Pengalaman Pertama Saya Naik Pesawat Terbang

Label:
Oke, tulisan saya ini mungkin bisa dianggap sedikit kampungan. Tapi sebagai anak yang terlahir di keluarga kelas menengah, pesawat terbang adalah benda yang selama ini hanya bisa saya lihat di film-film. Atau kalau saya cukup beruntung, saya cukup mendongakkan kepala saya ke langit terbuka dan ada pesawat terbang yang kebetulan lewat (yang biasanya terlihat berukuran mikroskopis). Satu-satunya benda mendekati pesawat yang pernah saya lihat adalah helikopter-helikopter yang dipajang di halaman perusahaan Bapak saya (Gudang Garam TBK, sedikit narsis kalau boleh saya bilang) dan helikopter di salah satu fakultas di ITB (maaf saya lupa fakultasnya karena sudah empat tahun berlalu sejak terakhir saya mengunjungi ITB). Yang terakhir ini saya cukup beruntung untuk melihatnya dari dekat dan memegang-megangnya.

Pengalaman pertama saya naik pesawat terbang terjadi sekitar akhir tahun 2009 lalu. Saya cukup beruntung karena biaya tiket pesawat ditanggung oleh sponsor acara yang saya ikuti. Lebih beruntung lagi karena armada pesawat terbang yang saya naiki berasal dari Belanda. Jadi, sekalipun saya hanya mendapatkan tempat duduk ekonomi, akan tetapi saya mendapatkan salah satu pelayanan ekonomi terbaik dengan standar internasional.

Sungguh, saat-saat saya menaiki badan pesawat terasa hampir tidak nyata. Karena ini adalah penerbangan internasional, untuk memasuki badan pesawat pun berbeda dengan memasuki badan pesawat untuk penerbangan domestik dimana kita harus berlari-lari menghampiri pesawat untuk kemudian berjejal-jejalan naik tangga. Para penumpang pesawat internasional memasuki pesawat dengan semacam penghubung yang mirip terowongan. Serasa memasuki salah satu ruangan lain di bandara. Akan tetapi bedanya di ujung lorong tersebut sudah badan pesawat. Dan ketika saya melangkahkan kaki untuk memasukinya, disambutlah saya dengan para pramugari dan pramugara yang kesemuanya bule-bule Belanda (kalau-kalau ada yang penasaran para pramugari dan pramugaranya keren-keren atau tidak, jawabannya adalah tidak. Dengan kecewa saya mengumumkan bahwa sebagian besar awak pesawat sudah berumur mendekati atau sudah paruh baya).

Saya yang sudah terpisah dengan teman-teman seperjalanan saya sejak antrian masuk ruang tunggu sedikit bingung dengan pembagian tempat duduk pesawat. Ini nomor tempat duduknya yang mana dan letaknya dimana? Siapa yang bisa saya tanya? Aduh, kalau celingak-celinguk begini saya kelihatan kampungan banget gak sih?

Akhirnya saya memberanikan diri bertanya kepada salah satu pramugari yang berwajah ramah. Saya terpaksa mempraktekkan bahasa Inggris karena tidak bisa menggunakan bahasa alternatif yang mereka pahami (Bahasa Belanda). Inti pertanyaan saya adalah, ”Mmm, anu Mbak, maaf, tempat duduk saya ini letaknya dimana ya (sambil menunjukkan tiket)?”
”Ohh, blablabla, wasweswos...” Jawab mbak pramugari yang intinya mengatakan kalau tempat duduk saya ada di belakang, sebelah kiri.

Dengan kepala yang masih bingung (belakang yang mana? Sejauh mana? Di ujung pesawat terus lompat dari jendela? Dan sebenarnya nomor kursinya ada di mana sih?). Saya kembali bertanya sekali lagi, kali ini kepada seorang pramugara. Dia mengatakan hal yang sama dengan pramugari yang sebelumnya saya tanya (masih ke belakaaaaaang lagi nak). Dan ketika saya melanjutkan pencarian saya, barulah saya menyadari kalau nomor tempat duduk tertera di tempat penyimpanan tas yang ada diatas tempat duduk. Oalah... Kali ini saya berhasil menemukan tempat duduk saya dengan selamat.

Karena tiket pesawat dibelikan oleh pihak penyelenggara acara, saya tidak bisa memilih tempat duduk. Sungguh, saya ngiler kepingin sekali mendapatkan tempat duduk di samping jendela. Akan tetapi apa boleh buat, saya mendapatkan tempat duduk di tengah-tengah pesawat. Tapi tidak apa-apa. Toh hari sudah malam dan saya tidak bisa melihat apapun di luar jendela (kecuali mungkin kerlap-kerlip kota Jakarta). Untuk mengalihkan perhatian saya dari masalah jendela, saya melihat-lihat apa saya yang disediakan untuk penumpang kelas bisnis. Ada layar kecil untuk menonton film, main game atau sekadar mendengarkan musik (ukuran layarnya semakin besar sesuai dengan kelasnya). Ada beberapa majalah yang diterbitkan oleh perusahaan pesawat tersebut. Kemudian ada juga peralatan keamanan serta earphone untuk mendengarkan hiburan yang disediakan.

Setelah puas melihat-lihat, saya kemudian berkutat dengan sabuk keamanan karena sebentar lagi pesawat akan lepas landas. Saya sempat sedikit kebingungan. Akan tetapi akhirnya saya bisa juga memasang sabuknya sekalipun harus dibantu oleh orang yang duduk di sebelah saya (salah satu peserta acara yang saya ikuti juga, tapi saya lupa yang mana orangnya). Dan setelah beberapa instruksi dari layar kecil serta pemeriksaan oleh pramugari, akhirnya saya (dalam hal ini pesawat yang saya naiki) lepas landas juga. Untuk pertama kalinya dalam hidup saya, saya benar-benar terbang setinggi awan-awan di langit. Maksudku, namaku Mega dan inilah pertama kalinya aku berdekatan dengan mega yang sesungguhnya.

Setelah pesawat sudah stabil di udara, datanglah sesi yang saya tunggu-tunggu. Acara makan-makan. Yihuuu!!! Kalau saya naik Pesawat Air Asia sebagaimana rencana awal pihak penyelenggara, mungkin saya tidak akan bisa menikmati acara makan-makan. Sebagai pesawat super ekonomi, Air Asia tidak menyediakan fasilitas tersebut secara gratis. Sambil menunggu pramugari/pramugara yang akan melayani kami, saya mengutak-atik layar di depan saya. Sedikit kebingungan (lagi), akan tetapi akhirnya saya bisa menemukan daftar film yang bisa saya tonton. Semuanya film-film baru sekalipun tanpa subtitle. Baguslah, latihan untuk melatih pendengaran saya. -_-”

Saya sedang menonton pembukaan Harry Potter and The Half Blood Prince ketika seorang pramugara akhirnya sampai di barisan saya. Menu makanannya cukup lengkap dengan dessert sekalipun terlihat sekali kalau habis dipanaskan. Saya tidak terlalu mengenali menunya. Kemudian saya menimbang-nimbang ingin minum apa. Saya sempat tergoda ingin mencoba wine yang disediakan. Tapi untunglah saya masih waras dan memilih jus jeruk sebagai gantinya. Akhirnya, setelah semua orang di deretan saya mendapatkan makanan dan minuman sendiri-sendiri, dimulailah acara makan yang sangat saya tunggu-tunggu itu. Maklum, saya belum makan siang dan saat itu sudah lewat waktu makan malam. Sekalipun rasa makanannya sedikit aneh, akan tetapi saya tetap melahapnya dengan rakus.

Dan setelah acara makan-makan selesai sementara Harry Potter baru diputar setengah jalan, tibalah kami di salah satu bandara terkeren di Malaysia (lebih keren daripada Bandara Soekarno-Hatta karena antar bangunan dihubungkan oleh trem. Di bandara Soekarno Hatta pilihannya naik bus, taksi atau jalan kaki). Saat itulah pertama kali saya menginjakkan tanah yang bukan tanah Indonesia.


Still to be continued...

0 komentar:

Post a Comment