Demokrasi dan Globalisasi

Saat ini, ide mengenai demokrasi merupakan ide yang mendominasi dalam pembentukan organisasi politik nasional negara-negara di dunia. Tidak hanya di negara-negara Barat seperti AS dan negara-negara Eropa saja, akan tetapi turut menyebar hingga ke Amerika Latin, Asia dan Afrika. Proses dan prosedur demokrasi yang sedang berlangsung di dunia menyebabkan perubahan jumlah negara-negara otoritarian yang cukup mencolok dalam beberapa dekade terakhir ini. Apabila pada pertengahan 1970-an jumlah negara-negara otoritarian mendominasi sekitar dua pertiga dari keseluruhan negara-negara di dunia, saat ini jumlahnya menurun drastis hingga hanya tersisa kurang dari sepertiganya (Held, 1991).
Berbeda dengan masalah demokrasi, tidak ada yang baru dalam permasalahan global kecuali bahwa konflik antara Timur dan Barat telah berakhir. Sebagai gantinya isu-isu global dan regional menepati agenda utama dalam perpolitikan internasional. Saat ini, dengan adanya pertumbuhan yang cepat dari interkoneksi dan interrelasi antara negara dan masyarakat yang bersifat cenderung kompleks, muncul tantangan terhadap demokrasi dalam batas-batas negara. Selain itu juga terdapat pertanyaan penting mengenai apakah negara bangsa sendiri masih bisa menjadi sumber pemikiran mengenai demokrasi. Untuk menjawab pertanyaan ini, pertama-tama harus dipahami mengenai sifat dasar dari globalisasi itu sendiri.
Globalisasi paling baik dipahami sebagai fenomena spasial dimana di satu sisi diawali dari ‘lokal’, yang kemudian diakhiri dengan ‘global’ di ujung yang lainnya. Hal ini menggambarkan perubahan dalam pola aktivitas maupun organisasional manusia yang menjadi transkontinental atau transregional, dimana aktivitas harian manusia bisa dipengaruhi oleh peristiwa-peristiwa yang terjadi di belahan bumi yang lain. Jadi, pada dasarnya globalisasi merupakan fenomena multidimensional yang meliputi domain aktivitas dan interaksi yang beraneka ragam, termasuk ekonomi, militer, budaya, sosial, politik, lingkungan dan sebagainya.
Kembali ke demokrasi, transformasi sifat alami dan prospek dari komunitas politik demokratis di era globaliasi sendiri meliputi beberapa hal. Pertama adalah efektivitas kekuatan politik yang tidak lagi sepenuhnya berada di tangan pemerintah, akan tetapi dibagi dan menyebar ke agensi-agensi dalam level nasional, regional maupun internasional. Kedua, ide mengenai nasib komunitas politik tidak lagi semata terletak dalam batas-batas satu negara saja. Ketiga, operasi negara-negara dalam sistem regional dan global yang semakin kompleks memiliki pengaruh terhadap otonomi maupun kedaulatan negara sendiri. Perubahan tersebut terutama dalam keseimbangan harga dan keuntungan dari sebuah kebijakan maupun perubahan dalam keseimbangan kerangka kerja nasional, regional dan internasional. Keempat adalah masalah perbatasan negara yang banyak mewarnai abad ke-21. Dalam era dimana para aktor-aktor transnasional selalu melakukan perpindahan antar batas-batas negara, setiap keputusan dan kebijakan negara mengenai perbatasan tidak hanya mempengaruhi rakyatnya semata, akan tetapi juga rakyat dari negara-negara lain. Dari keempat sifat demokrasi ini dapat dipahami kalau tatanan demokratis di era globalisasi tidak bisa dipahami dalam lingkup sempit negara bangsa atau suatu komunitas tertutup saja, terutama ketika dunia sudah terinterkoneksi dalam intensitas maupun ekstensitas yang melewati batas-batas suatu negara.
Dari penjabaran diatas dapat dipahami bahwa ada beberapa alasan untuk merasa pesimis terhadap demokrasi. Sebagai contohnya, ketika unit politik esensial di dunia masih berdasarkan negara bangsa, akan tetapi kekuatan sosiopolitik terbesar justru sudah melepaskan diri dari batas-batas unit tersebut. Pada saat yang bersamaan, muncul bentuk-bentuk fundamentalisme baru yang berusaha menonjolkan superioritas agama, budaya atau kekuatan politik tertentu. Lalu, apakah ini menandakan kematian dari demokrasi itu sendiri? David Held justru berargumen kalau prospek demokrasi di era globalisasi masih sangatlah besar. Berdasarkan perbandingan historis Eropa abad 16 dan 17, saat itu Eropa ditandai dengan konflik sipil, sementara keinginan untuk memisahkan dari pemimpin dengan yang dipimpin, atau bahkan memisahkan diri dari gereja tampak sebagai suatu hal yang nyaris tidak mungkin. Akan tetapi kenyataan yang terjadi 200 tahun kemudian, sebuah konsep perpolitikan baru telah diperkenalkan di Eropa yang berdasarkan kepada konsep baru dari negara, yang kemudian mengarah kepada pembentukan Uni Eropa. Held melihat bahwa era transisi yang sedang berlangsung saat ini merupakan sebuah pengulangan dari transisi yang pernah berlangsung di Eropa.
Demokrasi kosmopolitan merupakan posibilitas yang paling tepat untuk menggambarkan masa depan dari demokrasi itu sendiri. Demokrasi kosmopolitan pada dasarnya meliputi pembentukan kapasitas administratif dan sumber politik yang independen, baik dalam level regional maupun dalam level global, sebagai komplemen dari perpolitikan nasional. Selain itu juga harus dilakukan penguatan kapasitas maupun akuntabilitas dari organisasi-organisasi regional seperti Uni Eropa, dan juga organisasi internasional seperti PBB. Apabila disimpulkan, maka demokrasi kosmopolitan adalah usaha untuk membentuk dan menguatkan organisasi regional dan global dalam rangka melengkapi level nasional. Dengan ini, pengakuan dan signifikansi negara-bangsa akan dapat tetap terjaga


Referensi:
Held, David. 1991. ‘Democracy and Globalization’ dalam buku ‘Alternatives’ Vol 16, No 2. Pp 201-208.

0 komentar:

Post a Comment