Pola Perubahan Kebijakan Luar Negeri

Label: , , , , ,
Pada masa perang dingin, analisis politik luar negeri cenderung memiliki tendensi untuk bersifat stabil dan berkelanjutan, sementara pendekatan-pendekatan sporadis yang dilakukan hanya memberikan sedikit atau bahkan tidak sama sekali kontribusi bagi perubahan. Tren tersebut saat ini mulai mengalami perubahan yang diakibatkan oleh terjadinya perubahan sistemik dalam politik internasional. Pada saat yang sama, paradigma dalam disiplin ilmu hubungan internasional sendiri mulai mengalami pergeseran, yang kemudian turut berkontribusi dalam masalah perubahan politik luar negeri (Blauvakos dan Bourantonis, 2010). Selanjutnya, untuk memahami dinamika perubahan politik luar negeri penulis akan merujuk kepada pemikiran Hermann (1990), Holsti (1982) serta serta Goldmann (1988).
Hermann menjelaskan bahwa politik luar negeri dapat dilihat sebagai subjek, setidaknya dalam empat level perubahan (Hermann, 1990). Level pertama yaitu adjustment change melihat bahwa perubahan-perubahan muncul dalam level usaha, baik lebih kecil maupun lebih besar, atau dalam lingkup para penerima. Dalam level ini turut dibahas mengenai apa yang telah dilakukan, bagaimana cara melakukannya, serta tujuan-tujuan dibalik ketiadaan perubahan setelah perubahan diaplikasikan. Level kedua merupakan program changes dimana perubahan itu sendiri dibuat melalui metode-metode yang ditujukan bagi permasalahan itu sendiri. Perbedaan utama antara adjustment changes dengan program changes terletak pada kecenderungan adjustment change untuk menjadi kuantitatif sementara program changes lebih kualitatif dan melibatkan penggunaan instrumen-instrumen baru dari negara. Level ketiga yaitu problem/goal changes menekankan pada permasalahan utama dimana kebijakan yang dipermasalahkan digantikan oleh kebijakan lain atau malah dihilangkan begitu saja. Dalam level ini, tujuan-tujuannya sendiri juga digantikan dengan yang lain. Level keempat adalah international orientation changes yang merupakan bentuk paling ekstrim dari perubahan politik luar negeri. Level ini melibatkan redireksi dari keseluruhan orientasi para aktornya terhadap isu-isu perpolitikan dunia. Di lain pihak, untuk mempersempit bentuk perubahan, aktor yang bersangkutan melakukan pendekatan hanya kepada satu isu atau satu set aktor spesifik lainnya. Perubahan yang terjadi sendiri melibatkan peran dan aktivitas para aktor dalam lingkungan internasional. Oleh karena itu, kebijakan yang mengalami perubahan biasanya tidak hanya satu saja akan tetapi justru lebih banyak atau perubahannya malah cenderung kurang simultan. Contoh dari level yang terakhir ini dapat dilihat dari perubahan shift isu internasional pada tahun 2008 dari masalah perang melawan terorisme AS menjadi isu-isu ekonomi setelah terjadinya krisis finansial global. Peristiwa tersebut merubah hubungan maupun peranan negara-negara dalam lingkungan internasional.
Hermann juga menjelaskan bahwa redireksi utama politik luar negeri dapat didefinisikan melalui tiga bentuk perubahan yaitu: perubahan cara, tujuan akhir atau permasalahan, serta orientasi secara keseluruhan. Dalam perubahan cara sendiri terdapat ekspektasi akan penemuan perubahan dalam konfigurasi instrumen baik dalam level komitmen maupun derajat efek yang diekspresikan. Perubahan cara diiringi dengan statement kebijakan dan aksi kebijakan yang tidak kompatibel dengan tujuan sebelumnya, maka kemungkinan akan terjadi penolakan terbuka terhadap tujuan sebelumnya tersebut atau malah terjadi perubahan dalam permasalahan utamanya sendiri. Reorientasi internasional di lain pihak berkaitan dengan perubahan-perubahan dramatis dalam berbagai area permasalahan yang dapat merubah hubungan aktor dengan entitas-entitas eksternal. Dalam hal ini, reorientasi dapat juga dilihat sebagai peralihan aliansi dengan negara lain atau terjadi perubahan besar-besaran dalam pemegang peranan utama aliansi tersebut.
Berbeda dengan Hermann, Holsti cenderung menganalisis perubahan kebijakan luar negeri melalui faktor-faktor eksternalnya. Dalam hal ini, Holsti menawarkan empat argumen yang dapat menjelaskan perubahan itu sendiri. Pertama, Holsti menjelaskan mengenai ketiadaan faktor-faktor eksternal yang mempengaruhi politik luar negeri akibat adanya isolasi. Efek dari isolasi ini dapat dilihat secara positif dimana negara dapat menjalankan politik luar negerinya tanpa ada intervensi maupun gangguan dari negara lain. Namun di sisi lain, isolasi sangat membatasi ruang gerak suatu negara serta mempersempit kemungkinan negara untuk memperjuangkan kepentingan-kepentingan tertentu. Kedua adalah self-reliance atau kemandirian suatu negara yang berada satu level lebih tinggi dibandingkan dengan isolasi. Negara diharapkan memiliki hubungan dengan negara-negara lain, namun masih dalam level yang sangat terbatas. Ketiga, negara mengalami ketergantungan yang sangat tinggi terhadap negara-negara lain. Hal ini menyebabkan perpolitikan negara terkait hanya berputar dalam isu-isu dan hubungan luar negeri saja sehingga cenderung melupakan pentingnya politik domestik. Keempat, diversifikasi non-aliansi yaitu kondisi dimana faktor-faktor eksternal dapat mempengaruhi interaksi antar negara.
Selanjutnya, untuk perubahan politik luar negeri yang dipengaruhi oleh sistem internasional, penulis akan menggunakan argumen dari Goldmann (1988). Dimensi pertama yang mempengaruhi perubahan politik luar negeri dilihat dari derajat institusionalisasi suatu negara. Dalam hal ini dijelaskan mengenai seberapa besar sistem politik suatu negara dapat berpengaruh terhadap kebijakan luar negeri. Dimensi yang kedua merupakan derajat dukungan atau perlawanan dari politik domestik terhadap politik luar negeri suatu negara. Dimensi yang ketiga berkaitan dengan derajat aliansi dalam isu-isu signifikan yang berkaitan dengan perebutan kekuasaan domestik. Ketiga dimensi tersebut mewarnai dinamika politik luar negeri suatu negara dan dapat mempengaruhi terjadinya perubahan-perubahan dalam politik luar negeri itu sendiri. Contohnya, ketika Australia ingin meningkatkan perannya di Asia Pasifik dengan berperan sebagai peacekeeper Timor Leste, maka terjadi usaha baik dari segi individu yang memerankan atau mengejar posisi pemimpin maupun dari kelompok-kelompok politik di Australia sendiri.

Kesimpulan:
Dari penjabaran diatas, politik luar negeri pada dasarnya merupakan aksi yang dilakukan negara tertentu terhadap negara lainnya dimana aksi tersebut didasari oleh tujuan-tujuan atau kepentingan-kepentingan tertentu. Dan karena kepentingan negara sendiri selalu mengalami perubahan dari waktu ke waktu, maka kebijakan luar negeri tidak bersifat statis. Bahkan, perubahan dalam politik luar negeri dapat menjadi tolak ukur kualitas pembuat kebijakan sebagai pemerintah suatu negara. Selain itu, Hermann, Holsti dan Goldmann hanyalah tiga dari sekian penulis yang dapat menjelaskan mengenai perubahan-perubahan tersebut dari sudut pandang maupun argumen yang berbeda-beda. Akan tetapi kesamaan dari ketiganya adalah bahwa perubahan politik luar negeri dapat dilihat dari berbagai sudut pandang, baik eksternal maupun internal, dimana di dalamnya masih banyak lagi level perubahan yang lebih sempit namun turut mempengaruhi perubahan itu sendiri.


Referensi:
Blavoukos, Spyros dan Dimitris Bourantonis. 2010. Accounting for foreign policy change: the role of policy entrepreneurs. Paper prepared for the SGIR 7th Pan-European Conference on IR Stockholm.
Couloumbis, Theodore A. dan James H. Wolfe. 1986. Introduction to IR: Power and Justice. USA: Prentice-Hall Inc.
Hermann, Charles F. 1990. Changing Course: When Government Choose to Redirect Foreign Policy. International Studies Quarterly, Vol. 34 no. 1.
Plano, Jack C. and Roy Olton. 1982. The International Relation Dictionary. England: Cho Press Ltd.

Diplomasi Preventif

Label: , , , , , ,
Diplomasi preventif dalam buku yang berjudul ‘An Agenda for Peace’ didefinisikan sebagai sebuah aksi untuk mencegah perselisihan antar kelompok yang secara perlahan telah berkembang menjadi sebuah konflik terbuka dan membatasi efek dari pertikaian tersebut agar tidak semakin meluas. Aksi anti-kekerasan yang dilaksanakan oleh para aktor diplomasi preventif juga berusaha mencegah konflik agar tidak berubah menjadi konflik bersenjata yang dapat membahayakan kedamaian dan keamanan internasional. Menurut Connie Peck, diplomasi preventif tercantum dalam Charter PBB ayat 33 dan didefinisikan sebagai bagian dari metode resolusi konflik yang diaplikasikan sebelum poin awal perselisihan terjadi untuk meredam konflik. Apabila merujuk pernyataan Masahiro Igarashi, diplomasi preventif sebenarnya merupakan istilah yang digunakan PBB untuk mengatasi suatu konflik.
Dalam perkembangannya sendiri, diplomasi preventif pra dan pasca perang dingin telah mengalami pergeseran. Dalam diplomasi preventif tradisional, masalah yang dibahas cenderung lebih sensitif dan cenderung melibatkan isu-isu militer tingkat tinggi. Dalam diplomasi preventif kontemporer, isu-isu yang dibahas menjadi lebih kompleks namun biasanya tidak melibatkan isu-isu yang terkait dengan militer. Contohnya adalah masalah pencegahan efek pemanasan global, masalah penipisan stok ikan dunia, dan lain sebagainya.
Contoh Kasus: Kepemilikan Senjata Nuklir Ukraina
Tahun 1991 pasca berakhirnya Perang Dingin AS berusaha menyingkirkan senjata nuklir Uni Soviet dari tanah Ukraina. Sekalipun Presiden Kravchuck setuju untuk menyingkirkan senjata nuklir dari negaranya, pada kenyataannya pelaksanaan penyingkiran senjata tersebut terus ditunda-tunda. Sikap Ukrania tersebut menimbulkan frustasi baik terhadap AS maupun Rusia
Ukraina terus menghindari untuk meratifikasi perjanjian START I yang merupakan bagian dari protokol Lisbon. Akhirnya pada November 1993 tekanan internasional terhadap Ukraina pun semakin meningkat.
Sebagai upaya preventif agar Ukraina tidak menggunakan nuklirnya untuk hal-hal yang dianggap mengganggu perdamaian dunia, AS dan bahkan Rusia berusaha melakukan diplomasi dengan para pemimpin negara Ukraina. Pada bulan Desember 1991, U.S. Secretary of State, James Baker mengunjungi Ukraina untuk meminta agar senjata nuklir Uni Soviet yang berada di tanah Ukraina segera disingkirkan. Sebagai timbal balik, AS memberikan bantuan dana sebesar $400 juta. Sekalipun begitu, Ukraina tidak juga meratifikasi START I sehingga pada bulan Januari 1994 AS kembali menyediakan dana sebesar $155 juta sebagai bantuan ekonomi untuk kompensasi denuklirisasi yang dilakukan Ukraina. Pada saat yang sama Ukraina juga menerima $1 milyar dari Rusia sebagai bagian dari perjanjian AS-Rusia mengenai highly-enriched uranium (HEU). Sebagai hasilnya, pada bulan Februari 1994 Ukraina akhirnya menyetujui instrumen START yang memadai untuk diratifikasi. Sekalipun begitu Ukraina tidak juga menyetujui Non Proliferation Treaty sehingga START 1 tidak dapat benar-benar dilaksanakan. Baru pada bulan Juni 2010, pasca KTT Washington, Ukraina akhirnya benar-benar melepaskan kepemilikan senjata nuklirnya.

Referensi:
Bedjagui, Mohammed. The Fundamental of Preventive Diplomacy.
Roy, S.L. 1991. Diplomacy.

Perbandingan Kebijakan Luar Negeri Era Gus Dur dengan SBY

Label: , , ,
Pembuatan keputusan merupakan titik awal untuk memahami dilema tindakan dalam sistem internasional. Sementara itu yang disebut dengan kebijakan luar negeri merupakan strategi atau rencana tindakan yang dirancang oleh para pembuatan keputusan dalam suatu negara untuk menghadapi negara atau unit politik internasional lainnya. Proses pembuatan keputusan ini bertujuan untuk mencapai kepentingan nasional spesifik dalam terminologi kepentingan nasional.
Kebijakan luar negeri suatu negara pada umumnya selalu mengalami perubahan tergantung oleh pemegang tampuk kekuasaan. Indonesia, sebagai contohnya, memiliki ciri khas politik luar negeri yang berbeda antara pemimpin yang satu dengan lainnya seperti era Soeharto yang berkebalikan nyaris 180 derajat dengan kebijakan Soekano. Hal yang sama juga terjadi dengan pemerintahan Gus Dur yang memiliki ciri khas berbeda dengan SBY.
Menurut Menlu Alwi Shihab, Gus Dur memperkenalkan setidaknya tiga elemen politik luar negeri selama masa pemerintahannya. Pertama adalah menjaga jarak sama dengan semua negara. Kedua, hidup bertetangga dengan baik. Terakhir, melaksanakan ”kebajikan universal”. Apabila dijabarkan, Gus Dur pada dasarnya memiliki tipe politik luar negeri yang sangat intensif dimana beliau memiliki keterlibatan yang sangat tinggi dalam pelaksanaannya. Hal ini ditandai dengan kunjungan-kunjungan Gus Dur ke semua mitra ekonomi Indonesia di empat benua, hanya dalam tempo tiga bulan saja. Hal tersebut dilakukan demi melakukan pemulihan perekonomian Indonesia pasca krisis ekonomi Asia 1997-1998 dan menstimulus aliran investasi.
Salah satu ciri khas lain dari politik luar negeri era Gus Dur adalah proses perumusan politik luar negerinya yang berpola "arus-balik". Apabila presiden-presiden RI yang sebelumnya selalu merumuskan kebijakan luar negeri terlebih dahulu sebelum melakukan diplomasinya, maka Gus Dur justru menjaring terlebih dahulu opini dunia atas konsep kebijakan melalui diplomasi baru kemudian melakukan perumusan platform politik luar negerinya. Tipe berdiplomasi seperti ini sangat sesuai dengan karakter Gus Dur serta legitimasi, kapabilitas dan talenta personal berdiplomasinya yang memang memiliki karakter unik.
Sebenarnya, apabila melihat latar belakang Gus Dur yang sangat kental nuansa keagamaannya, penulis cenderung berekspektasi bahwa Gus Dur akan menjadi seorang pemimpin yang sangat konservatif dan membuat sistem pemerintahan yang sarat akan nilai-nilai keagamaan. Akan tetapi dalam kenyataannya Gus Dur dapat mengejutkan berbagai pihak dengan tipe kepemimpinan serta pelaksanaan kebijakan luar negeri yang sangat moderat bahkan cenderung berpikiran terbuka. Sebagai contohnya, Gus Dur merupakan satu-satunya presiden yang mengupayakan membuka kerjasama dengan Israel, suatu hal yang mungkin tidak akan pernah berani diungkapkan oleh presiden-presiden RI lainnya. Beliau juga berusaha untuk kembali membuat poros kekuatan di Asia, suatu hal yang hanya dilakukan oleh Presiden Soekarno. Dalam pemerintahannya yang sangat singkat, upaya-upaya yang dilakukan oleh beliau tidak dapat berhasil sepenuhnya. Akan tetapi kharisma, semangat, keberanian, pemikiran dan tindakan-tindakan beliau yang unik dapat membangkitkan kembali semangat bangsa Indonesia dari keterpurukan pasca runtuhnya Orde Baru.
Berbeda dengan Gus Dur, politik luar negeri era Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) ditandai dengan berbagai usaha dan inisiatif Indonesia untuk menjembatani pihak-pihak yang sedang bermasalah; pembentukan kemitraan-kemitraan strategis dengan negara-negara lain seperti Jepang, China, India, dll; peningkatan kemampuan adaptasi Indonesia terhadap perubahan-perubahan domestik maupun di luar negeri; cenderung pragmatis kreatif dan opportunis yang berarti bahwa Indonesia akan mencoba menjalin hubungan dengan siapa saja yang bisa membantu dan menguntungkan bagi Indonesia dan; membangun kepercayaan dunia Internasional. Apabila diringkas, visi strategis Indonesia di era globalisasi adalah menempuh ”all directions foreign policy”, dimana Indonesia berusaha menjalin hubungan persahabatan dengan pihak manapun yang menguntungkan kepentingan nasional tanpa mempedulikan Timur, Barat, Utara, ataupun Selatan. Diplomasi Indonesia ala SBY ini digambarkan melalui sebuah istilah yang disebut dengan ”sejuta kawan, dan tak ada musuh” atau a million friends, zero enemy.
Untuk seorang presiden yang memiliki latar belakang militer yang sangat kental seperti mantan Presiden RI Soeharto, sempat muncul kekhawatiran bahwa SBY akan menjadi diktator RI yang selanjutnya. Akan tetapi kenyataan yang terjadi SBY justru menjadi salah satu Presiden RI yang terkenal dengan kelembekannya. Dalam kasus pertikaian Indonesia-Malaysia yang sedang marak diberitakan saat ini, Indonesia terkesan sedikit terinjak-injak oleh tetangga mudanya itu. Akan tetapi respon yang diberikan pemerintah hanya berupa usaha-usaha perundingan diplomatis (salah satu praktek ’a million friends, zero enemy’) yang sama sekali tidak memuaskan rakyat Indonesia pada umumnya, termasuk penulis sendiri. Dalam hal ini, penulis melihat bahwa kelemahan utama dari politik luar negeri SBY adalah kecenderungan lamban, kurang tegas dan terlalu berhati-hati tanpa berani mengambil posisi dalam suatu permasalahan atau konflik internasional tertentu.
Diantara politik luar negeri Gus Dur dan SBY sebenarnya terdapat suatu garis kesamaan dimana kedua Presiden RI tersebut sama-sama menekankan pentingnya menjalin hubungan kerjasama yang baik kepada semua pihak, baik kawan maupun lawan. Akan tetapi perbedaan utama dari keduanya adalah implementasi kebijakan luar negeri masing-masing, dimana Gus Dur cenderung lebih tegas dan tidak bersedia disinggung harga dirinya. Sebagai contohnya adalah kemarahan Dus Dur setelah Menteri Senior Lee Kuan Yew menolak permintaan Gus Dur agar Singapura menyetujui pembentukan Forum Pasifik Barat dalam KTT ASEAN di Singapura, November 2000. Kemarahan Gus Dur tersebut sempat membuat Singapura gempar. Hal ini berbeda sekali dengan politik luar negeri SBY yang terlalu berhati-hati, yang menolak menyinggung Malaysia karena banyak TKI yang bekerja di sana. Padahal kalau semua TKI ditarik dari Malaysia, dapat dipastikan bahwa gerak perekonomian Malaysia pasti terhambat. Namun kenyataan tersebut tidak dimanfaatkan sebaik-baiknya oleh Indonesia dalam mempertegas posisinya, terutama dalam perundingan yang baru-baru ini dilaksanakan di Sinabug.


Sumber:
Drajat, Ben Perkasa. 2000. Diplomasi Luar Negeri Ala Gus Dur. Diakses dari http://www.kompas.com/kompas-cetak/0002/11/opini/dipl04.htm pada tanggal 6 Oktober 2010.
Gultom, Andi. 2010. SBY: Di Era Globalisasi, Indonesia Harus Mendunia. Diakses dari http://www.rakyatmerdeka.co.id/news.php?id=1305 pada tanggal 6 Oktober 2010.
Plano, Jack C. and Roy Olton. 1982. The International Relation Dictionary. England: Cho Press Ltd. Pp 5-6.
Shambazy, Budiarto. 2010. Politik Luar Negeri Gus Dur. Diakses dari www.infoanda.com pada tanggal 6 Oktober 2010.

The Range of Nonstate Actors

Label: , , , ,
There are many different types of nonstate actors. For example, there are loose transnational networks of NGOs around the world that only established an address, bank account, and formal organizational identity. The benefit of loose structure is from its flexibility. The campaign against the Multilateral Investment Agreement, a transnational network from six hundred of NGOs, is one of example. The range of nonstate actors itself can be seen from six key terms.

First, NGOs or INGOs, such as Oxfam and Rotary, are voluntary organizations formed and organized by individuals to perform variety of function and roles. NGOs operate at local, national or international level. Some NGOs operate in a specific issue area. The others operate in broad issues like human rights, environment, etc. Most NGOs are headquartered in Northern and Western developed countries such as London (Amnesty International), Oxford (Oxfam), Washington, D.C. (The Nature Conservatory), etc. They receive funding from private donors. The other was formed in developing countries in South but get the funding from international groups. The example is DAWN or Development Alternative with Woman for a New Era.

Second, transnational networks and coalition are informal and formal linkages among NGOs in a certain issue. Revolution in communication area made it easy for NGOs to create multilevel linkages between different organizations by internet, website or fax.

Transnational advocacy networks on the other hand dedicated to direct promotion of specific cause. Advocacy groups and networks bring new ideas into policy debates together with a new frame to see some issues. That way, the organization can be comprehensible and attract support from society, government or foreign government. Al Qaeda is one of example.

Third, social movement focuses on how people work together to bring changes in the status quo. Social movement happened in religion, class, region scope or to achieve progressive goals such as human rights, environment, etc. Transnational social movement similar with social movement but different in terminology. Transnational social movement has a role as the agents of global change. They provide the networks of social relations necessary for some action, resources, information, and ideas to mobilize people. The movement also provides the norms and the values about participating in policymaking and the implementation. They work at many levels and trying to influence elite politics in countries, public attention and NGOs/INGOs. The example of transnational social movement is Christian Pentecostalism. It originated a hundred years ago in California and now it already expanded around the world including 400 million people.

Fourth, global public policy networks different with the others include government agencies, IGOs, corporation, professional groups, NGOs and religion groups. This network has a big advantage because the networking can be expanded from civil society to governmental, intergovernmental, corporate and nonprofit entities.

Fifth, experts are drawn from government, research institutes, international organizations and nongovernmental community. Epistemic communities of experts are especially important in addressing complex environment issues. For example, experts who were concerned with global climate.

Sixth, multinational corporations or MNCs are nongovernmental organization engaged in for profit business transactions and operations across national borders. Since 1970s, MNCs became significant international actors and controlling a great amount of resources more than the states. But MNCs also became the targets of NGOs activism related with their roles and behavior with their labor condition, their action with their factory waste, etc. NGO’s campaign and activism made the corporations implementing codes of conduct, certifications and monitoring mechanism.

From the explanation above, we must remember that NGOs are different with civil society. Civil society is a broader concept including all organizations and association that exist outside the state and the market. Society is an arena in which people engage in spontaneous, customary and nonlegalistic forms of action to pursue common goals (Wapner, 1996). But, nonstate actors including NGOs are important part of any type transnational civil society.


Source:
Karns, Margaret P and Karen A. Mingst. 2004. International Organizations: The Politics and Process of Global Governance. London: Lynne Rienner Publisher.

Strategi Manufaktur Global dan Manajemen Rantai Suplai

Label: , , , , , ,
Strategi manufaktur global dibutuhkan ketika suatu perusahaan melebarkan jangkauan pemasarannya ke pasar-pasar di luar negeri sebagaimana yang dilakukan oleh perusahaan Samsonite ketika mengekspansi pasar-pasar potensial di Eropa. Pada tahun 2002 saja, Samsonite sudah memiliki enam fasilitas produksi yang dimiliki oleh perusahaan serta satu fasilitas produksi joint venture. Awalnya, Samsonite berniat untuk melayani pasar Eropa melalui ekspor. Akan tetapi tingginya biaya transportasi serta ketidakefisiensian menyebabkan Samsonite memulai produksi di Belgia yang dimulai pada tahun 1965.

Belakangan, Samsonite melakukan kebijakan baru dengan melakukan sentralisasi rantai suplai dimana produk-produk dibuat dan dikapalkan di gudang pusat di Eropa, untuk kemudian dikirimkan secara eceran sesuai dengan permintaan. Dengan adanya perkembangan baru di pasar eceran, Samsonite merespon dengan membuka toko-toko franchise eceran.

Dari penjelasan diatas, dapat dilihat bagaimana sebuah perusahaan dapat mengatur jaringan-jaringan yang paling efektif untuk menjangkau konsumen. Manufaktur global dan manajemen rantai suplai merupakan strategi yang sangat penting bagi perusahaan-perusahaan internasional dalam mengembangkan bisnisnya secara optimal di pasar-pasar luar negeri.

Kesuksesan strategi manufaktur global bergantung pada empat hal yang meliputi kesesuaian, konfigurasi, koordinasi dan kontrol.

Letak pabrik merupakan hal yang sangat esensial karena jarak antara pabrik dengan konsumen merupakan hal yang sangat esensial apabila berkompetisi dengan perusahaan-perusahaan lain yang sejenis. Untuk menentukan kesesuaian, dalam hal ini derajat konsistensi antara keputusan investasi asing dengan strategi kompetitif perusahaan, para manajer harus memperhatikan efisiensi yang dapat mengurangi harga secara tajam; pertanggungjawaban produk yang meliputi kepercayaan terhadap pengantaran maupun harga produk; kualitas dari segi produk, servis maupun pengantaran; fleksibilitas; dan berbagai inovasi-inovasi yang membuat konsumen tidak merasa jenuh.

Dari segi konfigurasi, terdapat tiga strategi manufaktur global. Pertama adalah melakukan sentralisasi manufaktur dan menawarkan pilihan standar produk dengan harga rendah kepada pasar yang berbeda-beda. Kedua, menggunakan fasilitas manufaktur regional untuk melayani konsumen dalam regional tertentu. Ketiga, perluasan pasar dalam negara-negara secara terpisah. Hal tersebut dilakukan terutama ketika permintaan meningkat secara tajam dalam negara tertentu.

Koordinasi dan kontrol berdiri berdampingan satu sama lain. Samsonite melakukan koordinasi melalui konsep gudang penyimpanan pusat di Eropa, yang kemudian dilanjutkan dengan mengidentifikasi lokasi yang membantu mengkoordinasi transportasi dan penyimpanan dengan relatif mudah dan cepat.

Berbeda dengan strategi manufaktur global, strategi rantai suplai yang komprehensif meliputi beberapa elemen yaitu: keperluan servis pelanggan, penanaman dan distribusi desain jaringan utama, menejemen inventaris, hubungan antara outsourcing dengan pihak ketiga logistik, hubungan kunci antara konsumen dan suplier, poses bisnis, sistem informasi, kebutuhan organisasi akan desain dan pelatihan, performa siklus perusahaan, dan performa akhir. Sementara itu dalam sistem rantai suplai global sendiri membutuhkan sistem informasi yang memadai sebagai kunci utamanya. Perusahaan-perusahaan saat ini banyak menggunakan internet untuk berhubungan dengan para suplier bahkan terkadang kepada konsu-men secara langsung.

Strategi berikutnya berkaitan dengan sumber dan bahan mentah untuk produksi. Sumber global merupakan proses sebuah perusahaan dalam mendapatkan bahan-bahan mentah serta suplai bagian-bagian yang dibutuhkan dalam produksi baik dari dalam negeri maupun dari luar negeri. Sumber domestik memungkinkan perusahaan untuk menghindari permasalahan yang berkaitan dengan bahasa, kultur, nilai mata uang, tarif dan berbagai kerumitan lainnya yang biasa ditemui ketika berusaha mendapatkan sumber bahan mentah dari luar. Sumber dari luar memungkinkan perusahaan untuk mengurangi biaya, meningkatkan kualitas produk dan berbagai keuntungan lainnya. Akan tetapi ketika perusahaan menggu-nakan sumber-sumber yang diperlukan dari suplier di seluruh dunia, jarak,waktu dan ketidakpastian politik internasional serta lingkungan ekonomi dapat membuat keadaan sulit bagi para manajer untuk mengatasi arus inventaris secara akurat.

Kesimpulan dari penjabaran diatas, strategi manufaktur global dan manajemen rantai suplai dibutuhkan dalam proses mengglobalkan perusahaan. Efisiensi biaya, penentuan lokasi sumber bahan mentah dengan lokasi pasar, kualitas pelayanan konsumen, serta sumber informasi yang terus diperbarui sangat menentukan keberhasilan perusahaan dalam melakukan ekspansinya. Oleh karena itu, strategi-strategi yang tepat dari segi pemasaran serta kejelian manajer dalam melihat peluang persaingan internasional dapat memberikan keuntungan semak-simal kepada perusahaan ini.



Sumber:
Artikel Global Manufacturing and Supply Chain Management.

Manajemen Sumber Daya Manusia dalam Bisnis Internasional

Label: , , , , ,
“Orang yang tepat ke pekerjaan yang tepat di waktu yang tepat dengan gaji yang tepat” merupakan slogan yang menekankan betapa pentingnya manajemen sumber daya manusia dalam menjalankan perusahaan, terutama perusahaan internasional. Banyak perusahaan internasional yang terkadang kurang memperhatikan sumber daya manusia maupun penempatannya. Padahal manusia merupakan aset perusahaan yang paling berharga, terutama demi berjalan dan berkembangnya perusahaan sendiri. Dalam bisnis internasional sendiri manajemen sumber daya manusia menjadi semakin kompleks dengan berbagai realita politik, ekonomi, budaya, lingkungan, maupun hukum yang berbeda-beda di tiap-tiap negara. Oleh karena itu perusahaan harus mempertimbangkan menajemen sumber daya manusia secara teliti seraya mempertimbangkan strategi yang paling tepat yang tidak hanya menguntungkan perusahaan akan tetapi menguntungkan para pekerja sendiri.

Salah satu tugas utama manajemen sumber daya manusia adalah staffing. Dalam kebijakan staffing terdapat tiga pendekatan yang dapat digunakan yaitu pendekatan etnosentrik, pendekatan polisentrik, dan pendekatan geosentrik.

Pendekatan etnosentrik mengisi posisi manajemen dengan tenaga kerja dari negara asal perusahaan atau para ekspatriat. Contoh perusahaan yang menggunakan sistem ini adalah perusahaan Apple. Tujuannya adalah untuk menjaga daya saing dengan melakukan standarisasi struktural dan kendali operasional agar kualitas produksi dan kinerja pada unit operasional tetap terjaga sesuai dengan kehendak para direksi sebagai pembuat strategi. Hal ini sekaligus untuk melatih para pegawai lokal dalam merasakan atmosfer bisnis global untuk memahami bagaimana ketatnya kompetisi persaingan global. Pagi perusahaan sendiri, terutama Multi National Enterprises atau MNEs, hal ini sekaligus untuk melatih para ekspatriat dalam mengasah kemampuan di bidang bisnis internasional, dengan lebih mengenal dan memahami berbagai kultur kebudayaan serta keinginan dan pengharapan konsumen setempat terhadap perusahaan.

Sekalipun begitu, pendekatan etnosentrik memerlukan biaya yang tidak sedikit terutama untuk membiayai para ekspatriat dalam beradaptasi dan menghadapi masalah hukum setempat. Belum lagi ada resiko ketidakcocokkan antara ekspatriat dengan pekerja lokal di negara setempat maupun resiko kurangnya kemampuan ekspatriat dalam beradaptasi dengan budaya dan etos kerja setempat sehingga menimbulkan clash dan menyebabkan penurunan motivasi dan moral dari pekerja lokal. Apabila keadaan seperti ini berlanjut terus maka dapat menyebabkan penurunan intensitas produktivitas kerja.

Pendekatan polisentrik di lain pihak menggunakan tenaga lokal untuk mengatur kegiatan di cabang setempat. Pendekatan ini terutama bertujuan untuk memahami standar kerja lokal dengan lebih baik serta untuk mereduksi biaya kompensasi yang harus diberikan kepada pekerja ekspatriat. Kebijakan tersebut sekaligus menunjukkan bahwa perusahaan juga memperhatikan kesejahteraan penduduk lokal dengan memberikan berbagai kesempatan lapangan kerja dan tidak hanya mengeksploitasi sumber daya alam setempat saja. Untuk mempekerjakan tenaga kerja lokal, perusahaan biasanya melakukan semacam negosiasi dengan pihak pemerintah atau serikat pekerja internasional untuk menghindari munculnya konflik-konflik yang tidak diinginkan di masa depan. Sistem pengupahan merupakan topik yang paling sering dibahas dalam negosiasi tersebut. Akan tetapi perusahaan internasional pada umumnya melakukan penekanan upah tenaga kerja di negara setempat apalagi kalau standar upah di negara tersebut lebih rendah apabila diban-dingkan dengan negara asal perusahaan. Posisi tawar pekerja lokal biasanya cenderung lemah karena memang negara penerima yang membutuhkan lapangan pekerjaannya. Pemerintah setempat dalam hal ini bertugas sebagai pembuat dan pengawas pelaksanaan kebijakan mengenai perburuhan di negaranya. Akan tetapi seperti di Indonesia, peran pemerintah terkadang tidak terlalu signifikan karena tidak mampu mencegah perusahaan internasional tersebut dalam melakukan beberapa kebijakan tertentu seperti PHK sebagai contohnya.

Kekurangan pendekatan polisentrik ini terutama berkaitan dengan munculnya kera-guan dari perusahaan pusat akan loyalitas dan akuntabilitas dari pekerja lokal.

Berbeda dengan dua pendekatan sebelumnya, pendekatan geosentrik berusaha men-cari orang terbaik untuk pekerjaan-pekerjaan penting melalui organisasi tanpa mempeduli-kan kewarganegaraannya. Kebijakan ini lebih menekankan kepada pentingnya kompetensi individu tanpa melihat ras maupun kebangsaannya. Pendekatan ini merupakan langkah praktis dalam memenuhi tantangan global terhadap aspek profesionalitas perusahaan. Akan tetapi pendekatan ini lebih jarang digunakan apabila dibandingkan dengan kedua pendeka-tan lainnya karena ada faktor-faktor seperti kurangnya efisiensi, tidak ekonomis, serta cen-derung rentan terhadap benturan perbedaan kultur dan budaya kerja antara pihak karyawan dengan pihak direksi. Belum lagi hambatan dalam regulasi hukum setempat dalam menem-patkan pekerja-pekerja asing dari negara yang berbeda-beda dengan jumlah yang tidak sedikit.

Dari ketiga pendekatan yang telah dijabarkan diatas, pendekatan etnosentrik merupakan salah satu yang populer digunakan oleh perusahaan-perusahaan internasional. Bahkan di Amerika Serikat perusahaan-perusahaan internasionalnya menetapkan bahwa untuk menjadi CEO haruslah memiliki pengalaman bekerja di negara lain sehingga dapat mengatasi ketatnya arus persaingan global dengan memahami kebudayaan berbagai negara dan mengaplikasikannya dalam ekspansi global perusahaan. Karena itulah pemilihan ekspatriat dalam pendekatan etnosentrik merupakan hal penting yang harus diperhatikan.

Seorang ekspatriat harus memiliki beberapa kompetensi untuk dipercayakan menjalankan bisnis di negara asing. Kompetensi-kompetensi tersebut meliputi kemampuan teknis—merupakan kapabilitas dan performa ekspatriat dalam melakukan pekerjaannya, kemampuan beradaptasi, serta sifat kepemimpinan. Kemudian, sebelum diberangkatkan ke negara tujuan, perusahaan harus melakukan persiapan-persiapan tertentu untuk membantu ekspatriatnya dalam menghadapi tantangan di tanah yang masih asing. Persiapan tersebut dapat meliputi panduan untuk memahami negara tujuan secara umum, pembekalan sensitivitas terhadap kebudayaan, keahlian praktis, serta kemampuan untuk beradaptasi.


Sumber Review:
Sullivan, Daniels Radebaugh. 2007. “Case: A Career in International Business”. International Bussiness. Pearson International Edition

Review: The Coming Anarchy

Label: , , , , ,
Dalam bukunya yang berjudul “The Coming Anarchy”, pada dasarnya Robert Kaplan berargumen bahwa implikasi politik dan kartografik dari postmodern, yaitu suatu periode juktaposisi tanpa tema, adalah terjadinya suatu peralihan negara bangsa yang akan digantikan oleh sebuah pola negara-kota dan regionalisme yang samar dan anarkis. Bertentangan dengan pendapat umum bawa akhir Perang Dingin berarti dimulainya masa-masa damai, menurut Kaplan era Perang Dingin justru merupakan saat-saat dimana dunia paling mendekati kondisi utopis. Dengan berakhirnya Perang Dingin, dunia malah sedang menjemput anarkisme itu sendiri. Kaplan kemudian menggunakan Afrika Barat yaitu Sierra Leone sebagai sampel negara yang cenderung anarkis dan bermasalah. Kaplan kemudian memprediksi bahwa negara-negara lain akan mengikuti jejak Sierra Leone dan kondisi dunia pada umumnya akan didominasi oleh anarki sementara negara bangsa akan mengalami kehancuran dalam skala besar.

Sebagaimana yang tersirat dalam bukunya, Kaplan berusaha menunjukkan bahwa demokrasi hanya bersifat cenderung sementara dan bahwa demokrasi serta perdamaian yang berlebihan malah merupakan suatu hal yang tidak terlalu baik. Hal ini sekaligus menunjukkan identitasnya sebagai seorang realis yang menganggap bahwa menerima batasan-batasan yang kita miliki serta mempercayai bahwa kita dapat melakukan suatu hal dengan lebih baik apabila kita mencoba seminimal mungkin adalah suatu hal yang wajar. Sekalipun begitu, saat ini, dimana sudah lebih dari satu setengah dekade sejak Kaplan memprediksi datangnya anarki, prediksi Kaplan tersebut tidak pernah benar-benar terbukti. Hingga saat ini masih belum ada negara yang mengalami kejatuhan dalam skala yang digambarkannya. Menurut penulis, Kaplan terlalu melebih-lebihkan relevansi peristiwa-peristiwa buruk yang terjadi di Afrika Barat dengan perpolitikan dunia pada umumnya. Kaplan juga tidak terlalu memperhatikan peran dari pihak pemerintah lokal, yang sebagaimanapun buruknya dalam menjalankan pemerintahan seperti yang terjadi di Sierra Leone, masih memiliki pengaruh yang sangat besar dalam kehidupan sosial masyarakatnya.

Sekalipun penulis menganggap bahwa buku Kaplan terlalu berlebihan dalam memprediksi datangnya anarki di masa depan, akan tetapi tulisannya ini dapat menjadi semacam gambaran besar peringatan bagi umat manusia akan kemungkinan munculnya masalah-masalah yang digambarkan Kaplan di masa depan. Dengan begitu, buku ini dapat menjadi alarm bagi umat manusia sehingga dapat mempersiapkan diri serta berusaha menurunkan tingkat musibah yang mungkin akan terjadi.


Sumber:
Garfinkle, Adam. Selected reviews of The Coming Anarchy. Diakses dari http://newamerica.net/publications/books/the_coming_anarchy pada tanggal 5 Oktober 2010.
Kaplan, Robert D. 2000. The Coming Anarchy: shattering the dreams of the post Cold War. New York: Random House, Inc.

Variabel Internasional dalam Pembuatan Kebijakan Luar Negeri

Label: , , ,
Dalam analisis kebijakan luar negeri level makro, para teoretis cenderung tidak tertarik untuk menciptakan teori-teori mengenai kebijakan luar negeri. Oleh karena itu, untuk melakukan analisis sering kali harus menggunakan suatu ’hubungan’ –sebagai contohnya adalah teori hubungan internasional dengan kebijakan luar negeri— dikarenakan teoretis yang bersangkutan kemungkinan tidak dapat menghubungkannya sendiri. Analisis kebijakan luar negeri kemudian harus diteliti dalam semua level analisis demi menemukan hasil yang memungkinkan untuk pilihan kebijakan luar negeri.

Analisis kebijakan luar negeri dalam level makro memiliki dua variabel penting yaitu atribut nasional dan sistem internasional. Atribut nasional meliputi hal-hal yang juga diasosiasikan sebagai kekuatan dari negara-bangsa. Contoh dari atribut nasional adalah sumber daya alam, kondisi geografis, karakteristik populasi, dan sejenisnya.

Sumber daya alam merupakan salah satu atribut nasional yang sangat populer dalam pembuatan kebijakan luar negeri. Negara-negara yang mayoritas wilayahnya berupa gurun, misalnya, keberadaan air dan akses terhadap sungai-sungai besar sangatlah penting. Masalah pertikaian atas Sungai Eufrat antara Turki, Siria dan Irak mempengaruhi politik luar negeri ketiga negara tersebut terhadap satu sama lain mengingat ketiganya sangat bergantung kepada aliran Sungai Eufrat untuk memenuhi kebutuhan hidup penduduknya. Turki yang memiliki hulu sungai Eufrat mengambil keuntungan atas letak geografisnya dengan membangun dua buah dam besar untuk tenaga listrik di Sungai Eufrat. Akibatnya, aliran air ke Siria berkurang dengan dengan drastis. Siria kemudian membangun dam yang akhirnya mereduksi aliran air ke Irak. Sebagai akibatnya, Irak yang mengalami kekurangan air yang mempengaruhi ke bidang agrikulturnya. Kondisi ini menunjukkan posisi strategis Turki atas Siria serta Siria akan Turki berkaitan dengan sumber daya air. Akan tetapi sebagai akibatnya perang nyaris pecah diantara Siria dan Turki pada tahun 1975.

Kondisi geografis juga memiliki pengaruh dalam pembuatan kebijakan luar negeri suatu negara. Dalam kasus Kashmir, dataran tinggi tersebut memiliki posisi geografis diantara India dengan Pakistan, dua negara yang selalu mengalami konflik sejak terbentuknya Pakistan sebagai sebuah negara. Dikarenakan posisi Kashmir yang strategis untuk mengontrol perang atau perdamaian antara kedua negara, India dan Pakistan berusaha untuk menguasai dataran tersebut dengan kebijakan luar negeri yang cenderung offensif satu sama lain.

Selain kondisi geografis, kedekatan geografis terkadang menimbulkan implikasi kebijakan luar negeri atau bahkan pertikaian yang berkaitan dengan batas antar negara. Contohnya adalah masalah pertikaian perbatasan antara Indonesia dengan Malaysia. Kasus yang terkenal antara kedua negara ini adalah perebutan Pulau Sipadan-Ligitan yang kemudian dimenangkan oleh Malaysia, namun menimbulkan kekecewaan diantara warga Indonesia. Hudson menjelaskan bahwa negara yang memiliki lebih banyak batas memang cenderung lebih terlibat dalam konflik regional dibandingkan dengan negara yang memiliki lebih sedikit batas.

Atribut nasional yang tidak boleh dilupakan dalam era perdagangan bebas ini adalah kapabilitas ekonomi. Negara-negara terbelakang dan negara berkembang memiliki kecenderungan untuk membuat kebijakan luar negeri yang bergantung kepada negara lain yang lebih kuat secara ekonomi. Sebagian negara-negara di Afrika memiliki ketergantungan ekonomi yang cukup besar terhadap Uni Eropa terutama di beberapa komoditas tertentu. Contohnya, negara-negara Afrika Barat memiliki komoditas ekspor utama biji cokelat yang hasilnya digunakan untuk menyokong kehidupan penduduknya. Oleh karena itu negara-negara Afrika Barat cenderung berhati-hati dalam membuat kebijakan luar negeri, terutama yang berkaitan dengan negara yang mengimpor produk biji cokelatnya, agar hubungan kedua negara tetap berjalan baik sehingga kegiatan ekspor-impor tidak terganggu.

Variabel yang kedua yaitu sistem internasional, merupakan level abstraksi tertinggi dalam ilmu hubungan internasional. Berdasarkan pandangan kaum neorealis, sistem internasional memiliki sifat dasar anarkis sehingga menimbulkan perilaku disfungsional seperti dilema keamanan. Kerjasama antara negara satu dengan lainnya sulit dilakukan karena tidak adanya kepercayaan terhadap satu sama lain. Menurut Kenneth Waltz dalam buku berjudul Theory of International Politics (1979), negara melihat negara-negara lainnya sebagai musuh potensial dan yang dapat menjadi ancaman bagi keamanan nasionalnya sehingga menyebabkan dilema keamanan yang mempengaruhi kebijakan luar negeri masing-masing negara. Akan tetapi struktur sistem merupakan faktor terpenting yang mempengaruhi tingkah laku para aktornya. Struktur memaksa aktor bertindak dengan cara-cara tertentu dan menentukan tindakan yang akan diambil. Oleh karena itu, negara-negara besar berperan penting dalam perubahan struktur internasional. Kebijakan luar negeri AS sebagai contohnya memiliki berbedaan antara tahun 1935 dengan tahun 1945; tahun 1955 dengan tahun 1989; atau tahun 1989 dengan tahun 1992, yang sangat dipengaruhi oleh sistem internasional. Sebelum tahun 1989 misalnya, kebijakan luar negeri AS sangat hati-hati terhadap Uni Soviet yang merupakan tandingan AS dalam sistem internasional yang cenderung bipolar. Pasca keruntuhan US pada tahun 1990, sistem internasional cenderung multipolar sehingga kebijakan luar negeri AS mulai terfokus pada usahanya untuk mempromosikan perdagangan bebas.
Berbeda dengan pandangan neorealis, sistem internasional menurut kaum marxis merupakan sebuah siklus panjang dari sebuah teori yang terus bergerak maju menuju kondisi ’berakhirnya sejarah’. Marx menjelaskan bahwa pergerakan sejarah, termasuk apa yang saat ini kita sebut sebagai sistem internasional berawal dari sebuah istilah materialisme, yaitu suatu kondisi dimana berbagai peristiwa yang terjadi di dunia ini berawal dari keinginan untuk menguasai suatu materi. Hal ini kemudian yang menjadikan adanya pemisahan kelas antara kaum yang memiliki materi dengan kaum buruh yang hanya memiliki tenaga. Sejarah yang merupakan cerita tantang dialektikal perpecahan antar kelas akan berakhir apabila kaum proletariat di seluruh dunia bangkit dan melakukan perlawanan. Sejarah akan berakhir ketika dunia menjadi global dan tidak ada lagi kaum yang miskin maupun yang kaya.

Berdasarkan penjelasan marxis diatas, dan digabung dengan teori Lenin mengenai pemisahan kelas dalam sistem internasional, struktur perekonomian internasional digambarkan sebagai kepentingan negara-negara besar terhadap negara-negara berkembang atau negara-negara miskin dimana negara-negara besar memiliki kebijakan luar negeri yang cenderung memanfaatkan negara kecil untuk mempertahankan kekuasaannya, sementara negara kecil memiliki kebijakan luar negeri yang cenderung dependen terhadap negara besar baik secara ekonomi, politik, bahkan militer.

Terakhir, baik atribut nasional maupun sistem internasional memiliki pengaruh yang sangat besar dalam pembuatan kebijakan luar negeri. Atribut dari sebuah sistem cenderung membentuk sebuah jaringan insentif dan disinsentif. Jaringan tersebut juga dapat terbentuk dari aktor yang memiliki prioritas yang lebih besar dibandingkan dengan nilai yang disediakan dalam jaringan yang sudah ada. Hal yang sama juga dapat dikatakan mengenai atribut nasional. AS yang memiliki wilayah yang sangat luas dan SDM yang banyak memiliki kecenderungan untuk berperan sebagai hegemon. Belanda di lain pihak berhasil membentuk dataran di bawah level ketinggian laut sehingga menjadi negara dengan kekuatan maritim terbesar di dunia.


Referensi:
Couloumbis, Theodore A. dan James H. Wolfe. 1986. Introduction to IR: Power and Justice. USA: Prentice-Hall Inc.
Hudson, Valerie. 2007. Foreign Policy Analysis: Classic and Contemporary Theory. USA: Rowman & Littlefield Publisher, Inc.
Plano, Jack C. and Roy Olton. 1982. The International Relation Dictionary. England: Cho Press Ltd.

Budaya Korupsi Afrika: Produk Kegagalan Pengelolaan Era Kolonialisme

Label: , , ,
Afrika merupakan sebuah benua yang hingga saat ini masih merasakan efek berkesinambungan dari masa kolonialisme yang dilakukan oleh negara-negara Barat. Implikasi dari masa penjajahan di masa lampau memiliki keterkaitan erat dengan perkembangan pengetahuan, lingkungan, serta masalah kenegaraaan di negara-negara tersebut—yang menyebabkan negara-negara bekas jajahan sulit untuk menjadi independen dan mengembangkan diri secara optimal.
Paul R. Josephson melihat bahwa Afrika, sebagai negara yang memiliki keragaman biodiversitas dalam ekosistem yang variatif, justru merupakan benua yang terkenal akan berbagai masalah sosial-ekonominya. Negara-negara di Afrika dan masyarakatnya menghadapi masalah ketidakpastian masa depan karena adanya deteriorasi lingkungan yang sangat cepat, minimnya akses ke air bersih, ketimpangan dalam memanajemen SDA, perang, instabilitas politik, peningkatan jumlah penduduk yang tidak terkendali, dan berbagai masalah lainnya. Masalah kemiskinan, kelaparan dan kematian terutama, masih menjadi momok bagi mayoritas negara-negara Afrika, bahkan hingga saat ini.
Dari pernyataan-pernyataan diatas, muncul sebuah pertanyaan yaitu: apa yang sebenarnya menyebabkan permasalahan-permasalahan diatas? Dan kenapa Afrika cenderung mengalami kemajuan yang sangat lambat—kalau bukan malah kemunduran—tidak seperti negara-negara bekas jajahan lain yang sudah mulai berkembang? Dari pertanyaan ini saya mengajukan tesis bahwa permasalahan utama Afrika adalah ketiadaan good governance untuk mengatur dan mendistribusikan sumber daya kepada masyarakat secara merata. Afrika yang sudah resmi menjadi wilayah jajahan negara-negara Eropa sejak tahun 1885 tidak mengenal sama sekali apa yang disebut dengan pemerintahan yang baik karena pemerintah kolonial tidak cukup peduli untuk menunjukkan dan mengajari masyarakatnya mengenai good governance itu sendiri.

Kegagalan Pemerintahan Kolonial
Henry Stanley dalam bukunya yang berjudul In Darkest Afrika menegaskan tesis saya mengenai apa yang menyebabkan benua ini tidak juga bisa bangkit dari keterpurukan ekonomi bahkan setelah memperoleh kemerdekaannya. Stanley melihat bahwa permasalahan utama Afrika adalah ketiadaan pemerintahan yang baik, terutama sejak masa-masa penjajahan yang merupakan masa-masa kritis yang membuat Afrika—sebuah benua yang masih liar dan kesukuan—menjadi wilayah-wilayah koloni di bawah pemerintahan yang terpusat dari Gubernur yang memimpin wilayah tersebut hingga ke negara atau kerajaan yang membawahinya. Para gubernur yang menjabat di Afrika tidak memiliki pengaruh yang cukup kuat terhadap pasukannya sendiri sehingga mereka tidak memiliki respek terhadap penduduk asli yang merupakan bagian dari subjek untuk menjaga keamanan dan melindungi properti. Kondisi tersebut kemudian mengarah kepada implikasi lainnya yaitu semakin terbiasanya penduduk setempat untuk selalu diinjak-injak dan diperlakukan seperti sampah oleh para pemimpinnya, apalagi ketika perlawanan hanya akan menimbulkan kesengsaraan yang lebih dalam. Dari sinilah watak masyarakat Afrika pada umumnya mulai terbentuk menjadi lebih defensif tidak terlalu ingin ikut campur dalam pemerintahan. Manajemen sumber daya alam pun sepenuhnya diserahkan kepada para penguasa koloni yang membaginya dengan sangat tidak adil. Kemudian, seiring dengan membudayanya watak masyarakat Afrika mudah tunduk dalam kontrol, korupsi juga ikut membudaya dengan sangat kuatnya sehingga sangat sulit untuk diberantas. Apabila pada masa kolonial korupsi dilakukan oleh para pejabat-pejabat kolonial, termasuk VOC, tanpa ada pengawasan yang berarti dari negara induk, budaya ini kemudian turut mengalir dalam pemerintahan pasca kemerdekaan negara-negara Afrika.
Yang menjadikan masalah korupsi ini unik adalah budaya korupsi itu sendiri berkembang dari masa penjajahan ke masa pasca kemerdekaan, dimana budaya korupsi bukan semakin melemah malah cenderung semakin kuat dan mengakar. Calderisi melihat bahwa budaya korupsi justru berkembang dari kuatnya ikatan kekeluargaan di Afrika. Dalam badan pemerintahan sendiri, para elit-elitnya menghadapi berbagai tuntutan dari para sepupu dan kerabat yang menginginkan bantuan finansial. Korupsi di Afrika ini sudah terlalu bersifat endemis dalam kehidupan masyarakatnya sehingga korupsi nyaris tidak dianggap sebagai sesuatu yang menyalahi aturan. Hanya sedikit yang menginginkan adanya perubahan secara langsung. Mayoritas masyarakatnya terlalu powerless untuk menuntut adanya perubahan itu sendiri.
Oleh karena itu, dalam usaha untuk membantu Afrika, bantuan finansial seperti Marshall Plan seharusnya ditilik ulang lagi. Karena seperti yang sudah terjadi sebelumnya, dana tersebut pasti akan lenyap di tengah jalan. Contoh terkenal adalah Presiden Mobuntu dari Zaire dan Jenderal Abacha dari Nigeria. Pemerintah Nigeria dengan terang-terangan mengijinkan anak-anak Abacha untuk menyimpan $100 juta sebagai penyelesaian untuk mengembalikan $2-3 milyar yang Abacha tumpuk di luar negeri. Rakyat Nigeria sempat gembar dengan kemurahan hati kalangan pemerintahnya. Pada akhirnya, penyelesaian tersebut tidak jadi dilaksanakan. Akan tetapi tetap saja sangat sedikit dari uang tersebut yang kembali ke masyarakat.
Selain contoh diatas, ada perbedaan menarik dari kultur korupsi di Afrika dengan negara-negara lain. Ada sebuah kisah menarik yang diceritakan oleh Julius Nyerere dari Tanzania akan perbedaan korupsi dari orang Asia dengan orang Afrika. Apabila orang Asia mengalirkan sebagian dana dari proyek ia tangani ke kantongnya sendiri, maka orang Afrika justru menggunakan keseluruhan dana untuk proyek yang serupa demi kepentingannya sendiri.

Perkembangan Kontemporer: Usaha Pemerintah-Pemerintah Lokal serta Bagaimana Usaha Tersebut Gagal
Sekalipun pemerintah-pemerintah Afrika tidak dipungkiri memiliki budaya korupsi yang sangat kuat, bukan berarti sama sekali tidak ada usaha untuk memperbaiki permasalahan-permasalahan kemiskinan, lingkungan dan sejenisnya yang semakin memburuk di Afrika. Sayangnya, langkah yang ditempuh pemerintah dalam melakukan perbaikan itu sendirilah yang menurut saya jauh dari memperbaiki masalah. Hingga saat ini mayoritas pemerintah di Afrika masih bergantung kepada negara-negara maju untuk memberikan asistensi keuangan dan teknologi. Akan tetapi, apakah paket bantuan yang diberikan oleh negara-negara maju dapat menyelesaikan masalah? Paul R. Josephson justru melihat sebaliknya.
Pertama, teknologi inovasi memiliki keuntungan yang masih dipertanyakan bagi negara-negara tersebut. Teknologi agrikultural memang memungkinkan negara-negara Afrika untuk mengatasi masalah kelaparan, akan tetapi elektrifikasi daerah-daerah pedesaan malah cenderung menimbulkan perubahan lingkungan dan kekacauan sosial. Pembangunan stasiun-stasiun hydropower, sebagai contohnya, seringkali menyebabkan relokasi sebagian atau keseluruhan komunitas masyarakat dan menghilangkan kesuburan tanah setempat.
Kedua, negara-negara bekas koloni mayoritas cenderung masih lemah, memiliki pemerintahan yang tidak terlalu transparan, serta ekonomi dan perpolitikan yang terselubung. Birokrasinya tidak memiliki kekuatan atau pengaruh yang cukup terhadap kapital mereka sendiri. Negara-negara seperti ini tidak mampu mengumpulkan data-data jangka panjang yang diperlukan untuk proyek-proyek pembangunan seperti dam air dan sejenisnya. Keadaan ini menyebabkan negara-negara Afrika rentan diintervensi oleh negara-negara besar yang memiliki keunggulan teknologi dan kapital, terutama oleh negara-negara yang menawarkan bantuan-bantuan keuangan dan teknologi. Kondisi tersebut menjelaskan trend negara-negara di Afrika dimana penduduk maupun lingkungannya tetap saja miskin kalau otoritas negara masih lemah. Sekalipun negara-negara Afrika terus mengejar pembangunan, modernisasi dan urbanisasi, tanpa adanya pembuatan kebijakan finansial, legal dan institusi-institusi regulator yang memadai untuk mendukung perubahan yang dibawa oleh inovasi-inovasi teknologi, tetap saja tujuan-tujuan tersebut tidak akan terwujud.
Josephson berargumen bahwa teknologi justru merupakan alat yang mendukung neo-imperialisme di bawah kekuasaan MNCs. Sebagai komoditas yang tidak dimiliki oleh negara-negara bekas jajahan, teknologi kemudian dijadikan alat tawar oleh negara-negara industrialis demi keuntungan mereka sendiri. Negara-negara industrialis menawarkan teknologi dan berbagai proyek-proyek asistensi untuk mengatasi berbagai permasalahan di Afrika, termasuk masalah pangan.
Para analis melihat bahwa teknologi dan bantuan asistensi keuangan yang diberikan kepada negara-negara berkembang tidak menyelesaikan permasalahan negara-negara tersebut, justru meningkatkan dependensi. Negara-negara Afrika tidak memiliki SDM yang berkemampuan untuk membangkitkan, beradaptasi dan menggunakan teknologi itu sendiri, sementara di lain pihak teknologi memiliki biaya kapitas yang sangat tinggi, hanya menguntungkan pihak-pihak tertentu saja, dan menyebabkan pergolakan sosial, ekonomi maupun lingkungan dalam proses adaptasinya. Dan dengan tingginya tingkat korupsi, dapat dipahami kenapa bantuan asistensi keuangan tidak pernah mencapai sasaran atau hilang di tengah jalan sementara bantuan teknologi rata-rata tidak diimplementasikan karena pemerintah tidak mengerahkan sumber daya secara maksimal untuk menggunakan teknologi tersebut.

Langkah Solutif untuk Memperbaiki Afrika
Dari penjabaran diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa pemerintah-pemerintah Afrika cenderung terfokus kepada solusi-solusi yang salah. Faktor paling penting untuk melakukan perubahan sosial ekonomi di Afrika bukan
Robert Calderisi menyebutkan bahwa setidaknya ada sepuluh langkah untuk memperbaiki kondisi Afrika. Sepuluh langkah tersebut dapat diperkenalkan oleh negara-negara asisten dan meliputi : a/ memperkenalkan mekanisme untuk melacak dan memperbaiki keuangan publik; b/ mewajibkan semua kepala negara, para menteri dan para pegawai senior untuk membuka rekening bank pribadi mereka agar dapat diketahui oleh publik; c/ memotong bantuan langsung terhadap negara-negara secara individual dalam jumlah setidaknya setengah dari jumlah awal; d/ memfokuskan bantuan hanya kepada empat atau lima negara namun yang memiliki keseriusan dalam melakukan usaha mereduksi kemiskinan; e/ meminta seluruh negara-negara Afrika untuk melakukan pemilihan yang diawasi oleh secara internasional; f/ mempromosikan aspek-aspek lain dari demokrasi termasuk kebebasan media dan pengadilan independen; g/ mengawasi jalannya sekolah-sekolah di Afrika serta keberlangsungan program-program untuk HIV/AIDS; h/ membentuk kelompok pengawas dari golongan masyarakat umum untuk mengawasi kebijakan pemerintah dan perjanjian-perjanjian bantuan; i/ memberikan perhatian lebih kepada infrastruktur dan jaringan regional; j/ menggabungkan World Bank, IMF dan UN Development Programme.
Kesepuluh langkah yang dianjurkan oleh Calderisi ini, apabila kita perhatikan lagi merupakan langkah-langkah untuk mengenalkan dan membentuk good governance di kawasan Afrika. Beberapa negara pendonor pun sebenarnya sudah menerapkan kebijakan ini, terutama pasca perang dingin, yang menunjukkan bahwa negara-negara asisten pun mulai gerah terhadap budaya korupsi Afrika. Sebagai contohnya, pada tahun 1991, Swedia sebagai salah satu pendonor utama Tanzania mengurangi jumlah asistensinya hingga 10 juta dolar.
Nyaris seirama dengan Calderisi, Josephson juga berpendapat bahwa negara-negara maju harus memformat bantuan yang akan diberikan dalam bentuk yang mudah diadaptasi oleh negara-negara berkembang yang masih belum siap menerima teknologi negara-negara maju secara keseluruhan. Contohnya, bantuan teknologi obat-obatan dengan harga murah, terutama untuk AIDS, nyaris tidak terlalu diperhatikan atau bahkan disertakan dalam paket-paket bantuan yang diberikan negara maju. Padahal teknologi obat-obatan justru sangat dibutuhkan oleh sebagian besar warga Afrika yang rentan oleh penyakit ini.
Saya sendiri cenderung berpendapat bahwa pemerintah negara-negara Afrika harus bisa mengambil langkah drastis terutama di bidang edukasi. Pengembangan bidang ini akan memberi kesempatan bagi para penduduk setempat untuk membangun institusi-institusi iptek milik mereka sendiri dan menciptakan teknologi yang lebih sesuai dan ramah lingkungan bagi masyarakat setempat. Dengan solusi ini, negara-negara bekas jajahan tidak lagi hanya terfokus untuk mengejar dan berusaha mengimplementasikan teknologi negara-negara maju yang belum tentu sesuai untuk mereka, akan tetapi berusaha mengembangkan potensi mereka sendiri dalam penciptaan teknologi sekaligus dalam membenahi moral masyarakatnya yang cenderung koruptif. Sejauh ini, aspek pendidikan merupakan salah satu yang kurang mendapatkan perhatian, baik dari pemerintah setempat maupun negara-negara Asisten.



Referensi:
Calderisi, Robert. 2006. The Trouble with Africa. USA: Yale University Press.
Josephson, Paul R. Development, Colonialism and The Environment.
Nzomo, Maria. The Foreign Policy of Tanzania: From Cold War to Post-Cold War.
Oliver, Roland and Anthony Atmore. 1994. Africa Since 1800. Cambridge: Cambridge University Press.

Petualangan Alfa

Label: , , ,
Alfa sudah selesai membereskan barang-barangnya. Saat ini ia merasa puas sekali karena bisa mengatur kamar barunya, nyaris serapi yang bisa dilakukan oleh ibunya. Kemudian Alfa menuruni tangga untuk mencari ibunya. Ia ingin memamerkan hasil kreasinya dalam menata kamar barunya. Ibu pasti akan memujinya. Saking bangganya, Alfa nyaris melompat-lompat.
”Bu, Alfa sudah selesai menata dan membereskan kamar. Sekarang kamar baru Alfa terlihat bersih dan rapi sekali.” lapor Alfa kepada ibunya. Ibu sedang sibuk mendorong sebuah lemari kecil. Tapi beliau berhenti sejenak dan mengusap-usap kepala Alfa. Wajahnya penuh senyuman seperti yang selalu disukai oleh Alfa.
”Anak pandai.” puji Ibu. ”Kau pasti lapar karena sudah bekerja keras. Tunggu sebentar lagi ya. Ibu akan memasakkan semur ayam kalau sudah selesai menata ruang tamu.”
”Boleh tidak kalau aku berjalan-jalan sebentar, Bu? Daerah sekitar sini benar-benar indah dan asri. Aku berjanji akan berhati-hati.” mohon Alfa.
Setelah menimbang-nimbang sejenak, ibu mengijinkan Alfa untuk pergi berjalan-jalan.
”Jangan jauh-jauh.” pesan Ibu. Alfa bersorak. ”Dan jangan ikut orang yang tidak dikenal!”
Tapi Alfa sudah berlari keluar. Ia memang sudah tidak sabar menjelajahi lingkungan rumah barunya yang terletak di pedesaan. Sebagai anak yang dibesarkan di daerah perkotaan, Alfa belum pernah melihat ayam hidup yang berkotek riang sambil mencari cacing. Segerombolan bebek yang sedang dihalau oleh penjaganya agar tidak berpencar-pencar. Bahkan ada dua ekor angsa berleher panjang yang sedang dipermainkan oleh anak-anak desa.
Alfa menoleh ke kanan dan ke kiri. Ia bingung memilih antara berkenalan dengan anak-anak desa yang sedang menggoda angsa, angsa tersebut sekarang balas menyerang kedua anak desa itu, atau melihat-lihat sungai dan persawahan yang sudah menarik perhatiannya ketika ia pertama kali memasuki desa tempat ia tinggal sekarang ini. Ketika si angsa berhasil mematuk kaki anak kedua, bocah kecil dengan rambut keriting kemerahan, Alfa memutuskan kalau berkenalan dengan anak-anak tersebut belum aman untuk dilakukan sore ini. Dengan riang ia melangkahkan kakinya ke persawahan.
Persawahan itu membentang luas seperti permadani berwarna hijau. Ada beberapa gubuk yang didirikan tiap beberapa petak sawah. Sementara itu orang-orangan sawah menjulang menakutkan tidak jauh dari tempat Alfa berdiri.
Alfa berjalan berhati-hati menelusuri pematang sawah. Ia menyapa beberapa petani yang sedang menyiangi padi. Kemudian Alfa menghampiri salah satu gubuk dan ditawari pisang goreng oleh keluarga petani yang sedang menyantap makan siang. Sambil menggigiti pisang gorengnya yang manis dan renyah, Alfa kembali menelusuri pematang.
Tiba-tiba Alfa terlonjak kaget. ”Ada ular!” pekik Alfa ketika melihat sesuatu yang licin dan panjang bergerak-gerak diantara padi di dekat pematang.
Putra keluarga petani yang memberi Alfa pisang goreng tertawa. Ia turun dari gubuk dan berlari lincah menghampiri Alfa.
”Ini bukan ular.” kata Si Anak Petani. Dengan cekatan ia menangkap binatang tersebut dan menggoyang-goyangkannya di depan wajah Alfa. ”Ini namanya belut. Enak sekali kalau dimakan. Kau mau? Ibumu bisa memasakkannya untukmu.”
Si Anak Petani tersenyum lebar. Wajahnya yang terbakar membuat giginya terlihat sangat putih. Ia memakai caping kecil seperti yang dipakai oleh ayahnya. Dalam senyumnya ada sebuah ketulusan yang membuat Alfa yakin kalau anak petani itu tidak bermaksud mengolok-oloknya.
”Eh, tidak usah saja deh. Aku lebih senang melihat binatang itu hidup bebas.” kata Alfa namun tak urung mundur selangkah ketika belut yang dicengkeram Si Anak Petani bergoyang-goyang hampir mengenai wajahnya.
Si Anak Petani tampak keheranan. Tapi ia melepaskan belut tersebut sesuai keinginan Alfa.
”Namaku Alfa.” kata Alfa. ”Kalau kamu?”
Si Anak Petani menegakkan tubuhnya dan tersenyum lagi. ”Namaku Rahman. Kamu anak baru ya di lingkungan ini?”
Alfa menganggukkan kepalanya. Kemudian mereka berdua berjabat tangan.
”Aku baru saja mengantar makan siang untuk bapak bersama ibuku. Sekarang aku mau mencari kerang untuk lauk makan malam kami. Kamu mau ikut?”
”Tentu saja.” kata Alfa senang.
Mereka berdua berjalan menuju sungai kecil yang berada tidak jauh dari persawahan. Sungai tersebut dikelilingi pepohonan tinggi yang Alfa tidak ketahui namanya. Angin semilir berhembus sejuk menyegarkan tengkuk Alfa yang basah oleh keringat.
”Hei, itu ada teman-temanku,” kata Rahman. ”Ayo, kukenalkan pada mereka.”
Rahman berlari mendahului Alfa. Ia meloncat tanpa ragu-ragu ke sungai dangkal di hadapan mereka dan menghampiri dua anak yang masing-masing membawa ember kecil. Alfa mengenali kedua anak tersebut sebagai anak yang mengganggu angsa di dekat rumahnya.
”Alfa! Ayo kemari!” panggil Rahman. Ia melambai-lambaikan tangannya dengan tidak sabar.
Alfa ragu-ragu sejenak. Namun dengan segera ia tidak bisa menahan godaan air sungai yang terlihat sejuk itu. Tanpa melepaskan sendalnya, Alfa memasuki sungai dengan hati-hati. Air sungai tersebut hanya mencapai lututnya. Airnya terasa dingin menyegarkan membuat Alfa sedikit tergoda untuk mencelupkan kepalanya sekalian.
”Alfa, ini Bandi dan Agus. Teman-teman, ini Alfa. Dia baru saja pindah ke desa kita. Hari ini tepatnya.” kata Rahman.
Alfa bersalaman dengan Bandi dan Agus. Bandi adalah anak berambut keriting kemerahan yang dipatuk oleh angsa tadi. Sementara itu Agus bertubuh gempal dengan rambut hitam lurus dan hidung sedikit pesek.
”Hei, aku tahu siapa kamu.” kata Agus. ”Keluargamu membeli rumah di sebelah rumahku.”
Alfa mengangguk. ”Aku juga tahu siapa kalian berdua. Kalian yang tadi mengganggu angsa-angsa di dekat rumahku.”
Bandi dan Agus tertawa.
”Kami hanya ingin memperoleh dua lembar bulunya. Untuk tugas prakarya sekolah besok pagi. Bulunya harus dicelupkan ke pewarna, ditempelkan ke kertas putih dan seterusnya. Tapi mendapatkan bulu angsa jelas-jelas sebuah tantangan. Kaki Bandi dipatuk sementara siku tanganku sedikit lecet sebelum kami mendapatkan dua lembar bulu.” jelas Agus.
”Ooh...” Alfa manggut-manggut. ”Aku juga mendapatkan tugas itu di sekolahku yang lama. Aku mencabut bulunya dari kemoceng di rumah.”
Bandi dan Agus serentak menepuk kepala bersamaan. ”Iya juga ya! Kenapa kami tidak memakai bulu dari kemoceng saja?” Mereka berempat tertawa bersama-sama.
”Hei, lihat. Kalian berdua sudah mendapatkan banyak kerang. Bahkan ada kepiting juga.” kata Rahman sambil menengok ember Bandi dan Agus.
”Untuk dimakan?” tanya Alfa.
”Tentu saja tidak.” kata Bandi tertawa. ”Kau tidak bisa memakan kepiting sungai.”
”Kami masih akan menelusuri sungai. Kalian berdua mau ikut?” tanya Agus.
Rahman mengeluarkan kresek hitam dari saku celananya. ”Tentu saja.” sahut Rahman sambil mengibaskan kreseknya.
Mereka berempat menelusuri sungai bersama-sama. Dengan cepat Alfa belajar mencari kerang berwarna coklat kehijauan dari balik bebatuan dan pasir di dasar sungai. Ia memekik kecil ketika melihat seekor kepiting yang berenang-renang mengikuti arus sungai. Ia sangat senang memperhatikan ikan-ikan kecil berwarna keperakan yang bermain-main di dekat kakinya. Ikan-ikan itu bersembunyi dengan cepat kalau tangan Alfa sudah mau menyentuh mereka.
”Cantik sekali ikan-ikan ini.” kata Alfa. Bandi menoleh. ”Ikan jenis itu tidak terlalu enak dimakan. Tapi, ya, kurasa mereka memang cantik. Aku suka warna peraknya.”
Alfa tersenyum dan meneruskan mencari kerang. Ia bersorak setiap kali menemukan kerang yang besar. Ketiga teman barunya terlihat senang dengan semangat Alfa dan mengajarinya hal-hal baru seperti nama-nama tumbuhan di sekitar mereka, binatang apa saja yang mudah dicari di sungai serta enak dimakan, dan lain sebagainya.
”Tumbuhan itu namanya talas. Bisa membuat gatal-gatal.” kata Rahman kepada Alfa yang sedang memelototi tumbuhan berdaun lebar di tepi sungai. Alfa langsung menarik tangannya yang sudah terulur untuk menyentuh daunnya. ”Tapi kalau kau tahu cara mengolahnya, batang talas bisa menjadi makanan yang lezat.”
Alfa sedikit tidak percaya kalau batang tanaman apapun bisa terasa lezat. Tapi ia tidak mengatakan apapun.
Mereka berempat bercanda-canda dengan berisik, terkadang memercikkan air sungai ke wajah kawannya yang lain. Pakaian Alfa sudah separo basah. Akan tetapi ia tidak bisa berhenti tertawa. Ketiga teman barunya itu sangat lucu. Terutama ketika mereka sudah mulai berdebat. Saat ini mereka mulai mendebatkan jenis dan ukuran cacing untuk memancing di empang yang terletak di perbatasan desa. Kebanyakan Alfa hanya mendengarkan dengan tertarik karena ia tidak pernah mencari cacing untuk memancing. Bahkan sebenarnya ia belum pernah memancing apapun. Ia harus ingat untuk meminta teman-temannya agar tidak lupa mengajaknya ketika mereka pergi memancing.
Akhirnya, ketika plastik yang dibawa Rahman mulai sedikit menggembung dan ember-ember Bandi dan Agus terlihat agak penuh, Alfa sudah merasa sebagai anak desa sejati. Ia bahkan tidak terlalu kaget lagi ketika seekor belut melintas cepat diantara kaki-kakinya.
Kalau ia sudah sampai di rumah nanti, akan ada banyak hal yang ingin ia ceritakan kepada ibunya, pikir Alfa. Hari ini ia benar-benar mengalami petualangan yang menakjubkan! Dan ibunya juga harus tahu kalau Alfa sudah mendapatkan beberapa teman baru yang hebat. Coba kalau keluarga mereka memutuskan pindah ke desa dari dulu-dulu saja, angan Alfa.
Ketika matahari semakin rendah di ufuk barat, Alfa berlari-lari bersama teman-teman barunya. Mereka berlomba-lomba mendahului satu sama lain untuk mencapai rumah masih-masing. Kedua tangan Alfa penuh oleh kerang-kerang yang masih basah oleh air sungai. Kira-kira ibu bisa memasak kerang-kerang ini atau tidak, ya?

*****

Fundamentalisme dan Tatanan Dunia Baru

Label: , , , ,
Setiap gerakan fundamentalisme terjadi karena orang-orang yang berada di balik gerakan-gerakan tersebut menginginkan adanya perubahan. Entah perubahan itu di bidang sosial, politik maupun di bidang budaya dan religi. Dan pada dasarnya, perubahan yang diinginkan oleh fundamentalis adalah membentuk sebuah tatanan dunia baru yang sesuai dengan kepercayaan atau ideal mereka.

Membahas fundamentalisme maka agama merupakan salah satu topik wajib yang selalu dikaitkan dengan istilah fundamentalisme sendiri. Saat ini, dengan berbagai perubahan yang dibawa oleh globalisasi, agama tidak lagi bergerak di ranah-ranah yang bersifat privat saja akan tetapi semakin terbuka dan berinteraksi di ranah-ranah publik. Di Indonesia sendiri, organisasi keagamaan bahkan memainkan peranan yang cukup penting di pemerintahan. Contoh yang paling dikenal adalah Nahdlatul Ulama. Tidak hanya di Indonesia, di Amerika Serikat pun gereja-gereja juga melakukan interaksi langsung dengan publik melalui kegiatan-kegiatan sosial atau edukasi. Sekalipun dua contoh diatas menunjukkan bahwa interaksi antara agama dengan publik atau bahkan pemerintahan bisa berlangsung dengan baik, akan tetapi di beberapa kasus, interaksi antara agama dengan publik bisa membawa akibat-akibat yang tidak diinginkan. Di Lithuania sebagai contohnya, gereja-gereja di negara tersebut justru mendorong masyarakat untuk bertindak melanggar kepentingan umum.

Islam dan Tatanan Dunia Baru

Gerakan-gerakan fundamentalis yang mengusung nilai-nilai Islam saat ini tidak hanya menginginkan perubahan sosial demi perbaikan kualitas hidup semata. Melalui nilai-nilai Islam yang mereka usung, gerakan-gerakan fundamentalis Islam menginginkan pembentukan masyarakat berdasarkan konsepsi dan syariah-syariah Islam. Jadi, sebagai alternatif dari globalisasi, gerakan-gerakan semacam itu berusaha turut bergerak dan berpartisipasi di bidang politik maupun ekonomi, namun tetap dengan mempertahankan kesadaran diri terhadap akar budaya mereka sendiri. Contoh dari gerakan fundamentalisme Islam yang juga terkenal di Indonesia adalah Hizbut Tahrir. Dengan menggunakan masyarakat sipil sendiri, Hizbut Tahrir berusaha membuat tatanan dunia baru yang disebut dengan kekhalifahan. Kekhalifahan merupakan tatanan masyarakat Islam yang pada zaman dahulu muncul pasca meninggalnya Nabi Muhammad. Dalam kekhalifahan, pemimpin yang disebut sebagai Khalifah haruslah beragama Islam. Masyarakatnya sendiri juga harus hidup dalam norma-norma yang diajarkan oleh Islam. Agama-agama lain diijinkan tetap berkembang dan berdampingan secara damai dalam masyarakat tersebut namun tidak bisa berperan aktif dalam perpolitikan.

Fundamentalisme Kristen

Tidak hanya di Islam saja, di agama-agama lain juga terdapat gerakan-gerakan fundamentalisme yang berusaha menonjolkan kepercayaan masing-masing dalam masyarakat. Di AS, ada gerakan yang disebut dengan The Family yaitu gerakan fundamentalis elit yang berusaha memperoleh kekuasaan dengan melakukan kontrol institusi-institusi di AS. Untuk mengembalikan tatanan konservatif, gerakan ini melakukan pembaptisan terhadap elit-elit ekonomi lokal dengan nilai-nilai ke-Kristen-an. Dan untuk memperkuat jaringan politik maupun bisnis mereka, The Family bergerak melalui organisasi-organisasi bayangan seperti the Fellowship, kedutaan Kristen, jaringan doa Capitol Hill, dan sebagainya.

Fundamentalisme Yahudi

Salah satu gerakan fundamentalisme Yahudi yang terkenal adalah Zionisme. Awal mula terbentuknya gerakan ini dimulai pada tahun 1986 ketika Theodore Herzl, seorang jurnalis Yahudi berkebangsaan Austria, menerbitkan bukunya yang berjudul Der Jundenstaat. Herzl merupakan orang yang mencetuskan pendirian negara Israel. Alasan Herzl adalah munculnya paham anti-semit di negara-negara Eropa Timur dan Eropa Tengah, terutama di Jerman. Hal itu pulalah yang menyebabkan terbunuhnya Alfred Dreyfus, Kapten Tentara Prancis yang juga adalah orang Yahudi, karena dituduh menjadi mata-mata musuh. Dalam bukunya, Herzl mengungkapkan bahwa:

1. Orang-orang Yahudi, dimanapun juga mereka berada di permukaan bumi ini, di negara manapun juga meereka bertempat tinggal akan tetap saja merupakan sebuah "bangsa" yang tunggal.
2. Mereka selamanya dan di mana sajapun selalu menjadi korban pengejaran.
3. Mereka sama sekali tidak dapat diasimilasikan oleh negara-negara dimana mereka telah bertempat tinggal sekian lamanya.

Pemecahan yang diajukan Herzl adalah membentuk negara Yahudi yang berdiri sendiri di tanah Zion (Jerusalem), yang merupakan tanah yang dijanjikan Tuhan bagi mereka. Gerakan untuk kembali ke tanah Israel tersebut kemudian disebut dengan Zionisme. Melalui pemikiran Herzl itulah Zionisme berubah menjadi sebuah gerakan terorganisir yang bertujuan mewujudkan pendirian negara Yahudi. Sebuah kongres Yahudi Internasional digelar di Bassel Swiss pada tahun 1987. Dalam kongres ini disepakati bahwa seluruh Yahudi-Diaspora, atau warga Yahudi yang masih berserak di seluruh dunia, diharuskan segera bermigrasi ke Promise Land yaitu kota Yerusalem. Sekalipun pada mulanya orang-orang Yahudi, terutama yang sudah mapan, merasa enggan untuk pindah ke Palestina, pada akhirnya mereka berbondong-bondong bermigrasi ke Palestina ketika Tragedi Holocaust meletus. Dalam perkembangannya gerakan Zionisme ini berusaha menggunakan tindak-tindak kekerasan dan berusaha mengusir masyarakat Palestina yang mayoritas Islam dari tanah mereka sendiri. Tatanan baru yang diinginkan oleh kaum Zionis ini cenderung lebih eksklusif dibandingkan dengan gerakan fundamentalis lain dimana lingkup yang diinginkan masih hanya sebatas di kawasan konflik Israel-Palestina saja. Akan tetapi dengan menyebarnya kaum Zionis ke seluruh penjuru dunia, termasuk di kalangan pemerintah AS dan di negara-negara Eropa, bukan tidak mungkin kaum Zionis menginginkan sesuatu yang lebih besar lagi untuk para pengikutnya.

Clash of Fundamentalism

Peningkatan gerakan-gerakan fundamentalisme baik dari Timur maupun dari Barat, dari Hizbut Tahrir hingga Ku Klux Klan, memunculkan mitos baru yang disebut dengan clash of fundamentalism atau benturan fundamentalisme yang diprediksi dapat mengguncang tatanan dunia saat ini. Guncangan tersebut terjadi dalam kondisi ketika para ekstrimis dari Barat bertabrakan dan berkonflik dengan para ekstrimis dari Timur. Kondisi ini dimisalkan dengan fundamentalisme politik dari neokonservatif Kristen melawan fundamentalisme agama dari para ekstrimis Islam yang merupakan representasi dari war on terrorism yang dicetuskan oleh Bush sebagai tokoh neokonservatif (Barat) dengan kelompok teroris Islam Al Qaeda (Timur).

Teori Clash of Fundamentalism, menurut penulis pribadi, tidak sepenuhnya mitos belaka. Sebagaimana Clash of Civilization yang dulunya juga dianggap sebagai mitos, juga sudah mulai terlihat kebenarannya dengan benturan antara peradaban Barat, peradaban China dengan Konfusianismenya ataupun peradaban Islam di Timur Tengah. Sejauh ini baik kaum neokonservatif maupun Al Qaeda memang hanya merepresentasikan dua dari berbagai gerakan-gerakan fundamentalisme yang ada di dunia. Bahkan untuk Islam sendiri, Al Qaeda hanyalah satu dari berbagai gerakan fundamentalis yang ada, dimana Al Qaeda dan teror yang digunakan untuk mempromosikan Islam tidak bisa digunakan untuk menilai umat Islam secara keseluruhan karena pada dasarnya yang diajarkan oleh Islam dan agama-agama lain di dunia adalah perdamaian. Akan tetapi masih ada contoh lain ketika ekstrimis Islam berkonfrontasi dengan ekstrimis Yahudi dalam kasus Israel-Palestina, dan mungkin saja masih akan bermunculan kasus-kasus lain yang serupa sebagai konsekuensi globalisasi.


Referensi
Brinkley, Alan. 2003. American History: A Survey. New York: McGraw-Hill.
Garaudy, Robert. Israel dan Praktik-Praktik Zionisme. Bandung: Pustaka.1988.
Khaled, Mahjabeen. 2007. Globalization and Religion pdf. , diakses 20 Mei 2010 Tatanan Dunia Baru

Biodiversitas dan Hak Properti Intelektual

Label: , , ,
Mengaitkan biodiversitas dan hak properti intelektual akan merujuk kepada gerakan Demokrasi Bumi yang dilakukan oleh Vandana Shiva sebagai salah satu contoh yang terkenal. Gerakan yang dipelopori oleh Shiva tersebut mendorong terjadinya protes yang dilakukan oleh para petani India terhadap Dunkel Draft Text (DDT) dari negosiasi GATT di Uruguay. The Trade Related Intellectual Property Rights atau TRIPs atas DDT tersebut bagi para petani India merupakan suatu hal yang tidak dapat ditoleransi—mengingat bibit dan biodiversitas sangatlah mendasar dalam proses produksi makanan—sehingga karenanya menyimbolkan adanya perbudakan yang dilakukan oleh TNCs. Hal inilah yang kemudian mendorong petani India melakukan gerakan diam kedua pada tahun 1992 (gerakan yang pertama berlangsung pada tahun 1942 yang dipelopori oleh Mahatma Gandhi).
Kenapa draft tersebut dianggap sebagai ancaman? Karena bagi para petani India, draft tersebut jelas merugikan para petani dunia ketiga yang merupakan pendonor biodiversitas dengan mereproduksi dan memodifikasi sendiri materi tanaman dan bibit-bibitnya. Bagi para petani, bibit merupakan suatu hal yang sangat esensial, anugerah dari alam dan dapat ditukarkan dengan bebas antara petani satu dengan petani lainnya dan antara negara satu dengan yang lainnya. Oleh karena itu, monopoli terhadap bibit, dalam hal ini disebut sebagai Bibit Satyagraha, merupakan suatu hal yang melanggar hak cipta dan dapat disamakan dengan kasus hukum garam di Inggris.
Bagi Shiva, pematenan yang dilakukan melalui TRIPs sebagaimana yang dijelaskan diatas merupakan efek dari globalisasi yang pada dasarnya membahayakan hak-hak kehidupan masyarakat pada umumnya. Oleh karena itu, tidak heran kaum petani di India melakukan gerakan untuk menolak kebijakan tersebut. Dalam level pertama, penolakan dilakukan dengan perlawanan. Argumen dasarnya adalah, kehidupan bukan ciptaan manusia, oleh karena itu tidak dapat dimonopoli oleh pihak-pihak tertentu, sekalipun ada royalti yang diberikan sebagai timbal balik. Dalam level kedua difokuskan kepada usaha untuk merebut kembali demokrasi rakyat dalam menjaga maupun menggunakan biodiversitas secara berkelanjutan. Untuk level yang kedua ini, Shiva mencontohkan gerakan yang berlangsung di salah satu desa di India pada Hari Lingkungan Hidup 1998 yang berusaha mendeklarasikan kedaulatan untuk mengkonversi biodeversitas mereka sendiri.
Masalah antara biodiversitas melawan hak intelektual properti di India kemudian menjadi semakin memanas. Masalah hak paten beras Bismati merupakan salah satu contoh lainnya. Ricetec Inc. sebagai perusahaan yang mengklaim dan mematenkan beras tersebut mendapatkan penolakan dari masyarakat yang telah mengkonsumsi beras tersebut selama berabad-abad. Masyarakat bahkan menuduh perusahaan tersebut melakukan pencurian dan pembajakan terhadap masyarakat lokal.
Bagi TNC seperti Ricetec Inc. sendiri, kecenderungan masyarakat negara-negara dunia ketiga yang menganggap bahwa biodiversitas serta pengetahuan mengenai pemanfaatannya tersebut sebagai halangan dalam melakukan ekspansi pasar. Satu hal yang menarik disini, dari sudut pandang TNCs, pemanfaatan biodiversitas seperti reproduksi benih yang dilakukan oleh para petani-petani kecil secara bebas juga merupakan suatu pentuk pencurian. Oleh karena itulah permintaan akan hak properti intelektual yang diinginkan oleh TNCs sebenarnya merupakan suatu asumsi yang tidak dapat dibenarkan mengingat sebagai ganti dari investasi, TNCs tersebut menginginkan monopoli sebagai gantinya.
Dari penjabaran dan contoh-contoh diatas, Shiva sebenarnya berusaha berargumen bahwa globalisasi yang membawa tren liberalisme dan privatisasi terhadap berbagai unsur-unsur kehidupan termasuk biodiversitas merupakan suatu hal yang melanggar hak-hak manusia atas alam. Gerakan sebagaimana yang dilakukan oleh penduduk India dalam mendeklarasikan kedaulatan untuk mengkonversi biodiversitas sebenarnya merupakan salah satu contoh dari berbagai respon terhadap globalisasi yang dianggap telah mengingkari kemerdekaan sipil dan kebebasan.
Praktek yang berlangsung terkait kebijakan TRIPs tersebut membuat keragaman biodiversitas seperti benih dikuasai oleh raksasa-raksasa korporat global tertentu. Kondisi itu tentu saja tidak dapat dibenarkan mengingat bibit-bibit seharusnya berada di tangan para petani. Hal yang sama juga terjadi dengan air, hutan, dan sebagainya. Jadi, sistem ekonomi global saat ini bukannya malah membantu masyarakat malah justru merebut berbagai kebutuhan hidup masyarakat yang sebenarnya sudah tersedia di sekitar mereka, akan tetapi tidak dapat dimanfaatkan untuk kepentingan umum secara maksimal akibat eksploitasi yang terjadi. Shiva berargumen bahwa model ekonomi kapitalisme liberal yang mendukung privatisasi ini justru mendorong peningkatan ketidakamanan ekonomi bagi sebagian besar masyarakat, terutama yang menyandarkan hidupnya dari hasil alam seperti para petani dan nelayan. Bahkan negara yang seharusnya menjadi pelindung masyarakat pun sekarang tidak dapat menjalankan fungsi dengan selayaknya karena hak absolut atas sumber daya alam yang ada di tangan negara dilalihkan kepada korporat-korporat yang kebanyakan adalah dari negara-negara lain. Belum lagi konsekuensi dari eksploitasi yang dilakukan oleh pihak korporat tersebut cenderung merusak ragam biodiversitas tanpa adanya rasa pertanggungjawaban terhadap masyarakat lokal.
Apabila dipandang dari sudut yang lebih radikal lagi, hak intelektual properti dapat menjadi alat yang digunakan oleh TNCs dalam melakukan kolonialisasi, atau dalam hal ini rekolonialisasi dunia ketiga setelah masa kolonialisasi yang dimulai pada jaman Colombus. Bibit Satyagraha contohnya menjadi simbol baru terhadap perjuangan untuk memperoleh kebebasan dalam memerangi sistem yang berlangsung saat ini secara damai sebagaimana yang dicontohkan oleh Gandhi.
Menurut saya sendiri, pandangan Shiva diatas memang cenderung ekstrim dalam memandang globalisasi dan privatisasi. Akan tetapi pandangan tersebut sebenarnya tidak dapat disalahkan. Kerusakan alam yang terjadi dalam dekade-dekade belakangan ini cenderung terjadi karena adanya eksploitasi manusia yang dilakukan secara berlebihan. Eksploitasi dalam batas yang sewajarnya sebagaimana yang dilakukan oleh individu-individu yang bekerja sebagai petani, nelayan, bahkan tukang kayu tidak akan membawa kerusakan yang separah ini karena ada norma-norma tradisional diantara masyarakat negara-negara dunia ketiga mengenai hidup yang sederhana dan mengambil secukupnya dari alam. Eksploitasi yang dilakukan oleh TNCs di lain pihak dilakukan semaksimal mungkin untuk mengeringkan sumber daya yang seharusnya dimiliki oleh masyarakat luas demi keuntungan sebesar-besarnya. Sebagai akibatnya, uang hanya berputar kepada sejumlah kecil manusia sementara mayoritas bukan hanya menderita kehilangan sumber penghidupan yang kemudian berujung kepada ketidakstabilan sosial politik. Dan apabila kita perhatikan lagi, ketidakstabilan sosial politik akibat eksploitasi pihak-pihak korporat itulah yang menyebabkan munculnya gerakan-gerakan sosial di seluruh dunia yang kemudian identik dengan gerakan-gerakan fundamentalisme.

Referensi:
Heffni Effendi. 2010. Masalah Sumber Daya Alam di Indonesia. Diakses dari www.mediaindonesia.com/webtorial/klh/?ar_id=NzEx0Q pada 31 Mei 2010.
Shiva, Vandana. Biodiversity and Intellectual Property Rights.

The Politics of Migration in Europe

Background
In European history, immigration actually had a deep root. The history is complex with egards to the types of and status of migrant groups. In 19th and 20th centuries, industrialization in Europe caused the relocation of most of these immigrants. The transformation from small, agriculture-based societies to manufacturing economies was so rapid and sweeping that it became known as the Industrial Revolution. The Industrial Revolution began in England in the late 18th century and gradually spread across Europe. During the mid-19th century, the Industrial Revolution swept across France, Belgium, and the German states. In each of these areas the economic and social changes accompanying rapid industrialization led to a huge exodus of people. People from rapidly transforming rural areas were driven to new industrial production sites in growing cities. Many among the impoverished and the deprived, but also among the wealthy, chose to migrate to the new immigration countries outside Europe.

Immigration in Europe Today
Europe today has an increased number of immigrants. It is an indication that Europe’s importance as a region of destination will increase in the future. European countries also recruit migrants to fill the labor and skills shortages that are predicted to rise in the coming decades.
Immigrant small business is an important area of the economy, especially for certain niches. The origin of immigrant business is related, to some extent, to the exclusion of immigrants from employment structures and the danger of unemployment. In most European countries, various opportunities exist for immigrants to establish and develop small businesses, for example, the existence of Diaspora network capital and family labour, as well as access to products and customers due to the changing attitudes towards cultural diversity and consumption.
Immigrants also became increasingly important consumer groups in the European economies. Immigrant consumer activities can be measured as a growing contribution to economic development, especially with regards to changes in the production of consumer goods and the development of new patterns of consumption.

European Union and Immigrants
In the 1980's there is a new kind of migrants like asylum seekers. Europe responds by a new policy like expanded the Visa regime. Countries that were constitute a substantial source of migration and asylum seeking will subject citizens visiting the country to a visa requirement.
Immigration and asylum were not originally within the scope of European institutions. The basis for the treatment of these questions in Europe was established between 1986 and 1992. In the Community, the objective of creating an unified market favored the consideration of immigration as a question that should be tackled at a European level: the signing of the European Single Act in 1986, which included a program for harmonizing immigration policy, favored the development of closer cooperation between Member States. The governments of France, Germany, Belgium, Holland and Luxembourg had already signed on June 14, 1985, the Schengen Treaty. From a functional point of view, on the other hand, the agreement was closely related to the community objective: it attempted to reinforce police and judicial cooperation among those states, with the objective of doing away with internal borders and reinforcing external borders. Its Application Agreement was signed on June 19, 1990, and it was enforced on March 26, 1995.
European Union policy towards immigration is clearly restrictive. The tragedy of Dover in 2000 highlighted the undesirable and perverse effects of restrictive laws. Clandestine migratory flows have not disappeared and because of this condition, it becomes necessary to periodically implement regularization processes.
The European Commission is the European institution that acts as a catalyst in the making process of immigration and asylum policies. The European Commission current proposals also concerning about the principles that should govern a common policy in the presence of the migratory phenomenon are being considered. As to legal immigration, the Commission has presented several initiatives like family reunification, in December 1999; the concession of long-term duration permits for those who have resided legally for more than 5 years, in March 2001; the joint administration of inflows of immigrants that would include only one permit for both residency and work for temporary emigrants, in July 2001.
In order to confront illegal immigration, four proposals are on the waiting list. First, a communication on a common policy for questions concerning clandestine immigration, in November 2001. Second, a directive for temporary permits for stays to irregular immigrants who cooperate with the law, in November 2001. Third is a Green Paper policy containing norms to compel illegal immigrants to return to their homelands, in April 2002. If the third proposals were to be carried out, it would affect more than three million persons. The last is a proposal concerning the integrated administration of EU borders with the creation of a ‘European Border Police Force’, especially for the coasts. Two other initiatives concerning asylum are also blocked at the moment: one concerning common criteria to apply the Geneva Convention to applicants, and another concern procedures to apply them.

Conclusion
Immigration has changed European societies have dramatically in the last decades. The immigrants have played a major role, especially in the transformation of European economies. Consumer patterns have changed due to the impact of immigrants. Welfare systems also have been extended to immigrant groups. Immigrant employment patterns and entrepreneurship activities have developed rather quickly. Social life and worldview formations have changed in Europe through immigration as well. In the future, there is a high possibility that European governments will make easier policies for immigrants. This is an effect from European low birth rates. Today, European countries are facing this kind of problem and need young people to replace the older generations.

Sources:
Anonim. 2006. Impact of Immigration on Europe’s Societies. Directorate-General Justice, Freedom and Security.
Dearden, Stephen J.H. Immigration Policy in the European Community.

Geopolitik dan Geostrategi Timur Tengah



A. Situasi Geopolitik dan Geostrategi Timur Tengah
Timur Tengah merupakan kawasan yang terletak di barat daya Asia dan timur laut Afrika. Istilah Timur Tengah sendiri merupakan sebuah istilah geopolitik yang diperkenalkan oleh Alfred T. Mahan, seorang pasukan angkatan laut Amerika Serikat. Istilah yang pertama kali digunakan pada tahun 1902 ini pada awalnya digunakan untuk menjelaskan wilayah Asia yang terletak di sebelah selatan Laut Hitam, diantara Laut Mediterania di sebelah barat dan India di sebelah timur. Saat ini, pusat wilayah Timur Tengah saat ini sendiri meliputi daratan diantara Laut Mediterania dan Teluk Persia dan wilayah yang memanjang dari Anatolia, Jazirah Arab hingga Semenanjung Sinai. Dalam definisi Timur Tengah yang lebih modern, wilayah ini meliputi Bahrain, Siprus, Mesir, Turki, Iran, Irak, Palestina, Yordania, Lebanon, Oman, Qatar, Arab Saudi, Suriah, Uni Emirat Arab, Yaman dan Palestina. Dalam pengertian yang lebih luas, yang termasuk di dalamnya adalah negara-negara Islam, Timur Tengah juga meliputi Moroko, Algeria, Tunisia, Libia, Sudan, Afghanistan, dan Pakistan.[1] Kawasan Timur Tengah memiliki keunikan geografis tersendiri dengan letaknya yang diantara Eropa, Asia dan Afrika serta memiliki jalur-jalur strategis seperti Selat Bosphorus yang menghubungkan Laut Mediterania dengan Laut Hitam dan Terusan Suez yang menghubungkan Laut mediterania dengan Laut Merah.
Kondisi geografis dari Timur Tengah kebanyakan merupakan wilayah-wilayah yang gersang, musim panas yang kering serta musim dingin. Beberapa sungai besar seperti Nil, Eufrat, Jordan dan Tigris menjadi sumber kehidupan dan irigasi bagi beberapa negara sekaligus. Hal inilah yang kemudian menjadi konflik antara beberapa negara Timur Tengah yang memperebutkan kontrol atas sumber air. Contohnya adalah masalah pertikaian atas Sungai Eufrat antara Turki, Siria dan Irak. Ketiga negara tersebut semuanya sangat bergantung kepada aliran Sungai Eufrat untuk memenuhi kebutuhan hidup penduduknya. Turki yang memiliki hulu sungai Eufrat mengambil keuntungan atas letak geografisnya dengan membangun dua buah dam besar untuk tenaga listrik di Sungai Eufrat. Akibatnya, aliran air ke Siria berkurang dengan dengan drastis. Siria kemudian membangun dam yang akhirnya mereduksi aliran air ke Irak. Sebagai akibatnya, Irak yang mengalami kekurangan air yang mempengaruhi ke bidang agrikulturnya. Kondisi ini menunjukkan posisi strategis Turki atas Siria serta Siria akan Turki berkaitan dengan sumber daya air. Akan tetapi sebagai akibatnya perang nyaris pecah diantara Siria dan Turki pada tahun 1975.
Sekalipun wilayah ini terkenal dengan wilayahnya yang bergurun-gurun dan sangat minim sumber air, akan tetapi Timur Tengah juga terkenal sebagai wilayah yang memiliki kekayaan minyak alam yang sangat melimpah. Menurut Sluglett, kawasan Timur Tengah merupakan penampung dari 65% cadangan minyak dunia. Beberapa negara Timur Tengah seperti Mesir, Iran, Irak, Kuwait maupun Arab Saudi menjadi sangat kaya raya berkat persediaan minyaknya tersebut. Sementara itu Qatar, Oman dan Bahrain juga merupakan negara-negara yang memiliki pertambangan minyak bumi serta industri-industri yang berkaitan dengan minyak bumi sebagai penyangga ekonominya. Bahkan, berkat kekayaan minyak buminyalah, Timur Tengah menjadi wilayah incaran negara-negara besar di seluruh dunia, termasuk AS dan China. Keuntungannya, beberapa negara yang memiliki sumber minyak dapat memanfaatkannya sebagai bargaining power dalam menghadapi negara-negara Barat. Arab Saudi sebagai contohnya mendapatkan bantuan ekonomi sekaligus dukungan politik dari AS sebagai ganti dari minyaknya. Akan tetapi di lain pihak sumber daya minyak juga menyebabkan negara rentan akan invasi politik maupun militer dari Barat seperti yang terjadi di Iran dan Irak.

B. Sifat alami Perpolitikan Timur Tengah dalam Lingkup Sejarah dan Geografi
Sejarah Perkembangan Timur Tengah
Peradaban di Timur Tengah tumbuh di lembah-lembah sungai Nil, Tigris dan Eufrat, yang kemudian dikenal sebagai Peradaban Mesopotamia. Di wilayah ini pulalah kemudian Peradaban Mesir mulai tumbuh dan berkembang sejak 3000 SM. Peradaban Mesir ini bahkan memiliki pengaruh politik yang lebih besar dibandingkan dengan Mesopotamia. Hal ini terbukti dengan nyaris tidak adanya invasi dari luar maupun pengaruh dari langsung dari luar terhadap perpolitikan Mesir.[2]
Satu hal yang menarik dalam perkembangan peradaban-peradaban di Timur Tengah, adalah kekayaan budaya yang dimiliki oleh kawasan ini. Timur Tengah merupakan tempat lahirnya huruf alfabet, hukum, perkotaan, bahkan agama-agama terkenal di dunia yaitu agama Islam, Kristen dan Yahudi. Sekalipun dalam perkembangannya Islam merupakan agama yang paling kuat mengakar dan bertahan di Timur Tengah, yang terbukti dengan 90% penduduk Timur Tengah adalah orang muslim, akan tetapi tetap saja Timur Tengah merupakan tempat sakral bagi umat manusia di seluruh penjuru dunia yang memeluk agama-agama tersebut.
Setelah terbentuknya peradaban Islam, pada abad ke-13 muncullan Kerajaan Ottoman yang menyatukan Eropa Tenggara, Anatolia, Irak, Iran bagian barat, Siria, Mesir, Semenanjung Arab bagian barat, pantai di sepanjang Afrika Utara diantara Mesir dan Maroko Timur. Pada masa kekuasaan dinasti Ottoman inilah Timur Tengah sempat mengalami masa-masa yang cukup damai. Pada abad ke-18, Kekaisaran Ottoman mulai mengalami keruntuhannya yang diakibatkan oleh tekanan dari luar dan kebangkitan negara-negara Eropa. Kehancuran dari Kerajaan Ottoman akibat tekanan hutang kepada bahgsa Eropa menyebabkan kawasan Timur Tengah jatuh dalam kekuasaan Inggris dan Prancis. Pada saat yang hampir bersamaan, gerakan Zionisme muncul, dan pada tahun 1882 gelombang pertama pendudukan kaum Yahudi ke Palestina pun dimulai.
Setelah runtuhnya Imperium Ottoman, pada tahun 1915 Inggris melakukan perjanjian bilateral rahasia dengan Prancis. Dalam perjanjian yang disebut Sykes-Picot Agreement tersebut, Inggris setuju untuk membagi bekas wilayah Imperium Ottoman dengan beberapa negara di Eropa. Iggris sendiri mendapatkan wilayah Irak, Yordania, dan sebagian Haifa. Prancis mendapatkan wilayah Irak Utara, Turki, Lebanon dan Suriah sementara negara-negara lain dibebaskan untuk memilih sisanya. Saat perjanjian tersebut dibuat, Palestina masih berupa wilayah yang berstatus quo sehingga pengelolaannya dilakukan oleh negara-negara pemenang secara bersama-sama.
Akan tetapi Sykes-Picot Agreement tidak berjalan dengan baik ketika negara-negara di Eropa yang menguasai bekas wilayah Ottoman terus bersengketa. Sebuah konferensi di San Remo digelar untuk menyelesaikan permasalahan tersebut. Keputusan yang dihasilkan adalah wilayah Suriah dan Lebanon untuk Prancis dan wilayah Palestina serta Irak untuk Inggris. Hasil konferensi tersebut kemudian dijadikan British Mandate of Palestine oleh LBB pada tahun 1920. British Mandate of Palestine tersebut memberikan kekuasaan bagi Inggris untuk mengelola wilayah Palestina.
Pada tahun 1947 ketika mandat Inggris atas Palestina berakhir, PBB membuat proposal perdamaian dengan mengatur pembagian wilayah bagi warga Arab dan Yahudi. Resolusi DK PBB No.181 (UN Partition Plan) tersebut membagi wilayah Palestina menjadi tiga bagian. 55% dari wilayah tersebut diberikan kepada warga Yahudi, Jerusalem berada dalam kekuasaan PBB, sementara sisanya diberikan kepada warga Arab. Bangsa Yahudi yang menyambut gembira proposal tersebut langsung mengumumkan pendirian negara Israel pada hari berakhirnya mandat Inggris. Beberapa jam setelah Israel resmi dibentuk, Amerika Serikat dan Uni Soviet memberikan pengakuannya kepada negara tersebut. Proklamasi kemerdekaan Israel dan pengakuan dari Amerika serta Soviet tersebut menimbulkan kemarahan rakyat Palestina dan mendorong terjadinya peperangan bersenjata yang memperebutkan kedaulatan di tanah Palestina.
Pasca perang dunia kedua, perhatian dunia terhadap Timur Tengah semakin meluas. Negara-negara berkekuatan besar seperti Amerika dan Uni Soviet mulai menyadari pentingnya Timur Tengah, terutama berkaitan dengan minyak yang dihasilkan oleh kawasan strategis ini. Untuk menjelaskan hubungan internasional kontemporer pasca Perang Dunia II di Timur Tengah dapat dibagi menjadi tiga fase.
Fase pertama, 1945-1948, berkaitan dengan diawalinya perang dingin antara Amerika Serikat dan Uni Soviet. Pada periode waktu tersebut, AS menggantikan peran Inggris yang memenangkan Perang Dunia kedua namun mengalami kelelahan pasca perang sehingga tidak mampu memerankan peran tradisionalnya sebagai hegemon. Tantangan AS di Timur Tengah diawali dari Soviet yang mencoba menundukkan Iran melalui pemberontakan Azerbaijan serta kepemilikan konsensi minyak secara paksa. AS bereaksi dengan mendorong Iran melawan tekanan Soviet. Akan tetapi sebelum krisis tersebut berakhir, AS dipaksa menghadapi ancaman komunis baru yaitu terhadap Yunani dan Turki, yang mengalami kekosongan kekuasaan pasca perang dunia kedua.[3] Amerika dengan didorong oleh ketakutannya atas pengaruh Soviet atas ketidakpastian politik di Yunani, Turki dan Iran mengeluarkan doktrin Truman untuk membendung pengaruh Soviet di wilayah tersebut.[4]
Dalam fase yang kedua, 1948-1974, kebijakan politik AS yang berkaitan dengan Timur Tengah tidak dapat dipisahkan dengan Israel. AS yang berperan sebagai pelindung Israel menyebabkan Soviet dapat mengeksploitasi keuntungan dari situasi tersebut dengan menyuplai persenjataan sekaligus berperan sebagai penasihat Egypt, Syria dan Iraq. Hubungan AS dengan Israel memunculkan ketegangan dengan negara-negara Arab yang menjadi klien AS seperti Yordania dan Saudi Arabia. Negara-negara tersebut pada saat yang sama mendukung AS namun semakin anti dengan Israel. Hal inilah yang menjadi salah satu alasan kegagalan usaha AS untuk melakukan kerjasama regional yang mencakup keseluruhan Timur Tengah dengan beraliansi kepada NATO. Pada saat yang sama, Pakta Baghdad menyebabkan munculnya reaksi politik berantai yang memperburuk hubungan AS dengan para nasionalis Arab. Hal tersebut diikuti nasionalisasi Terusan Suez dan terjadinya Perang Suez. Resolusi dari Perang Suez dapat dicapai ketika AS menentang tindakan yang dikeluarkan oleh sekutu-sekutu terkuatnya seperti Israel, Prancis dan Inggris. Setelah melakukan diplomasi unilateral bersama secara intens, pasukan dari PBB akhirnya ditempatkan diantara negara-negara yang berperang dan memaksa negara-negara tersebut menarik diri dari teritori perang.
Fase ketiga, 1973-1990, diwarnai dengan perang antara Arab dengan Israel. AS yang berusaha bersekutu dengan kedua belah pihak mendapatkan tekanan dari kedua pihak yang berperang. Akhirnya, satu-satunya  pilihan yang memungkinkan bagi AS adalah berusaha mendorong terjadinya negosiasi bilateral, yang kemudian dilaksanakan di Camp David. Negosiasi tersebut menghasilnya beberapa perjanjian iplomatik, namun tidak menyelesaikan permasalahan yang paling penting yaitu mengenai otonomi Palestina akan West Bank dan Jalur Gaza. Di saat yang sama pengaruh Soviet di Timur Tengah juga semakin berkurang akibat invansi Soviet ke Afghanistan.

Sifat Alami Perpolitikan Timur Tengah
Berdasarkan penggambaran ringkas mengenai sejarah Timur Tengah, dapat disimpulkan bahwa sifat alami perpolitikan Timur Tengah pada dasarnya adalah konfliktual. Masalah ideologi dan agama, baik antara Islam dengan Kristen maupun Islam dengan Yahudi, selalu menjadi sumber konflik dan peperangan dari masa ke masa. Konflik antara Israel dan Palestina di lain pihak tidak hanya masalah perebutan wilayah yang sudah terjadi sejak berabad-abad yang lampau saja, akan tetapi juga sudah bercampur dengan masalah ideologi, agama bahkan harga diri dari ras yang menghuni kawasan tersebut.
Apabila dianalisis secara geografis, konflik perebutan wilayah dan sumber daya alam hingga masalah eksploitasi minyak terus mewarnai perkembangan wilayah ini, sejak era kerajaan hingga terbentuknya negara-bangsa di Timur Tengah sendiri. Menurut penulis[5], secara geografis pemusatan sumber-sumber daya alam yang tidak merata merupakan salah satu penyebab konflik tiada akhir dari wilayah ini. Mesir, Iran, dan Irak memiliki sumber daya minyak yang berlimpah sementara Yaman nyaris tidak memiliki sumber daya alam apapun sehingga terus berkubang dalam kemiskinan, ketidakstabilan politik, pemberontakan, dan bahkan dimanfaatan oleh kelompok teroris menjadi markas utama serta tempat perekrutan. Tidak hanya minyak saja, masalah sumber daya air yang didapat dari aliran sungai pun banyak menimbulkan konflik. Di Mesir, Sungai Nil mengalami degradasi mutu akibat peningkatan populasi yang pesat. Sungai Jordan menjadi perebutan antara Yordania, Israel dan Siria. Hal yang sama juga terjadi dengan Sungai Eufrat yang diperebutkan arusnya oleh Turki, Siria dan Iran.
Selain itu iklim rata-rata yang sangat panas dengan wilayah yang tandus menyebabkan sifat alami para penduduk Timur Tengah sendiri menjadi cenderung keras dan tidak mau kalah. Oleh karena itulah ketika negara-negara asing seperi AS dan Uni Soviet turut campur dan berusaha memanfaatkan permasalahan regional Timur Tengah demi keuntungan mereka sendiri, penduduk Timur Tengah cenderung menghadapinya dengan penolakan. AS dan anteknya Israel menjadi semacam penjahat di Timur Tengah dan menjadi musuh bersama negara-negara Islam yang juga mendukung Palestina. Kondisi seperti ini pada akhirnya berujung kepada usaha untuk mengembalikan tatanan sosial Timur Tengah ke bentuk tatanan Islam sesuai dengan tatanan yang ada sejak jaman Nabi Muhammad. Salah satu penanda yang sangat menonjol dalam usaha untuk memberontak dari pengaruh Barat tersebut termanifestasi dalam Revolusi Islam Iran yang menjalar dari terbentuknya republik Islam pertama di Iran serta pergerakan-pergerakan serupa yang mulai bangkit di negara-negara Timur Tengah lain termasuk di Arab Saudi, Irak dan negara-negara dengan penduduk Islam lainnya.

C. Tantangan Geostrategis Posisi Timur Tengah terhadap AS, China dan Asia Tengah
Pemikiran McKinder mengenai Eurasia sebagai bagian penting pusat dunia menyebabkan Amerika Serikat percaya bahwa usaha untuk menguasai dunia sebagaimana yang diinginkan oleh kelompok Hawkish akan tercapai dengan menguasai wilayah tersebut. Dari pemikiran McKinder tersebut, AS menarik kesimpulan bahwa kawasan Teluk Persia dan Laut Kaspia—wilayah-wilayah yang kaya dan mengandung sekitar 70 persen cadangan minyak dunia—merupakan kawasan yang harus berada di bawah kontrol AS. Tidak hanya Amerika Serikat saja, China, Rusia, Kanada, Inggris, bahkan negara-negara Asia Tengah merupakan negara-negara yang berusaha menguasai sumber-sumber minyak strategis di dunia. Akan tetapi keinginan untuk menguasai sumber daya terbatas paling dicari tentu saja akan menyebabkan bentrokan kepentingan antara pihak-pihak yang mengejarnya. Perang Teluk II merupakan salah satu contoh usaha AS untuk menguasai sumber daya minyak tersebut.
Sebagaimana yang dijelaskan Abdul Halim, apapun alasan yang dikemukakan AS terhadap publik (terorisme dan senjata nuklir di Irak) akan tetapi alasan sebenarnya dari agresi Amerika ke Irak tersebut adalah permasalahan sumber daya minyak bumi yang sangat melimpah di kawasan tersebut.[6] Amerika Serikat sebagai pengimpor sekaligus konsumen minyak terbesar didunia melihat Irak sebagai kawasan strategis untuk menjaga cadangan minyak bumi AS. Dilihat dari catatan cadangan minyak AS, hanya tersedia 22 milyar barel minyak atau setara dengan 2% saja dari cadangan minyak dunia.[7] Hal ini menunjukan terus berkurangnya cadangan minyak AS. AS sebagai pengimpor minyak terbesar didunia, sekaligus memiliki kekuatan militer terbesar di dunia melihat bahwa penguasaan minyak Irak dapat mengantisipasi penurunan keberadaan minyak dunia sebanyak 5 juta barel per hari pada dekade yang akan mendatang. Selain itu, AS berkeinginan untuk membanjiri pasar minyak dunia dengan 7 hingga 8 juta barel minyak per harinya, yang tentu saja diambil dari ladang-ladang minyak di Irak, yang kemudian dapat menghancurkan OPEC dan merugikan negara-negara penghasil minyak.
Selain AS, negara-negara Asia Tengah, melihat bahwa potensi minyak, gas alam serta listrik dari kawasan Timur Tengah sangat dibutuhkan oleh negara-negara Asia Tengah yang saat ini sedang mengalami krisis energi. Selain itu beberapa negara seperti Turkmenistan melihat bahwa hubungan dengan negara-negara Timur Tengah sangat penting terutama demi pembangunan jalur pipa gas. Iran contohnya merupakan salah satu importir terbesar gas alam dari Turkmenistan. Selain itu Iran pulalah yang menyuplai listrik ke beberapa negara Asia Tengah seperti ke Nakhjavan dan Turkmenistan. Penetrasi yang dilakukan oleh negara-negara Asia Tengah ke Timur Tengah sendiri dilakukan melalui Shanghai  Cooperation Organization dimana China juga menjadi salah satu anggotanya. Dengan posisi Iran sebagai anggota obeserver, organisasi ini memiliki posisi strategis di kawasan Eurasia.
China pada dasarnya merupakan salah satu negara kuat yang mulai tertarik untuk memperluas pengaruhnya ke Timur Tengah. Tujuan China nyaris sama dengan AS yaitu suplai minyak dan gas alam. Berbeda dengan AS yang cenderung ofensif dan militaristik, pendekatan dari China cenderung lebih halus dan berhati-hati. Melalui SCO sebagai contohnya, pada tahun 2006 China menandatangani kesepakatan pengembangan sumber minyak Yadavaran dengan Iran serta mengimpor 250 milyar ton LNG dari negara tersebut. Tidak hanya itu, bantuan China juga berkembang ke infrastruktur bahkan ke bidang pertahanan dan militer dengan menyuplai persenjataan ke Iran.
Lalu, apakah usaha-usaha AS maupun China dan negara-negara Asia Tengah untuk menguasai Timur Tengah bisa berhasil?
Ada beberapa hal yang menyebabkan usaha invasi AS di kawasan ini tidak berjalan dengan sukses. Pertama, Timur Tengah merupakan wilayah yang cukup sulit untuk mengimplementasikan kebijakan luar negeri. Konflik tiada akhir dan  berbagai perubahan struktur dalam sistem internasional menyebabkan negara-negara yang mengimplementasikan kebijakan luar negerinya di wilayah ini, termasuk AS, mengalami frustasi. Contohnya adalah konflik antara Israel dan Palestina yang hingga saat ini masih menjadi pusat perhatian dunia. Usaha-usaha tiada akhir yang dilakukan AS untuk mengakhiri pertikaian tersebut melalui mediasi tidak mendapatkan hasil yang cukup memuaskan. Hal tersebut turut menunjukkan bahwa pada dasarnya Timur Tengah adalah wilayah yang sulit terlepas dari konflik mengingat apabila regional-regional lain mengalami penurunan ketegangan pasca runtuhnya Uni Soviet pada tahun1990-an, wilayah ini masih saja menunjukkan tingkat ketegangan yang sangat tinggi, sekalipun usaha mediasi dilakukan tanpa henti. Selain itu, dengan mendasarkan kepada sifat orang-orang Timur Tengah yang cenderung keras, pendekatan offensif sebagaimana yang dilakukan oleh AS tidak akan pernah menghasilkan kesuksesan di wilayah ini.
Kedua, kondisi geografis negara-negara Timur Tengah yang bergurun-gurun, kering dan sangat luas menyebabkan pendudukan yang dilakukan AS di Irak dan Afghanistan tidak berjalan dengan lancar. Sebaliknya, perlawanan gerilyawan semakin meningkat, terorganisir, berpindah-pindah dan semakin efektif melawan AS. Di Irak pimpinan Paul Bremer tidak dapat berjalan dengan baik akibat pemberontakan rakyat sehingga pada tahun 2004 AS memutuskan untuk mengembalikan pemerintahan kepada bangsa Irak sendiri.
Di lain pihak, kondisi geografis yang sama juga mencegah Asia Tengah untuk melakukan pengembangan jalur pipanya ke Timur Tengah. Hanya Turkmenistan yang cukup sukses melakukan pembangunan pipa gas dengan Iran. Akan tetapi dari tiga proposal pembangunan jalur pipa, pada akhirnya hanya satu itu yang dibangun dan bahkan itupun tidak terlalu menguntungkan bagi Iran sendiri. Negara-negara Asia Tengah lain malah cenderung terfokus dengan usaha mengusir pengaruh AS dengan bantuan China, atau berusaha mengatasi krisis energi yang sedang melanda negara masing-masing.
Ketiga, posisi Timur Tengah sendiri cenderung jauh baik dari AS maupun dari China menyebabkan intervensi secara langsung, terutama dalam bentuk militaristik, cenderung sulit dan memakan banyak biaya. Memang AS memiliki Israel yang merupakan sekutu dalam pusat Timur Tengah sendiri, akan tetapi perkembangan terakhir hubungan AS-Israel menunjukkan bahwa Israel mulai cenderung lepas kendali dengan melakukan serangan-serangan ke Palestina bahkan tanpa persetujuan AS. China di lain pihak berusaha membangun linknya sendiri melalui Iran yang dijak bergabung sebagai observer di SCO. Namun, sama halnya dengan AS, China juga akan mengalami kesulitan yang serupa apabila menginginkan turut campur secara langsung, terutama dalam bentuk militer. Faktor jarak, waktu dan biaya inilah yang menimbulkan tantangan tersendiri bagi negara-negara besar yang ingin bermain kekuasaan di Timur Tengah.

D. Masa Depan Timur Tengah di Era Globalisasi
Dari berbagai penjabaran diatas, pertanyaan utama mengenai prediksi masa depan Timur Tengah di era globalisasi adalah: apakah regional ini pada akhirnya akan meraih perdamaian dan dapat terintegrasi menjadi sebuah regional yang kokoh, baik secara ekonomi maupun politik?
Munurut penulis, justru globalisasi akan mendorong terjadinya konflik dan pergolakan di Timur Tengah sendiri. Pada dasarnya, globalisasi merupakan sebuah produk yang dihasilkan oleh peradaban Barat. Apabila dikaitkan dengan argumen Alan Brinkley, globalisasi yang semakin populer sejak tahun 1970-an memunculkan adanya dukungan dan penolakan dalam prosesnya. Bagi negara-negara non-industrialis, terutama, globalisasi meninggalkan mereka dalam kemiskinan, tereksploitasi dan tertekan dari segala penjuru (Brinkley, 2003: 947). Di Timur Tengah khususnya, globalisasi menciptakan pergolakan, bukan di bidang ekonomi akan tetapi cenderung lebih menjurus ke bidang religi dan kultural. Contoh dari puncak pergolakan tersebut adalah gerakan nasionalisme Islam dalam Revolusi Islam Iran. Revolusi tersebut berefek domino dan menyebar ke negara-negara dengan penduduk Islam lainnya sehingga menimbulkan suatu gelombang fundamentalisme Islam.
Revolusi Islam Iran hanyalah salah satu dari efek globalisasi yang mendorong nasionalisme di Timur Tengah. Manifestasi dari fundamentalisme Islam yang berikutnya adalah melalui gerakan-gerakan terorisme yang dibentuk dari atau melakukan perekrutan di Timur Tengah. Sekalipun gerakan terorisme seperi Al Qayyeda pada dasarnya tidak berdiri diatas nasionalisme tertentu, akan tetapi secara umum bangsa Barat melihat Al Qayyeda sebagai representasi keseluruhan dari Timur Tengah sendiri. Dan tujuan dari Al Qayyeda sendiri merupakan perang melawan Barat yang direpresentasikan oleh AS dan antek-anteknya.
Baik terorisme maupun revolusi Islam, keduanya merupakan fundamentalisme berdasarkan nasionalisme sebagai sebuah reaksi atas globalisasi dan termanifestasi dalam sebuah perang besar melawan dunia Barat pada umumnya dan Amerika Serikat pada khususnya. Hal ini dikarenakan adanya ketidakpuasan terhadap negara-negara Barat terutama AS yang mendukung pemerintahan korup di negara-negara Timur Tengah serta infiltrasi dalam bidang ekonomi-militer di regional Timur Tengah.
Dari penjabaran diatas saja sudah dapat dilihat bahwa globalisasi justru semakin memudahkan invasi politik-militer-ekonomi AS ke Timur Tengah, serta semakin mengobarkan kemarahan negara-negara Timur Tengah baik yang diinvansi maupun yang tetap saja berada dalam jurang kemiskinan dan ketidakstabilan politik dalam era globalisasi sendiri. Memang tidak dapat dipungkiri bahwa globalisasi juga mempopulerkan multikulturalisme yang mungkin bisa dimanfaatkan dalam mereduksi tensi tinggi di regional ini. Akan tetapi dalam prakteknya usaha-usaha diplomasi secara damai selalu saja berlangsung secara alot dan tidak pernah menemui titik akhir. Dalam kasus Israel-Palestina sebagai contohnya, sudah dilaksanakan berbagai perundingan yang juga diprakarsai oleh negara-negara lain termasuk AS. Akan tetapi hingga saat ini gencatan senjata hanya bertahan sesaat saja dan perang bisa melanda kapanpun di kawasan kedua negara.

Daftar Pustaka:
Andersen, Roy R. 1998. Politics and Change in The Middle East. New Jersey: Prentice Hall.
Anonim. http://soc.culture.indonesia/google groups.htm. Diakses tanggal 28 Desember 2008.
Anonim. www.tragedipalestina.com/sejarah.html. Diakses tanggal 22 Desember 2008.
Anonim. www.cmm.or.id/cmm-ind_more.php. Diakses tanggal 10 Januari 2009.
Garaudy, Robert. Israel dan Praktik-Praktik Zionisme. Bandung: Pustaka.1988.
Halim, Abdul Perang Teluk II: Ambisi Global Amerika Serikat; dalam Mahally,. 2003. Membongkar Ambisi Global Amerika Serikat. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan. Hlm 311-414.
Lenczowski, George. 1993. Timur Tengah di Tengah Kancah Dunia. Berkeley: University of California.
Morgenthou, Hans J. Politik Antarbangsa Edisi Revisi. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Sluglett, Peter. "Middle East." Microsoft® Student 2008 [DVD]. Redmond, WA: Microsoft Corporation, 2007.


[1] Peter Sluglett. "Middle East." Microsoft® Student 2008 [DVD]. Redmond, WA: Microsoft Corporation, 2007.
[2] Ibid.
[3]George Lenczowski. 1993. Timur Tengah di Tengah Kancah Dunia. Berkeley: University of California. P 442.
[4] International Relations in Contemporary The Middle East. Page 279.
[5] Mega Savitri A, NIM 070710410.
[6] Abdul Perang Teluk II: Ambisi Global Amerika Serikat; dalam Mahally,. 2003. Membongkar Ambisi Global Amerika Serikat. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan. Hlm 341-356.
[7] Anonim. http://www.pewarta-kabarindonesia.blogspot.com, diakses pada 29 September 2009.