalu memiliki dinamikanya sendiri.
Sources:
Couloumbis, Theodore A. dan James H. Wolfe. 1986. Introduction to IR: Power and Justice. USA: Prentice-Hall Inc.
Jackson, Roberts dan George Sorensen. 1999. Pengantar Studi Hubungan Internasional. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Plano, Jack C. and Roy Olton. 1982. The International Relation Dictionary. England: Cho Press Ltd.
www.unu.edu yang diakses pada tanggal 22 April 2009.
Diposkan oleh
Mega Savitri
di
8:18 PM