Regionalisme Afrika

Label: , , , ,
Pemikiran mengenai regionalisme dalam artikel Daniel Bach merupakan suatu bentuk dari berbagai ideologi, program, kebijakan dan hasil akhir yang berusaha untuk mengubah atau mengidentifikasi jarak sosial ke sebuah proyek regional. Oleh karena itu, regionalisme termasuk konstruksi identitas sebagai lawan formasinya. Di lain pihak, regionalisasi merupakan proses dan hasil akhir dari proyek sub nasional yang menerima sasaran yang ditetapkan. Regionalisasi dapat juga diartikan sebagai situasi dimana keregionan tumbuh dengan bebas dari strategi regionalis yang dapat diidentifikasi. Dalam hal ini, regionalisasi merupakan hasil akhir dari tingkah laku para agen (jaringan perdagangan, korporasi miltinasional) yang aktivitasnya berkontribusi secara de facto dalam formasi regional sekalipun tidak termotifasi oleh proyek para regionalis.

Regionalisme di Afrika diawali dari gerakan pan-Afrika pada pergantian abad keduapuluh. Pada masa perang dunia kedua, objek pergerakan tersebut menjadi lebih terfokus pada isu-isu kolonialisasi dan dominasi oleh para kulit putih. Pada tahun 1963 terbentuk Organisation of African Unity (OAU) yang diadopsi dari piagam Addis Ababa. Organisasi ini mengajak negara-negara merdeka untuk bergabung dan berjuang demi kebebasan atas kolonialisme dan apartheid. OAU memberikan bentuk dasar dari komunitas khayalan di region Afrika.


OAU memiliki kapasitas dalam menyelesaikan konflik yang muncul pasca Perang Dingin dan kolonialisme. Contohnya adalah masalah batas teritorial yang menimbulkan konflik-konflik di Rwanda, Uganda, Kongo. OAU juga memiliki fungsi bagi anggotanya yaitu memberikan jaminan non intervensi pada masalah internal negara anggota. Akan tetapi jaminan non intervensi tersebut malah mendorong terbentuknya suatu rezim yang menidas rakyat di negara-negara Afrika. Munculnya rezim tersebut memicu pembentukan African Unity (AU) pada 9 Agustus 2002 yang membahas masalah keamanan, pengembangan ekonomi, dan kestabilan di wilayah Afrika.

New Partnership for Africa’s Development (NEPAD) kemudian muncul sebagai bentuk regionalisme baru yang merefleksikan kekecewaan rakyat Afrika Selatan terhadap klaim Presiden Thabo Mbeki yang menggunakan pan-Afrika sebagai alat strategi politik. NEPAD kemudian mendorong perdagangan internasional di wilayah Afrika dan membuka peluang peningkatan investasi dan pertumbuhan ekonomi.

Pada era globalisasi masa kini, Afrika merupakan benua yang paling tertinggal di dunia. Di Sub-Sahara Afrika, 37 dari 48 negara yang ada merupakan negara-negara berpenghasilan rendah, dengan pendapatan perkapita dibawah $785. Oleh karena itu, Afrika otomatis juga paling terakhir terkena dampak dari ketidakstabilan arsitektur finansial dunia.

Regionalisme di Afrika pasca perang dingin sangat mengecewakan karena sektor formal perdagangan regional gagal untuk tumbuh melampaui level global. Akan tetapi pertukaran sektor informal Afrika terus berkembang sebagai respon atas batasan level formal dari yang familiar ke bentuk hambatan non-tarif spesifik. Terdapat beberapa pengelompokan perdagangan resmi antar pemerintahan, yaitu Common Market of Eastern and Southern Africa (COMESA), the Economic Community of West African States (ECOWAS), the Southern African Development Community (SADC), African Economic Community (AEC), dan sebagainya.

Pasca perang dingin, konlik regional dan internal tumbuh dan menyebar di Afrika menyebabkan keguncangan dalam stabilitas dan keamanan regional dan benua terutama dalam istilah keamanan manusia. Pada dasarnya hampir semua konflik di Afrika merupakan konflik internal. Namun seiring dengan sejalannya waktu, konflik internal tersebut meluas dan berkembang menjadi konflik regional.

Alternatif bentuk regionalisme untuk Afrika ditawarkan oleh Timothy Shaw yaitu regionalisme pada level meso. Regionalisme meso melihat analisis struktur trilateral yang meliputi negara, korporasi dan komunitas. Shaw melihat regionalisme di Afrika sebagai regionalisme informal dengan korporasi dan komunitas sebagai penggerak utama regionalisme tersebut. Terdapat beberapa indikator yang digunakan dalam analisis ini yaitu; isu-isu area, tingkat integrasi dan diversifikasi aktor.

Shaw juga memandang jaringan transnasional dan institusi regional formal tidak harus selalu bertentangan hanya karena membahas isu-isu yang berbeda. Sebagai contoh, negara dan NGOs dapat memiliki hubungan timbal balik dalam lingkup demokrasi, sekalipun NGO sendiri terkadang memiliki otonomi kebijakan sendiri yang terpisah dengan kebijakan pemerintah.

Kesimpulan yang dapat diambil, perspektif regional baru di benua ini memegang janji untuk sejumlah overlapping dalam berbagai disiplin dan debat-debat, termasuk dalam:
a. Ilmu politik yang membutuhkan pemeriksaan ulang asumsi-asumsi mengenai segitiga antara negara, ekonomi dan hubungan masyarakat.
b. Regionalisme baru bersikap menantang terhadap hubungan internasional atau kebijakan luar negeri yang tidak lagi berupa monopoli negara akan tetapi juga aktor non-negara seperti NGOs.
c. Pembelajaran mengenai keamanan harus dimulai untuk melebihi negara-sentris dan asumsi bipolar, tidak hanya dalam teori akan tetapi juga pada prakteknya.
d. Ekonomi poitik internasional harus dimulai untuk mencegah kehancuran dan rekonstruksi selama produksi dan teknologi baru sebagai suatu bentuk perekonomian baru memiliki bentuk yang berbeda di Afrika Selatan.

Afrika sebagai benua dengan mayoritas negara yang tergabung di dalamnya adalah negara terbelakang mengalami pertumbuhan dalam segi ekonomi secara perlahan tapi pasti. Saat ini perekonomian di Afrika sedang mengalami pertumbuhan sebesar 5,4% setingkat dengan pertumbuhan global. Sejumlah negara di Afrika bahkan menunjukkan pertumbuhan ekonomi setingkat dengan negara-negara berkembang dan ada juga yang menunjukkan angka pertumbuhan ekonomi melebihi beberapa negara maju.

Akan tetapi pertumbuhan perekonomian yang tidak merata dan hanya didominasi oleh negara-negara pengekspor minyak seperti Afrika Selatan dan Nigeria dapat menyebabkan perpecahan dalam regional yang sudah rentan tersebut. Selain itu kondisi Afrika sub Sahara yang tidak stabil dapat mengganggu aliran investasi. Infrastruktur yang tidak memadai dan biaya ekspor dari Afrika yang mahal juga dapat mengganggu pertumbuhan ekonomi regional tersebut. Apabila hal-hal tersebut tidak segera diatasi, maka pertumbuhan ekonomi antara negara kaya di Afrika dengan negara miskin akan semakin melebar sementara pertumbuhan ekonomi regional akan semakin menurun.

Selain itu, Afrika juga harus berhenti mengadaptasi bentuk kerjasama regionalisme seperti yang diterapkan di Eropa. Adaptasi tersebut terjadi karena Afrika pernah menjadi koloni negara-negara di Eropa sehingga secara tidak langsung masyarakat di Afrika mengadaptasi nilai-nilai di Eropa. Kondisi perekonomian, perpolitikan maupun geografis di kedua negara tersebut berbeda jauh sehingga implementasi regionalisme di Eropa belum tentu dapat sesuai dan berhasil diterapkan di Afrika. Untuk membentuk regionalisme di Afrika yang stabil dan terus meningkat, Afrika harus berusaha memanfaatkan sumber daya yang ada di Afrika seperti minyak bumi dan berbagai mineral untuk selanjutnya dimanfaatkan semaksimal mungkin dengan memperhatikan berbagai aspek geografis dan ekonomis.


Sources:
Shaw,Timothy M.,2000,’New Regionalisms in Afrika in the New Millenium : Comparative Perspective on Renaissance, Realisms and / or Regressions’,in New Political Economy,Vol.5,No.3
Bach, Daniel. 2003. ’The Global Politics of Regionalism:Afrika’, in Farrel,Mary,et al, Global Politics of Regionalism. Pluto Press: London.

0 komentar:

Post a Comment