Pemikiran McKinder mengenai Eurasia sebagai bagian penting pusat dunia menyebabkan Amerika Serikat (AS) percaya bahwa usaha untuk menguasai dunia sebagaimana yang diinginkan oleh kelompok Hawkish akan tercapai dengan menguasai wilayah tersebut. Dari pemikiran McKinder tersebut, AS menarik kesimpulan bahwa kawasan Teluk Persia dan Laut Kaspia—wilayah-wilayah yang kaya dan mengandung sekitar 70 persen cadangan minyak dunia—merupakan kawasan yang harus berada di bawah kontrol AS. Tidak hanya Amerika Serikat saja, Rusia, Kanada dan Inggris merupakan negara-negara yang berusaha menguasai sumber-sumber minyak strategis di dunia. Akan tetapi keinginan untuk menguasai sumber daya terbatas paling dicari tentu saja akan menyebabkan bentrokan kepentingan antara pihak-pihak yang mengejarnya. Di sini saya akan mengambil satu contoh kasus saja.
Agresi Militer yang dilakukan AS ke Irak pada tanggal 20 Maret 2003 merupakan momen yang menandai dimulainya Perang Teluk II. Dengan alasan memusnahkan senjata pemusnah masal dan terorisme internasional, AS mengabaikan PBB sekaligus penolakan global, dan melakukan serangan militer kepada Irak. Presiden Bush bahkan dengan arogan menyatakan bahwa AS tidak perlu bergantung kepada keputusan dari negara-negara lain untuk menjalankan keputusan sendiri.
Merujuk kepada pemikiran Abdul Halim (2003), terdapat sebenarnya dari agresi AS tersebut adalah permasalahan sumber daya alam terutama minyak bumi yang sangat melimpah di kawasan tersebut. AS sebagai pengimpor sekaligus konsumen minyak terbesar didunia melihat Irak sebagai kawasan strategis untuk menjaga cadangan minyak bumi AS. Dilihat dari catatan cadangan minyak AS, hanya tersedia 22 milyar barel minyak atau setara dengan 2% saja dari cadangan minyak dunia. Hal ini menunjukan terus berkurangnya cadangan minyak AS. AS sebagai pengimpor minyak terbesar didunia, sekaligus memiliki kekuatan militer terbesar di dunia melihat bahwa penguasaan minyak Irak dapat mengantisipasi penurunan keberadaan minyak dunia sebanyak 5 juta barel per hari pada dekade yang akan mendatang. Selain itu, AS berkeinginan untuk membanjiri pasar minyak dunia dengan 7 hingga 8 juta barel minyak per harinya, yang tentu saja diambil dari ladang-ladang minyak di Irak, yang kemudian dapat menghancurkan OPEC dan merugikan negara-negara penghasil minyak.
Kasus diatas merupakan salah satu contoh saja peperangan yang disebabkan oleh keinginan menguasai sumber minyak. Memang tidak dapat dipungkiri bahwa minyak merupakan sumber kekayaan bagi siapa saja yang menguasainya. Sebagai konsekuensinya, minyak juga memiliki probabilitas yang sangat tinggi untuk membawa peperangan antar negara-negara yang memperebutkannya—dimana masing-masing pihak berusaha memperoleh secuil keuntungan—serta membawa ketidakstabilan politik bagi wilayah-wilayah yang memilikinya. Wilayah Timur Tengah adalah contoh nyata yang sudah mengalami berbagai perundingan-perundingan dan diplomasi akan tetapi tidak juga meraih kestabilan politik yang diinginkan. Bahkan, kalau kita perhatikan dari sisi geoekonominya, negara-negara di Timur Tengah merupakan negara-negara yang cenderung miskin, dengan kondisi sosial politik dan ekonomi yang rentan, sehingga sangat mudah dimasuki oleh pengaruh-pengaruh asing yang justru menambah ketidakstabilan dalam negeri.
Sekalipun pandangan para sarjana mengenai persaingan memperebutkan minyak cenderung dilihat sebagai suatu hal yang negatif, akan tetapi penulis pribadi beranggapan bahwa komoditas langka tersebut juga dapat mendorong terjadinya perdamaian dan integrasi. Di sini penulis akan mengambil kasus Rusia dan Uni Eropa sebagai contohnya. Rusia sebagai negara penghasil minyak dan gas alam terbesar di kawasan Eropa memiliki posisi strategis sebagai pemasok di kawasan Eropa. Tidak hanya itu, apabila Rusia ingin mengambil minyak dari Timur Tengah, negara tersebut juga terpaksa melewati jalur Eropa. Adanya kebutuhan timbal-balik yang berlandaskan kepada minyak tersebut mendorong baik Rusia maupun negara-negara Uni Eropa untuk saling menundukkan ego masing-masing dan menjalin hubungan yang lebih damai. Oleh karena itu, apabila hubungan kerjasama negara-negara Eropa dan Rusia memburuk pada masa perang dingin, permintaan terhadap minyak dari Rusia malah cenderung mendorong hubungan yang lebih damai diantara keduanya. Kerjasama antara Uni Eropa dan Rusia kemudian terjalin dalam Euro-Rus Relations.
Contoh kasus lainnya adalah hubungan antara AS dan Arab Saudi juga terbentuk atas dasar negara pengimpor dan pengekspor minyak. Apabila kita cermati lagi, Arab Saudi menyediakan pasokan minyak kepada AS. Sebagai timbal baliknya, AS menjamin keamanan dari negara Arab Saudi dari ancaman negara-negara lain. Hubungan antara dua negara ini merupakan sebuah terobosan terhadap perdamaian Timur Tengah. Bahkan keinginan untuk menjaga hubungan baik dengan Arab Saudi lah yang mendorong AS untuk berperan aktif terhadap terwujudnya perdamaian antara Israel-Palestina. Tanpa persahabatan dengan Arab yang cenderung mendukung Palestina sementara AS sendiri juga memiliki kecenderungan memihak Israel, upaya-upaya perdamaian mungkin akan menjadi lebih sulit dibandingkan dengan kondisi saat ini.
Tidak dapat dipungkiri bahwa perdamaian yang dibangun berdasarkan kebutuhan akan minyak cenderung merupakan perdamaian yang sedikit rentan dan mungkin tidak akan kokoh dalam melewati waktu. Akan tetapi berdasarkan contoh-contoh kasus diatas, membangun perdamaian melalui komoditi yang diperebutkan bukanlah suatu hal yang mustahil. Ini hanya mengenai masalah persepsi dan mengenai bagaimana cara manusia bereaksi untuk mendapatkan komoditas langka yang ingin dikuasai. Apabila perdamaian dapat muncul dari keinginan untuk mendominasi, maka harapan mengenai perdamaian di Timur Tengah bukanlah suatu hal yang mustahil apabila negara-negara besar memutuskan untuk menggunakan pendekatan-pendekatan yang lebih kooperatif untuk menguasai komoditi minyak di kawasan tersebut.
Referensi:
Halim, Abdul Perang Teluk II: Ambisi Global Amerika Serikat; dalam Mahally. 2003. Membongkar Ambisi Global Amerika Serikat. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan. Hlm 311-414.
Jones, Martin, Rhys Jones and Michael Woods. 2004. An Introduction to Political Geography. London: Routledge.