Perbandingan Kebijakan Luar Negeri Era Gus Dur dengan SBY

Label: , , ,
Pembuatan keputusan merupakan titik awal untuk memahami dilema tindakan dalam sistem internasional. Sementara itu yang disebut dengan kebijakan luar negeri merupakan strategi atau rencana tindakan yang dirancang oleh para pembuatan keputusan dalam suatu negara untuk menghadapi negara atau unit politik internasional lainnya. Proses pembuatan keputusan ini bertujuan untuk mencapai kepentingan nasional spesifik dalam terminologi kepentingan nasional.
Kebijakan luar negeri suatu negara pada umumnya selalu mengalami perubahan tergantung oleh pemegang tampuk kekuasaan. Indonesia, sebagai contohnya, memiliki ciri khas politik luar negeri yang berbeda antara pemimpin yang satu dengan lainnya seperti era Soeharto yang berkebalikan nyaris 180 derajat dengan kebijakan Soekano. Hal yang sama juga terjadi dengan pemerintahan Gus Dur yang memiliki ciri khas berbeda dengan SBY.
Menurut Menlu Alwi Shihab, Gus Dur memperkenalkan setidaknya tiga elemen politik luar negeri selama masa pemerintahannya. Pertama adalah menjaga jarak sama dengan semua negara. Kedua, hidup bertetangga dengan baik. Terakhir, melaksanakan ”kebajikan universal”. Apabila dijabarkan, Gus Dur pada dasarnya memiliki tipe politik luar negeri yang sangat intensif dimana beliau memiliki keterlibatan yang sangat tinggi dalam pelaksanaannya. Hal ini ditandai dengan kunjungan-kunjungan Gus Dur ke semua mitra ekonomi Indonesia di empat benua, hanya dalam tempo tiga bulan saja. Hal tersebut dilakukan demi melakukan pemulihan perekonomian Indonesia pasca krisis ekonomi Asia 1997-1998 dan menstimulus aliran investasi.
Salah satu ciri khas lain dari politik luar negeri era Gus Dur adalah proses perumusan politik luar negerinya yang berpola "arus-balik". Apabila presiden-presiden RI yang sebelumnya selalu merumuskan kebijakan luar negeri terlebih dahulu sebelum melakukan diplomasinya, maka Gus Dur justru menjaring terlebih dahulu opini dunia atas konsep kebijakan melalui diplomasi baru kemudian melakukan perumusan platform politik luar negerinya. Tipe berdiplomasi seperti ini sangat sesuai dengan karakter Gus Dur serta legitimasi, kapabilitas dan talenta personal berdiplomasinya yang memang memiliki karakter unik.
Sebenarnya, apabila melihat latar belakang Gus Dur yang sangat kental nuansa keagamaannya, penulis cenderung berekspektasi bahwa Gus Dur akan menjadi seorang pemimpin yang sangat konservatif dan membuat sistem pemerintahan yang sarat akan nilai-nilai keagamaan. Akan tetapi dalam kenyataannya Gus Dur dapat mengejutkan berbagai pihak dengan tipe kepemimpinan serta pelaksanaan kebijakan luar negeri yang sangat moderat bahkan cenderung berpikiran terbuka. Sebagai contohnya, Gus Dur merupakan satu-satunya presiden yang mengupayakan membuka kerjasama dengan Israel, suatu hal yang mungkin tidak akan pernah berani diungkapkan oleh presiden-presiden RI lainnya. Beliau juga berusaha untuk kembali membuat poros kekuatan di Asia, suatu hal yang hanya dilakukan oleh Presiden Soekarno. Dalam pemerintahannya yang sangat singkat, upaya-upaya yang dilakukan oleh beliau tidak dapat berhasil sepenuhnya. Akan tetapi kharisma, semangat, keberanian, pemikiran dan tindakan-tindakan beliau yang unik dapat membangkitkan kembali semangat bangsa Indonesia dari keterpurukan pasca runtuhnya Orde Baru.
Berbeda dengan Gus Dur, politik luar negeri era Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) ditandai dengan berbagai usaha dan inisiatif Indonesia untuk menjembatani pihak-pihak yang sedang bermasalah; pembentukan kemitraan-kemitraan strategis dengan negara-negara lain seperti Jepang, China, India, dll; peningkatan kemampuan adaptasi Indonesia terhadap perubahan-perubahan domestik maupun di luar negeri; cenderung pragmatis kreatif dan opportunis yang berarti bahwa Indonesia akan mencoba menjalin hubungan dengan siapa saja yang bisa membantu dan menguntungkan bagi Indonesia dan; membangun kepercayaan dunia Internasional. Apabila diringkas, visi strategis Indonesia di era globalisasi adalah menempuh ”all directions foreign policy”, dimana Indonesia berusaha menjalin hubungan persahabatan dengan pihak manapun yang menguntungkan kepentingan nasional tanpa mempedulikan Timur, Barat, Utara, ataupun Selatan. Diplomasi Indonesia ala SBY ini digambarkan melalui sebuah istilah yang disebut dengan ”sejuta kawan, dan tak ada musuh” atau a million friends, zero enemy.
Untuk seorang presiden yang memiliki latar belakang militer yang sangat kental seperti mantan Presiden RI Soeharto, sempat muncul kekhawatiran bahwa SBY akan menjadi diktator RI yang selanjutnya. Akan tetapi kenyataan yang terjadi SBY justru menjadi salah satu Presiden RI yang terkenal dengan kelembekannya. Dalam kasus pertikaian Indonesia-Malaysia yang sedang marak diberitakan saat ini, Indonesia terkesan sedikit terinjak-injak oleh tetangga mudanya itu. Akan tetapi respon yang diberikan pemerintah hanya berupa usaha-usaha perundingan diplomatis (salah satu praktek ’a million friends, zero enemy’) yang sama sekali tidak memuaskan rakyat Indonesia pada umumnya, termasuk penulis sendiri. Dalam hal ini, penulis melihat bahwa kelemahan utama dari politik luar negeri SBY adalah kecenderungan lamban, kurang tegas dan terlalu berhati-hati tanpa berani mengambil posisi dalam suatu permasalahan atau konflik internasional tertentu.
Diantara politik luar negeri Gus Dur dan SBY sebenarnya terdapat suatu garis kesamaan dimana kedua Presiden RI tersebut sama-sama menekankan pentingnya menjalin hubungan kerjasama yang baik kepada semua pihak, baik kawan maupun lawan. Akan tetapi perbedaan utama dari keduanya adalah implementasi kebijakan luar negeri masing-masing, dimana Gus Dur cenderung lebih tegas dan tidak bersedia disinggung harga dirinya. Sebagai contohnya adalah kemarahan Dus Dur setelah Menteri Senior Lee Kuan Yew menolak permintaan Gus Dur agar Singapura menyetujui pembentukan Forum Pasifik Barat dalam KTT ASEAN di Singapura, November 2000. Kemarahan Gus Dur tersebut sempat membuat Singapura gempar. Hal ini berbeda sekali dengan politik luar negeri SBY yang terlalu berhati-hati, yang menolak menyinggung Malaysia karena banyak TKI yang bekerja di sana. Padahal kalau semua TKI ditarik dari Malaysia, dapat dipastikan bahwa gerak perekonomian Malaysia pasti terhambat. Namun kenyataan tersebut tidak dimanfaatkan sebaik-baiknya oleh Indonesia dalam mempertegas posisinya, terutama dalam perundingan yang baru-baru ini dilaksanakan di Sinabug.


Sumber:
Drajat, Ben Perkasa. 2000. Diplomasi Luar Negeri Ala Gus Dur. Diakses dari http://www.kompas.com/kompas-cetak/0002/11/opini/dipl04.htm pada tanggal 6 Oktober 2010.
Gultom, Andi. 2010. SBY: Di Era Globalisasi, Indonesia Harus Mendunia. Diakses dari http://www.rakyatmerdeka.co.id/news.php?id=1305 pada tanggal 6 Oktober 2010.
Plano, Jack C. and Roy Olton. 1982. The International Relation Dictionary. England: Cho Press Ltd. Pp 5-6.
Shambazy, Budiarto. 2010. Politik Luar Negeri Gus Dur. Diakses dari www.infoanda.com pada tanggal 6 Oktober 2010.

0 komentar:

Post a Comment