Pemimpin negara memiliki signifikansi sebagai tokoh sentral dalam pembuatan kebijakan luar negeri. Sekalipun begitu, pemimpin negara bukanlah tokoh tunggal tanpa ada pengaruh dari aktor-aktor lain. Dalam tulisan ini akan difokuskan kepada kelompok-kelompok yang turut mempengaruhi proses pengambilan keputusan.
Graham Allison dalam bukunya yang berjudul ”Essence of Desicion” mengemukakan tiga paradigma yang dapat digunakan untuk menganalisis kebijakan luar negeri negara-negara di dunia. Model yang pertama merupakan model yang juga sangat populer diantara teoretisi politik tradisional yaitu aktor-aktor rasional. Aktor-aktor rasional ini berusaha untuk membuat kebijakan luar negeri yang dapat memaksimalkan pencapaian kepentingan nasional. Dalam hal ini negara dilihat sebagai entitas monolitik. Allison menekankan bahwa kelemahan dari pandangan tersebut adalah negara satu dengan negara lainnya tidak memiliki sifat yang homogen sehingga aktor-aktor rasional tersebut tidak dapat menjelaskan politik luar negeri maupun mekanisme internal dalam perumusannya dengan baik.
Nyaris serupa dengan Allison, Hudson menyebut model yang pertama sebagai dinamika kelompok kecil yang terdiri dari sepuluh hingga lima belas orang. Berdasarkan pernyataan Hermann (1978), elemen-elemen dalam struktur kelompok kecil tersebut—seperti distribusi kekuasaan dan tipe peran masing-masing anggota—akan memiliki konsekuensi yang sangat penting bagi kelangsungan proses kelompok, sehingga mungkin saja dapat menimbulkan percabangan dalam menentukan pilihan-pilihan bagi kebijakan luar negeri. Perbedaan distribusi kekuasaan antara kelompok dengan pemimpin yang memiliki kekuasaan penuh dan kelompok dengan pemimpin yang secara sukarela mendistribusikan kekuasaannya, misalnya, akan memiliki proses dan hasil akhir yang berbeda antara satu sama lain. Contoh dari kelompok kecil yang cukup populer adalah kelompok neokonservatif dari AS yang juga dijuluki sebagai The Hawkish.
Dalam penelitian mengenai proses pembuatan kebijakan luar negeri, Irving Janis memberikan terobosan dengan penelitian yang terfokus kepada disfungsi kelompok kecil di bidang kebijakan luar negeri. Disfungsi kelompok kecil yang disebut oleh Janis sebagai groupthink memiliki tingkat stress dan tingkat taruhan yang sangat tinggi. Mereka cenderung ambigu, tidak pasti, bersifat rahasia dan sangat beresiko. Dalam menghadapi situasi yang kompleks, mereka bertindak berdasarkan respon emosional yang sangat kuat karena adanya ketakutan-ketakutan tertentu (Janis dalam Hudson, 2007). Oleh karena itu, groupthink sebenarnya bukan merupakan manipulasi secara sadar yang dilakukan pemimpin kepada anggota kelompoknya, sebaliknya groupthink lebih merupakan reaksi tidak sadar terhadap dinamika sosial yang sedang berlangsung.
Hart di lain pihak berargumen bahwa groupthink dapat terjadi karena faktor selain yang dijelaskan oleh Janis. Contohnya adalah ancaman yang sangat besar yang diberikan oleh pemimpin kelompok terhadap anggotanya. Hart menggunakan contoh dari Jerrold Post yang menggunakan anekdot tentang Saddam Hussein yang membunuh anggota kelompoknya karena dianggap memberikan saran yang ’tidak layak’.
Model yang kedua yaitu proses organisasional merupakan analisis kebijakan luar negeri melalui organisasi-organisasi nasional yang berbeda seperti Kementerian Luar Negeri, Angkatan Darat, Angkatan Laut, dan sejenisnya. Tidak dapat dipungkiri bahwa sebagian besar keputusan kebijakan luar negeri diimplementasikan melalui organisasi-organisasi eksekutif seperti departemen-departemen dan agensi-agensi. Pemerintah sendiri juga memiliki kecenderungan untuk merasa dan bertindak melalui organisasi. Hal ini menunjukkan bahwa pemerintah sebenarnya bukan merupakan aktor rasional yang uniter.
Allison memberikan kritikan terhadap model yang kedua ini. Masing-masing organisasi tersebut bertindak melalui standar kapabilitas serta kebiasaan yang berbeda antara satu sama lain sehingga membatasi pilihan-pilihan yang memungkinkan bagi presiden maupun para penasihatnya. Dalam hal ini, kepentingan nasional berupa output dari intra-organisasional dengan beberapa perspektif berbeda sehingga cenderung mengacaukan analisis rasional kebijakan luar negeri itu sendiri.
Model yang ketiga, yaitu politik birokratis, merupakan model yang paling disukai oleh Allison. Berdasarkan penggambaran Hudson, politik birokrasi merupakan interseksi kompleks antara dinamika kelompok kecil, proses organisasi, dan tekanan politik domestik. Dalam model ini, lensa analisis difokuskan kepada pusat pemerintahan dari dekat. Dalam menyikapi isu atau krisis tertentu, beberapa tokoh yang dominan (stakeholder) akan berkumpul untuk merancang keputusan kebijakan yang esensial bagi negara.
Untuk menggambarkan intrik-intrik dalam politik birokratis Allison menggunakan Krisis Kuba 1962 sebagai contohnya. Rudal-rudal Rusia yang ditempatkan di Kuba menyebabkan kegemparan di AS. Dalam tubuh pemerintahan terjadi perdebatan kontroversial mengenai reaksi yang harus diambil AS dalam menghadapi tindakan Rusia tersebut. Pada akhirnya Presiden Kennedy mengumumkan bahwa AS akan memblokade Kuba.
Kebijakan luar negeri yang diambil AS terkait Krisis Kuba tersebut dianalisis oleh Allison dengan menggunakan model yang ketiga, dimana masing-masing anggota tim pembuat keputusan diharuskan memperkuat dan melindungi departemen yang dibawahinya. Dalam hal ini menteri pertahanan yang mengepalai bidang pertahanan berusaha memaksimalkan militernya, CIA merancang operasi-operasi rahasia tertentu, sementara departemen luar negeri dapat mengadakan negosiasi yang alot dengan pihak lawan.
Sekalipun model ketiga ini merupakan yang paling direkomendasikan Allison, akan tetapi model ini juga mendapatkan banyak kritikan baik dari dalam maupun dari luar birokrasi sendiri. Mereka beranggapan bahwa pernyataan Allison tersebut menggambarkan bahwa kebijakan yang dirancang oleh departemen semata-mata untuk kepentingan departemen sendiri atau bahkan kepentingan pribadi demi memajukan karir, dan bukannya kepentingan nasional. Padahal para birokrat telah dilatih untuk membuat rekomendasi secara rasional dan non-politis demi kepentingan nasional itu sendiri. Salah satu kritikus model ketiga Allison adalah Kissinger, Menteri Luar Negeri AS periode 1973-1977. Kissinger menyatakan bahwa AS dan para pemimpinnya memiliki lembaga diplomatik yang memiliki kompetensi tinggi dan dedikasi terhadap kepentingan nasional. Dengan semakin kompleksnya kepentingan internasional AS, peran lembaga diplomatik semakin tak tergantikan, yang membuktikan betapa besarnya ketergantungan pemerintah AS terhadap keahlian lembaga tersebut, terutama dalam konteks perumusan kebijakan luar negeri (Coloumbis, 1986: 142).
Referensi:
Couloumbis, Theodore A. dan James H. Wolfe. 1986. Introduction to IR: Power and Justice. USA: Prentice-Hall Inc.
Hudson, Valerie. 2007. Foreign Policy Analysis: Classic and Contemporary Theory. USA: Rowman & Littlefield Publisher, Inc.
Plano, Jack C. and Roy Olton. 1982. The International Relation Dictionary. England: Cho Press Ltd.