Wanita Versus Dunia

Label: , , , , ,



Menjadi wanita itu tidak pernah mudah. Tuntutan sosial dalam masyarakat menyebabkan kaum wanita harus menghadapi stereotip-stereotip tertentu ketika sudah menginjak usia dewasa. Sebagai contohnya, wanita cenderung dituntut untuk segera menikah, segera memiliki anak, menjadi ibu dan membesarkan anak dengan baik. Bukan berarti bahwa pilihan untuk menjadi seorang ibu rumah tangga adalah sebuah pilihan yang salah atau rendah. Justru sebaliknya, penulis sangat menghargai peran seorang wanita sebagai ibu rumah tangga maupun sebagai seorang istri sebagai tokoh sentral yang menjaga keberlangsungan rumah tangga, membesarkan dan membentuk karakter dari anak-anaknya, serta menjadi pendamping bagi suaminya.
Sayangnya, apabila ada wanita yang ingin maju, melakukan sebuah dobrakan untuk diri sendiri maupun lingkungannya, atau cenderung lebih berambisi untuk mengejar karir atau cita-citanya dibandingkan dengan membentuk sebuah keluarga, tanpa bisa dihindari, stereotip yang telah membentuk pikiran masyarakat mengenai hakikat seorang wanita sebagai seorang ibu, akan cenderung memojokkan wanita dengan pilihan yang dianggap mengabaikan hakikat dari wanita itu sendiri.
Stereotip terhadap wanita merupakan masalah yang nyata terjadi di masyarakat, bahkan masih terjadi hingga saat ini, di era yang disebut-sebut sebagai era globalisasi. Sebuah era yang mengunggul-unggulkan solidaritas dan keterbukaan. Di lingkungan tempat kelahiran penulis, masih banyak wanita, diantaranya adalah kawan-kawan penulis sendiri dipaksa untuk memasuki kehidupan rumah tangga di usia yang tergolong masih sangat muda. Tidak hanya dipaksa oleh rongrongan keluarga, mereka juga didorong oleh pemikiran masyarakat setempat bahwa melajang diatas usia dua puluh tahun adalah suatu hal yang sangat menyedihkan bahkan cenderung melanggar norma-norma setempat. Hal inilah yang kemudian mendorong kaum wanita menjadi kecut, ragu-ragu untuk melangkah maju, melakukan langkah progresif dalam hidupnya, bahkan sebelum memulainya.
Fokus permasalahan dalam tulisan ini adalah mengenai sebuah pilihan, dan bagaimana pilihan tersebut terkadang terhalang atau terkekang pandangan yang cenderung konservatif mengenai definisi wanita. Menjadi seorang wanita karir atau wanita yang berprofesi sebagai pegulat atau wanita yang terjun di dunia politik atau bahkan menjadi seorang wanita yang tidak menikah adalah pilihan. Pilihan yang harus dihormati oleh khalayak umum ataupun manusia-manusia dengan gender lelaki.
Melalui tulisan ini penulis berusaha untuk menegaskan bahwa kaum wanita memiliki hak yang sama esensialnya dengan kaum pria untuk menentukan pilihan hidupnya sendiri. Wanita, apapun yang menjadi pilihan hidupnya baik itu seorang ibu atau wanita karir, tetap menjadi karakter sentral yang dapat membawa harmoni bersama dengan keberadaannya. Menjadi seorang istri dan ibu, maka wanita menjadi sosok yang menjaga harmoni dalam keluarga, menjadikannya tetap seimbang dan simultan pada saat bersamaan. Menjadi wanita karir, wanita membawa harmoni dalam lingkungan kerjanya dengan memberikan sentuhan-sentuhan feminin yang dapat menjadi penyeimbang rasionalitas kaum adam. Dengan kata lain, keberadaan wanita merupakan suatu hal yang signifikan dalam menjaga keseimbangan lingkungan di sekitarnya sebagaimana yin tidak akan bisa berdiri sendiri tanpa yang.
Yang harus dipahami, baik oleh kaum lelaki maupun kaum perempuan itu sendiri, wanita juga membutuhkan kebebasan dari berbagai belenggu stereotip sebagaimana yang telah penulis jelaskan diatas, agar wanita mampu mendobrak lingkungan sekitarnya maupun dunia yang kita tinggali secara keseluruhan dengan berbagai pemikiran dan ide-idenya. Kaum lelaki harus memahami kebutuhan akan kebebasan tersebut sementara kaum wanita harus berani untuk menantang arus dan meraih kebebasan itu sendiri.
Terbebas dari belenggu sterotip tidak harus menjadikan wanita harus melupakan kodratnya sebagai sebagai kaum hawa. Banyak sekali contoh wanita yang tidak hanya berhasil membawa perubahan di dunia, akan tetapi tetap menjadi sosok istri maupun ibu yang baik bagi kelaurganya. Hillary Clinton adalah salah satu sosok wanita yang mampu menjalankan baik peran istri maupun wanita karir pada saat yang sama. Pada masa kejayaan Bill Clinton, Hillary adalah sosok yang paling berpengaruh dalam kesuksesan tersebut dengan dukungan maupun pemikiran-pemikirannya. Dan saat ini, ketika Bill Clinton sudah tidak lagi menjadi Presiden Amerika Serikat (AS), Hillary masih tetap menunjukkan kejayaannya sebagai sosok wanita yang berpengaruh di dunia dengan menjadi Menteri Luar Negeri AS.
Indonesia juga memiliki sosok-sosok wanita yang berhasil menentang pandangan umum dan meraih kebebasan tidak hanya untuk dirinya sendiri akan tetapi juga wanita-wanita sebangsanya dan wanita-wanita yang menjadi generasi penerusnya. Ibu Kartini dengan perjuangannya agar wanita mendapatkan pendidikan yang setara dengan kaum lelaki mengantarkannya sebagai wanita yang terus dikenang sepanjang masa. Berkat Ibu Kartini, wanita Indonesia saat ini mampu bangkit berdiri mencapai berbagai hal yang sebelumnya dimonopoli oleh kaum lelaki. Kemudian ada Ibu Megawati mantan presiden wanita pertama di Indonesia yang menunjukkan bahwa seorang wanita pun dapat menjadi pemimpin suatu negara.
Masih banyak contoh-contoh wanita inspiratif lain yang menunjukkan keberanian dalam menentukan tujuan hidup serta cita-citanya dan menjalani pilihan tersebut untuk menunjukkan signifikansi esistensinya. Ada Michelle Obama yang terlibat kebijakan dalam pemerintahan Amerika untuk memperjuangkan hak-hak wanita; Sri Mulyani mantan Menteri Keuangan Indonesia yang sekarang menjadi Managing Director Bank Dunia; J.K.Rowling yang menggebrak dunia dengan novel berseri karyanya; serta wanita-wanita pemberani lain yang mungkin juga anda atau saya adalah salah satunya.
Dalam era yang bergerak cepat mengikuti berbagai macam perubahan yang cenderung beriringan dengan kebebasan dan keterbukaan, terjebak dalam suatu pola pikiran maupun stereotip-stereotip yang mengungkung batasan eksplorasi wanita terhadap dirinya sendiri bukanlah suatu pilihan. Oleh karena itu, di satu sisi masyarakat pada umumnya, baik pria atau wanita, tua atau muda, konservatif atau moderat harus bisa membiasakan diri untuk berpikir melampaui stereotip yang membelenggu kaum wanita. Ketika melihat wanita berjuang meraih impian atau pilihan hidupnya, seberapapun tidak konvensionalnya, alih-alih menggurui justru menunjukkan penghargaan atas pencapaian yang diperoleh sang wanita. Di sisi lain, para wanita juga harus mampu menegakkan kepala, mengatakan dengan lantang “kami wanita, kami bisa, kami berani, dan kami akan mengubah dunia” untuk kemudian menyambut tantangan untuk membuat dunia menjadi tempat dan masa depan yang lebih baik, terutama bagi para wanita pada umumnya.

Book Review: Bloodlines by Richelle Mead

Label: , , ,




I think at least half of Vampire Academy Series readers are brokenhearted for Adrian. I’m one of them. Adrian’s the kind of loveable bad guy character. Sometimes he reminds me of Chuck Bass from Gossip Girl, less annoying thankfully. When I heard that Richelle Mead is going to make a series for Adrian, I felt ecstatic.

Bloodlines main heroin is Sydney the alchemist. She’s afraid of vampires, hated some of them, but somehow she got herself tangled with a bunch of vampires. As an alchemist Sydney had to serve as a bridge between human and vampires. Her job made her involved in the chaos in vampire world. Her current task was to prevent civil war between moroi vampires by helping Jill Dragomir.

Jill Dragomir, Vampire Queen younger sister was in mortal danger from the opposition party of the queen. Sydney and Jill, accompanied by Adrian and Eddie—a vampire who’s very close to Jill and a dhampir who’s protecting Jill—they went to a human boarding school in Palm Spring California—a place where just a little number of vampires hide in there. Sydney thought that they’re at least safer in Palm Spring. But the drama was just begun. It’s not only their live on the stake. Before she realized it, Sydney found out that her heart, ignoring her brain, went to someone who’s forbidden for her.

 I have to say that Sydney is totally a different character compared to Rose Hathaway (main heroin from Vampire Academy Series). Sydney is very smart, but she could be very clueless in certain social situation since she never went to a normal school. She’s not a badass character to the bones like Rose. She’s very obsessive with her weight and sometime she could be a little bit unsure of herself. But I think it made her more believable and easy to connect with the readers. And here she is: in a foreign environment, a new social circle (well, it’s her first social life aside from her job), surrounded by some vampires posing as her family. As the story progressed, she’s more like a mother hen protecting her vampire friends.

The chemistry for the main characters is developed rather slowly. For Sydney, Adrian is an interesting character. One time Adrian could act like a natural born charmer. On the other time, darkness leaked from him, making him looked like a totally different character. The difference could be very confusing for Sydney. But for me, their interactions are the most exciting part of the book. It’s very fun to learn how their relationship developed as they begun to understand each other better.

I have to admit that in the first book of Bloodlines series, the story progressed a little bit slow although the premise of the series itself seemed promising. But we have to remember that Vampire Academy Series started in a same way—which meant that Mead tried to introduce and personalize every character in the first book. We can expect the story to move faster in her next book of the series. One thing I can promise you: you’ll get a good vampire story from this book. No sparkling vampires, no clingy characters, you’ll get a decent ending—with climax and a little cliffhanger to make you curious enough for the second book. Definitely a must read one, even though you’re not a vampire stories lover.

Pembuatan Kebijakan luar Negeri Oleh Kelompok Tertentu

Label: , , , ,
Pemimpin negara memiliki signifikansi sebagai tokoh sentral dalam pembuatan kebijakan luar negeri. Sekalipun begitu, pemimpin negara bukanlah tokoh tunggal tanpa ada pengaruh dari aktor-aktor lain. Dalam tulisan ini akan difokuskan kepada kelompok-kelompok yang turut mempengaruhi proses pengambilan keputusan.

Graham Allison dalam bukunya yang berjudul ”Essence of Desicion” mengemukakan tiga paradigma yang dapat digunakan untuk menganalisis kebijakan luar negeri negara-negara di dunia. Model yang pertama merupakan model yang juga sangat populer diantara teoretisi politik tradisional yaitu aktor-aktor rasional. Aktor-aktor rasional ini berusaha untuk membuat kebijakan luar negeri yang dapat memaksimalkan pencapaian kepentingan nasional. Dalam hal ini negara dilihat sebagai entitas monolitik. Allison menekankan bahwa kelemahan dari pandangan tersebut adalah negara satu dengan negara lainnya tidak memiliki sifat yang homogen sehingga aktor-aktor rasional tersebut tidak dapat menjelaskan politik luar negeri maupun mekanisme internal dalam perumusannya dengan baik.

Nyaris serupa dengan Allison, Hudson menyebut model yang pertama  sebagai dinamika kelompok kecil yang terdiri dari sepuluh hingga lima belas orang. Berdasarkan pernyataan Hermann (1978), elemen-elemen dalam struktur kelompok kecil tersebut—seperti distribusi kekuasaan dan tipe peran masing-masing anggota—akan memiliki konsekuensi yang sangat penting bagi kelangsungan proses kelompok, sehingga mungkin saja dapat menimbulkan percabangan dalam menentukan pilihan-pilihan bagi kebijakan luar negeri. Perbedaan distribusi kekuasaan antara kelompok dengan pemimpin yang memiliki kekuasaan penuh dan kelompok dengan pemimpin yang secara sukarela mendistribusikan kekuasaannya, misalnya, akan memiliki proses dan hasil akhir yang berbeda antara satu sama lain. Contoh dari kelompok kecil yang cukup populer adalah kelompok neokonservatif dari AS yang juga dijuluki sebagai The Hawkish.

Dalam penelitian mengenai proses pembuatan kebijakan luar negeri, Irving Janis memberikan terobosan dengan penelitian yang terfokus kepada disfungsi kelompok kecil di bidang kebijakan luar negeri. Disfungsi kelompok kecil yang disebut oleh Janis sebagai groupthink memiliki tingkat stress dan tingkat taruhan yang sangat tinggi. Mereka cenderung ambigu, tidak pasti, bersifat rahasia dan sangat beresiko. Dalam menghadapi situasi yang kompleks, mereka bertindak berdasarkan respon emosional yang sangat kuat karena adanya ketakutan-ketakutan tertentu (Janis dalam Hudson, 2007). Oleh karena itu, groupthink sebenarnya bukan merupakan manipulasi secara sadar yang dilakukan pemimpin kepada anggota kelompoknya, sebaliknya groupthink lebih merupakan reaksi tidak sadar terhadap dinamika sosial yang sedang berlangsung.

Hart di lain pihak berargumen bahwa groupthink dapat terjadi karena faktor selain yang dijelaskan oleh Janis. Contohnya adalah ancaman yang sangat besar yang diberikan oleh pemimpin kelompok terhadap anggotanya. Hart menggunakan contoh dari Jerrold Post yang menggunakan anekdot tentang Saddam Hussein yang membunuh anggota kelompoknya karena dianggap memberikan saran yang ’tidak layak’.

Model yang kedua yaitu proses organisasional merupakan analisis kebijakan luar negeri melalui organisasi-organisasi nasional yang berbeda seperti Kementerian Luar Negeri, Angkatan Darat, Angkatan Laut, dan sejenisnya. Tidak dapat dipungkiri bahwa sebagian besar keputusan kebijakan luar negeri diimplementasikan melalui organisasi-organisasi eksekutif seperti departemen-departemen dan agensi-agensi. Pemerintah sendiri juga memiliki kecenderungan untuk merasa dan bertindak melalui organisasi. Hal ini menunjukkan bahwa pemerintah sebenarnya bukan merupakan aktor rasional yang uniter.

Allison memberikan kritikan terhadap model yang kedua ini. Masing-masing organisasi tersebut bertindak melalui standar kapabilitas serta kebiasaan yang berbeda antara satu sama lain sehingga membatasi pilihan-pilihan yang memungkinkan bagi presiden maupun para penasihatnya. Dalam hal ini, kepentingan nasional berupa output dari intra-organisasional dengan beberapa perspektif berbeda sehingga cenderung mengacaukan analisis rasional kebijakan luar negeri itu sendiri.

Model yang ketiga, yaitu politik birokratis, merupakan model yang paling disukai oleh Allison. Berdasarkan penggambaran Hudson, politik birokrasi merupakan interseksi kompleks antara dinamika kelompok kecil, proses organisasi, dan tekanan politik domestik. Dalam model ini, lensa analisis difokuskan kepada pusat pemerintahan dari dekat. Dalam menyikapi isu atau krisis tertentu, beberapa tokoh yang dominan (stakeholder) akan berkumpul untuk merancang keputusan kebijakan yang esensial bagi negara.

Untuk menggambarkan intrik-intrik dalam politik birokratis Allison menggunakan Krisis Kuba 1962 sebagai contohnya. Rudal-rudal Rusia yang ditempatkan di Kuba menyebabkan kegemparan di AS. Dalam tubuh pemerintahan terjadi perdebatan kontroversial mengenai reaksi yang harus diambil AS dalam menghadapi tindakan Rusia tersebut. Pada akhirnya Presiden Kennedy mengumumkan bahwa AS akan memblokade Kuba.

Kebijakan luar negeri yang diambil AS terkait Krisis Kuba tersebut dianalisis oleh Allison dengan menggunakan model yang ketiga, dimana masing-masing anggota tim pembuat keputusan diharuskan memperkuat dan melindungi departemen yang dibawahinya. Dalam hal ini menteri pertahanan yang mengepalai bidang pertahanan berusaha memaksimalkan militernya, CIA merancang operasi-operasi rahasia tertentu, sementara departemen luar negeri dapat mengadakan negosiasi yang alot dengan pihak lawan.

Sekalipun model ketiga ini merupakan yang paling direkomendasikan Allison, akan tetapi model ini juga mendapatkan banyak kritikan baik dari dalam maupun dari luar birokrasi sendiri. Mereka beranggapan bahwa pernyataan Allison tersebut menggambarkan bahwa kebijakan yang dirancang oleh departemen semata-mata untuk kepentingan departemen sendiri atau bahkan kepentingan pribadi demi memajukan karir, dan bukannya kepentingan nasional. Padahal para birokrat telah dilatih untuk membuat rekomendasi secara rasional dan non-politis demi kepentingan nasional itu sendiri. Salah satu kritikus model ketiga Allison adalah Kissinger, Menteri Luar Negeri AS periode 1973-1977. Kissinger menyatakan bahwa AS dan para pemimpinnya memiliki lembaga diplomatik yang memiliki kompetensi tinggi dan dedikasi terhadap kepentingan nasional. Dengan semakin kompleksnya kepentingan internasional AS, peran lembaga diplomatik semakin tak tergantikan, yang membuktikan betapa besarnya ketergantungan pemerintah AS terhadap keahlian lembaga tersebut, terutama dalam konteks perumusan kebijakan luar negeri (Coloumbis, 1986: 142).


Referensi:
Couloumbis, Theodore A. dan James H. Wolfe. 1986. Introduction to IR: Power and Justice. USA: Prentice-Hall Inc.
Hudson, Valerie. 2007. Foreign Policy Analysis: Classic and Contemporary Theory. USA: Rowman & Littlefield Publisher, Inc.
Plano, Jack C. and Roy Olton. 1982. The International Relation Dictionary. England: Cho Press Ltd.