Demokrasi di Tangan Persaudaraan Muslim Mesir



Sejak peristiwa 9/11, negara-negara Timur Tengah menjadi pusat perhatian dari dunia internasional, apalagi dalam hal reformasi keagamaan serta prospek pembagian kekuasaan Islam. Mesir merupakan salah satu negara yang mendapatkan perhatian yang cukup besar mengingat negara ini merupakan salah satu negara yang tidak hanya cukup kuat di bidang ekonomi akan tetapi juga di bidang militer. Sebagai negara yang memiliki masyarakat minoritas beragama Kristen dan Katolik, keinginan untuk melakukan reformasi di negara ini pun berhembus semakin kencang, tidak hanya di kalangan minoritas saja, bahkan di kalangan kaum Muslim sendiri.
Membicarakan kemungkinan demokratisasi Mesir, maka kita tidak bisa meninggalkan begitu saja kelompok Islam yang memiliki popularitas yang cukup tinggi di kalangan rakyat Mesir yaitu kelompok Persaudaraan Muslim. Kelompok ini memperoleh sekitar dua puluh persen kursi dalam pemilihan umum yang relatif adil pada tahun 2005. Persaudaraan Muslim sekaligus merupakan sebuah kunci penting yang dapat menentukan masa depan Mesir terutama diantara menjadi bagian dari tatanan demokrasi yang diagung-agungkan oleh Amerika Serikat atau malah menggunakan kesempatan ini untuk melakukan berbagai agenda yang lebih radikal.
Dr. Ibrahim dalam sebuah artikel berjudul “Reclaiming Democracy: The Participation of Muslim Brotherhood in Egyptian Political Life” yang dimuat di al-Hayat tanggal 7 Oktober 2004 menyebutkan bahwa Persaudaraan Muslim memungkinkan untuk melaksanakan pembagian kekuasaan politik sebagaimana sistem demokrasi. Akan tetapi yang menjadi kekhawatiran selanjutnya adalah ketika Persaudaraan Muslim merasa tidak membutuhkan lagi sistem demokrasi tersebut, maka demokrasi akan dibuang begitu saja untuk kembali ke cara-cara lama.
Magdi Khalil kemudian mempertanyakan optimisme Dr. Ibrahim terhadap kemungkinan diadaptasinya sistem demokrasi oleh Persaudaraan Muslim. Selain itu Khalil juga mempertanyakan apa yang bisa diimplementasikan untuk menjadi jaminan bagi sistem institusional dan politik apabila optimisme Dr. Ibrahim tersebut terbukti salah.
Khalil kemudian menjelaskan apa saja alasan-alasan yang mendasari pesimismenya terhadap kemungkinan diimplementasikannya sistem demokrasi oleh Persaudaraan Muslim.

  • Pertama, tidak ada perubahan substansial dalam agenda maupun perilaku kelompok Persaudaraan Muslim. Tujuan utama mereka masih untuk membentuk sebuah negara Islam di Mesir secara khususnya. 
  • Kedua, pada tahun 2004 Persaudaraan Muslim mengeluarkan isu untuk membentuk sebuah negara Islam. Dalam hal ini Persaudaraan Muslim melancarkan misinya untuk membentuk individu Muslim, keluarga Muslim dan hukum Islam untuk mengatur dan memimpin negara-negara Islam lainnya. Lebih lanjut Persaudaraan Islam berusaha mengelaborasikan identitas Islam dalam segala bidang terutama media, ekonomi, politik, edukasi, kesejahteraan sosial, isu-isu perempuan serta budaya. Bahkan perwakilan dari Persaudaraan menampakkan tidak adanya ketertarikan terhadap isu-isu pembangunan nasional dimana mereka telah dipercayakan untuk memperbaikinya.
  • Ketiga, masih banyak terjadi korupsi dan fanatisme yang dapat mendorong terjadinya konflik lain dalam Persaudaraan. Perhatian utama kelompok ini adalah meningkatkan pemasukan finansial untuk mendukung gerakan-gerakan Islam lainnya di seluruh dunia mulai dari Kenya hingga Bosnia. Padahal kelompok-kelompok teroris juga menggunakan dana yang sama untuk mengacaukan keamanan nasional Mesir, mengancam warga negaranya yang non-Islam serta para pengunjung dari negara lain.
  • Keempat, struktur internal Persaudaraan Muslim mengabaikan sistem demokrasi itu sendiri. Organisasi ini bergerak dalam kerahasiaan dengan tidak adanya transparansi, keragaman maupun toleransi.
  • Kelima, organisasi ini telah melakukan kekerasan serta usaha untuk mengambil alih para sekutu politiknya seperti Partai Wassat dan Partai Waft. Cara-cara tersebut nyaris tidak ada bedanya dengan cara-cara yang biasa digunakan oleh Partai Komunis.
Dari penjelasan diatas masih terlihat jelas bahwa Persaudaraan Muslim masih mendukung Islamisme dan ekstrimisme dengan tujuan utamanya menguasai dunia dengan Islam. Sebagaimana yang dikatakan oleh Mustafa Mashur yang dikutip oleh Refaat al-Said bahwa Persaudaraan Muslim akan menerima konsep pluralisme pada saat ini. Akan tetapi, ketika peraturan Islam sudah dimiliki dan ditentukan, Persaudaraan mungkin saja akan menolak konsep tersebut atau malah mungkin saja menerimanya.
Persaudaraan Muslim telah jelas-jelas menolak sekularisme. Padahal di lain pihak Magdi Khalil percaya bahwa untuk melakukan demokratisasi dibutuhkan pula pemben-tukan sebuah masyarakat yang sekular. Sebagaimana yang disebutkan oleh Fareed Zakaria, demokrasi bukan hanya sekedar pemindahan kekuasaan dari militer ke pihak-pihak religius yang bersembunyi di balik topeng palsu keagamaan itu sendiri. Demokrasi merupakan pemindahan kekuasaan ke tangan suara masyarakat umum untuk merepresentasikan kebebasan dalam memilih pemimpin mereka sendiri yang mempercayai adanya sirkulasi kekuasaan, kebebasan serta nilai-nilai hidup manusia. Persaudaraan Muslim memang menggembar-gemborkan pemilihan umum. Akan tetapi masyarakat demokratis yang bebas bukan hanya berdasarkan sebuah pemilihan umum yang jujur dan adil saja melainkan hanya salah satu diantara syarat-syarat lainnya. Oleh karena itu, nyaris tidak mungkin untuk berasumsi bahwa partai-partai Islam seperti Persaudaraan Muslim mau menerima nilai-nilai demokratis serta masyarakat yang liberal mengingat keduanya sangat bertolak belakang.

Opini
Dari penjabaran diatas dapat dilihat bahwa Magdi Khalil sangat pesimis dengan perkembangan demokrasi di tangan kelompok Persaudaraan Muslim. Argumen-argumen Khalil terasa sangat menyudutkan namun tidak terlalu memberikan solusi untuk mengintegrasikan Islam dengan demokrasi itu sendiri tanpa menimbulkan bentrokan-bentrokan yang tidak diinginkan. Bagaimanapun juga, pemerintahan adalah segala sesuatu mengenai rakyatnya, oleh karena itu, ketika keinginan untuk melakukan demokrasi dengan selayaknya semakin berkumandang tidak hanya di kalangan minoritas saja akan tetapi juga di kalangan masyarakat pada umumnya, maka akan sulit bagi Persaudaraan Muslim untuk mengabaikan begitu saja.
Satu hal lagi yang perlu diingat: apabila rakyat Mesir memang tidak menginginkan demokrasi, untuk apa terus memaksakan implementasi sistem demokrasi itu sendiri? Dari penggambaran Khalil, demokrasi seolah mutlak dibutuhkan oleh semua negara. Akan tetapi apakah memang benar adanya. Dari praktek-praktek yang selama ini sudah berlangsung di negara-negara Timur Tengah, demokrasi memang tidak bisa diimplementasikan secara penuh mengingat demokrasi itu sendiri cenderung bertentangan dengan sifat dan cara pikir masyarakat Arab pada umumnya.

Sumber:

Khalil, Magdi. 2006. “Egypt’s Muslim Brotherhood and Political Power: Would Democracy Survive?”. MERIA Vol 10 No.1. Gloria Center.

0 komentar:

Post a Comment