Persiapan keberangkatan ke Timor
Leste tergolong gampang-gampang susah. Yang bikin susah karena informasi hotel
di negara ini sangat sedikit sehingga travel agency mengalami kesulitan
mendapatkan informasi mengenai hotel yang bagus dengan harga terjangkau. Bahkan
setelah kami mendapatkan hotel dan melakukan reservasi, ternyata kami tidak
bisa melakukan pembayaran secara langsung menggunakan kartu kredit karena hotel
disana masih belum memiliki fasilitas pembayaran booking menggunakan kartu
kredit. Jadilah saya terpaksa membawa-bawa uang cash dalam bentuk US Dollar
untuk membayar hotel. Di Timor Leste memang menggunakan US Dollar sebagai kurs
utamanya. Hal ini pula yang mempengaruhi mahalnya semua barang-barang Timor
Leste sekalipun secara infrastruktur negara ini masih jauh tertinggal
dibandingkan Indonesia.
Saya dan tim berangkat ke Dili
menggunakan penerbangan pertama dari Jakarta menggunakan maskapai Sriwijaya Air
(hanya maskapai Sriwijaya Air dan Merpati yang menyediakan penerbangan dari
Jakarta ke Dili). Sekalipun penerbangan kami baru pukul 05.45 WIB, namun kami
sudah standby di bandara dari pukul tiga pagi karena harus membawa peralatan
berat seperti kamera dan tripod-tripodnya. Kami melakukan penerbangan domestik
dari Jakarta ke Denpasar dilanjutkan dengan penerbangan internasional dari
Denpasar ke Dili. Perlu diingat bahwa keimigrasian baru akan diproses di
Denpasar, jadi jangan lupa menyiapkan paspor dan pajak bandara sebesar 150
ribu.
Perjalanan dari Denpasar ke Dili
hanya memakan waktu sekitar dua jam. Sebelum mendarat, saya melihat langit Dili
yang sangat cerah menyilaukan. Saya rasa hawa diluar pasti akan sangat terik,
melebihi panasnya Jakarta. Saat pesawat mendarat, saya melihat bahwa Bandara
Internasional Nicolau Lobato ternyata bersebelahan dengan pantai. Pantai cantik
yang berkilauan membuat saya langsung merasa bahwa saya ke Dili untuk bermain,
bukannya bekerja.
Turun dari pesawat, saya melihat
bahwa sekalipun Bandara Nicolau Lobato adalah Bandara internasional, namun
bangunan dan desainnya justru lebih mirip dengan terminal bus di kota kelahiran
saya, Kediri. Yah, tidak apa-apalah. Setelah bulan sebelumnya saya melihat
bandara mewah Changi di Singapura sekarang saatnya melihat bandara yang lebih
sederhana seperti ini. Biar ingat kalau membandingkan negara kita jangan hanya
dengan negara-negara yang lebih maju saja tapi juga dengan negara-negara yang
kurang beruntung sehingga kita tidak lupa bersyukur dengan apa yang sudah kita
miliki.
Perjalanan dari bandara ke pusat
kota hanya memakan waktu sekitar sepuluh menit menggunakan mobil yang sudah
kami sewa. Hal pertama yang saya amati adalah di Dili sama sekali tidak ada
rambu-rambu lalu lintas. Untungnya kendaraan di kota ini tidak terlalu banyak
dan jalanan pun tidak pernah mengalami kemacetan. Kami juga tidak perlu
mengendarai mobil terlalu cepat karena semua tempat-tempat penting dapat kami capai
dalam hitungan menit.
Perjalanan singkat dari bandara ke
hotel sudah bisa membuat saya mengetahui keunggulan kota Dili yaitu pantai-pantainya
yang cantik dan bisa diakses dengan mudah tanpa perlu membayar untuk bisa
menikmatinya. Saya dan kawan-kawan langsung menyerukan kekaguman ketika melihat
jalan raya yang berdampingan langsung dengan lautan. Sungguh suatu pemandangan
langka bagi kami yang setiap hari harus menghabiskan waktu mengarungi lautan
kemacetan Jakarta.
Hotel yang kami tempati selama di
Dili adalah hotel dan resort Excelsior. Untuk ukuran hotel bintang empat,
Excelsior memiliki desain bangunan yang tidak terlalu megah namun cukup nyaman
untuk ditempati dan lokasinya pun relatif dekat dengan pantai. Bangunan
utamanya bertingkat dua dengan beberapa opsi kamar. Kamar standar harga per
malamnya US$ 75 sementara kamar dengan twin bed harganya US$ 99. Harga kamar
sudah termasuk breakfast dan dinner.
Setelah mandi dan istirahat sejenak,
kami langsung bergerak menuju Universitas Nasional Timor Lorosae untuk membuat
VT aktivitas mahasiswa Timor. Sayangnya kami datang pada saat liburan sekolah
sehingga rencana kami terpaksa dibatalkan. Akhirnya kami berpindah lokasi ke
wet market yang berada di dekat pantai. Kebetulan lokasinya berdekatan dengan
Largo De Lecidere, tempat nongkrong anak muda Timor, sehingga kami juga
sekalian mengambil gambar anak-anak muda yang sedang nongkrong.
Menjelang maghrib kami bergerak
menuju Kedutaan Indonesia untuk memenuhi undangan berbuka. Jujur saja klien
kami baru memberitahukan undangan tersebut setelah kami mendarat di Dili.
Akibatnya saya dan tim tidak mempersiapkan pakaian resmi sehingga harus
menggunakan kemeja seadanya. Kami tiba di kedutaan tepat pada saat Adzan
Maghrib. Haus dan lelah karena kami sama sekali tidak tidur akibat persiapan
keberangkatan di malam sebelumnya, kami langsung menyerbu makanan yang
disediakan oleh kedutaan. Setelan sholat dan berbuka, kami mengajukan
permohonan interview mendadak dengan Duta Besar Indonesia untuk Timor Leste,
yang untungnya permohonan kami diterima dengan baik oleh beliau.
Selesai interview, kami menutup
rangkaian syuting kami di hari pertama dan bergerak menuju hotel. Jalanan kota
Dili sudah sepi pada pukul Sembilan malam. Menurut pemandu kami, keramaian di
malam hari biasanya terpusat di lesehan-lesehan tepi pantai dan di bar-bar yang
dpenuhi oleh turis mancanegara. Kami melewati tempat-tempat yang dimaksud namun
tidak turun untuk mampir karena sudah terlalu kecapaian.
Pada hari kedua kami mengawali hari
dengan syuting di kantor klien kami. Di lokasi pertama kami hanya mengambil
gambar operator-operator telepon dan kabel-kabel. Di lokasi kedua kami
mengambil gambar-gambar pegawai yang sedang melayani pelanggan. Usai syuting di
area kantor, kami bergerak menuju area perbukitan untuk mengambil gambar kota
dili dari atas dan pemancar milik klien. Kami menggunakan tiga buah mobil:
Range Rover, satu mobil sewaan dan satu mobil kantor milik klien. Jumlah orang
yang ikut pun bertambah karena selain tim saya dan tim klien dari perusahaan
pusat di Jakarta, tim klien dari perusahaan cabang di Timor Leste pun ingin
ikut dengan kami. Kata mereka, mumpung ada kesempatan dan karena mereka juga
belum pernah mengunjungi bukit tersebut.
Waduh, kalau begini caranya, kami
semua bisa-bisa jatuh ke jurang, pikir saya. Tapi anehnya saya sama sekali
tidak merasa takut. Mungkin karena sebelum ke Timor Leste saya sudah menaiki
Battlestar Galactica dan semua permainan menyeramkan lainnya di Universal
Studio sehingga mobil merosot ke belakang dari jalanan yang curam tidak
menciutkan nyali saya. Justru klien saya yang berpegangan erat-erat kepada saya
sambil berdoa. Untunglah mobil bisa berhenti dengan jarak cukup aman dari
jurang. Akhirnya demi keamanan, kami naik bukit bergantian dijemput oleh range
rover.
Saya rasa kesulitan yang kami alami
untuk naik bukit terbayar sudah ketika kami melihat hamparan pemandangan kota
Dili bergabung dengan lautan luas. Cantik sekali. Saya coba mengingat-ingat,
kapan terakhir saya bisa melihat cakrawala? Kapan terakhir saya melihat
bebukitan dan lautan menyatu seperti ini? Ahh, saya harus lebih banyak
jalan-jalan lagi (bukan untuk kerja, tapi untuk liburan… Kepada HRD, pliiis, 12
hari untuk cuti tahunan dan cuti
bersama itu terlalu sedikit….
Hehehehe….).
Usai pengambilan gambar, kami
bergerak lagi menuju pantai tempat landmark paling terkenal di Timor Leste
berada: Cristo Rei. Cristo Rei merupakan patung Kristus tertinggi kedua di
dunia dengan tinggi 27 meter. Pantai Areia Branca yang berada di bawah bukit
Fatucama tempat patung Cristo Rei berdiri merupakan pantai cantik dengan pasir
putih dan ombak tenang. Pantai ini merupakan tempat favorit bagi keluarga
maupun turis untuk menghabiskan waktu dengan cara berenang atau sekedar
menikmati pemandangan pantai. Walaupun syuting tetap menjadi prioritas utama
kami, namun dengan pemandangan secantik itu, akhirnya kami semua tergoda untuk
berfoto-foto. Untunglah klien bisa memahami kenarsisan kami dan ikut foto-foto
juga.
Tujuan kami berikutnya adalah Pasar Tais, pusat oleh-oleh khas Dili. Sebenarnya saya sangat mengantisipasi kunjungan ke tempat ini karena saya ingin mencari oleh-oleh dengan harga terjangkau untuk teman-teman sekantor. Saya sedikit kecewa ketika melihat bahwa Pasar Tais merupakan pasar tradisional kecil namun harga barang-barangnya selangit. Sebuah dompet kecil dari kain Tais harganya bisa diatas 20 dolar Amerika. Niat saya untuk membeli oleh-oleh pupuslah sudah. Bahkan saya tidak membeli apapun untuk diri-sendiri saking mahalnya barang-barang disitu.
Setelah rangkaian syuting hari kedua
usai, kami berbuka puasa bersama di Restoran Sederhana cabang Dili. Saya baru
tahu kalau di Dili pun ada restoran ini. Makanan Padang memang gak ada matinya…
Kami semua makan dengan lahap disini. Selain karena saat itu adalah waktu
berbuka puasa, kami juga tak perlu khawatir isi dompet akan terkuras karena
semua makanan kami malam itu disponsori oleh klien kami (hehehe).
Di hari ketiga, kami bangun
pagi-pagi untuk mengambil stockshoot
keramaian kota Dili. Walaupun kami (sempat) berharap mendapatkan keramaian kota
yang bagus untuk di-timelapse,
sayangnya kami tidak mendapatkan satu lokasipun dengan keramaian yang kami harapkan. Bagaimanapun juga kesibukan di kota Dili tidak dapat disamakan dengan kesibukan dan kepadatan seperti di Jakarta. Akhirnya setelah mengambil gambar seadanya di salah satu area yang agak
ramai, kami kembali mengunjungi Largo de Lecidere untuk mengambil gambarnya di
pagi hari. Dan karena tempatnya berseberangan, kami sekalian juga mengambil
gambar istana negara: Palacio Do governo. Kami sempat khawatir tidak akan
diijinkan mengambil gambar istana karena kami memang tidak menyiapkan surat
perijinan khusus untuk pengambilan gambar disitu. Untunglah penjaga istana
cukup berbaik hati. Dia mengijinkan kami mengambil gambar dengan syarat hanya
boleh mengambil gambar bagian luar istana.
Jujur saja Palacio Do Governo adalah
istana yang menarik bagi saya. Dari cerita Si Penjaga, istana tersebut adalah
tempat kerjanya Xanana Gusmao, Perdana Menteri Timor Leste. Namun walaupun
judulnya istana, Palacio Do Governo tidak memiliki pagar yang tinggi dan
lancip, hanya pagar rendah yang memisahkan istana dengan jalan raya dan pantai.
Tidak ada penjagaan ketat. Bahkan di halaman istana terlihat ada sekumpulan
ibu-ibu yang sedang senam aerobik. Saya rasa tempat ini bisa diserang dengan
mudah kalau ada invasi militer.
Sebelum kembali ke Jakarta, sekali
lagi kami mengunjungi kantor klien di Timor Plaza untuk pengambilan gambar
terakhir. Sekali lagi saya mencoba berkeliling Plaza untuk mencari oleh-oleh
murah. Namun harga barang-barang disana malah lebih mahal lagi dibandingkan
dengan Pasar Tais. Sudahlah, kali ini saya memutuskan untuk tidak membeli
oleh-oleh saja. Lagian toh saya sedang bekerja, bukan berlibur.
Dalam perjalanan pulang, lagi-lagi
kami mengalami kejadian lucu ketika kami bertemu dengan orang yang sering
sekali kami gosipkan sepanjang kunjungan kami di Timor Leste (kami bahkan iseng
melewati rumahnya dan mengambil foto bagian depan rumah, benar-benar kayak fans
gila, padahal kami adalah sekumpulan orang yang sudah terbiasa melihat artis).
Dia adalah sosok suami kedua Krisdayanti, Raul Lemos. Kami satu pesawat dan
satu bus (bus bandara) dengan dia. Salah satu cameramen merasa sangat lucu
karena kami bisa-bisanya barengan dengan Raul Lemos dalam perjalanan menuju
Jakarta sampai-sampai dia dengan pedenya menyapa Raul seperti menyapa teman
sendiri.
Ketika akhirnya kami mendarat di
Soekarno Hatta, perasaan saya lega karena akhirnya kembali ke peradaban,
sementara di sisi lain agak sedih karena saya tahu saya akan merindukan Dili
dengan pantai dan bukit-bukitnya yang cantik. Suatu hari nanti, kalau
beruntung, saya ingin main kesana lagi untuk liburan. Dan kalau kesempatan itu
akhirnya datang, saya pasti akan melompat ke laut untuk snorkeling. Ya,
kekurangan dari perjalanan ini adalah saya mengunjungi tempat yang terkenal
dengan pantai-pantainya, namun tidak sekalipun saya mendapatkan kesempatan
untuk menikmati keindahan bawah lautnya. Masih ada next time, siapa tahu saya
mendapatkan rejeki lagi untuk mengunjungi Dili, yak kan?!
KEBUTUHAN BUDGET TRAVELING KE TIMOR LESTE
Pesawat Jakarta-Dili-Jakarta 4.000.000
Tax Bandara Soekarno Hatta 40.000
Tax Bandara Ngurah Rai 150.000
Visa Timor Leste US$ 30 300.000
Hotel US$ 75/Malam/Orang X 2 malam 3.000.000 (Breakfast and Dinner Included)
Rental Mobil US$ 200 2.000.000
Makan siang 2 hari US$ 30 300.000
Lain-lain US$ 50 500.000
TOTAL 10.240.000
Note:
Dengan pengandaian 1 US$ adalah Rp.10.000,00 (well, saya berangkat ke Timor
Leste memang sebelum nilai rupiah turun)