Pembangunan, Kolonialisme dan Lingkungan

Kolonialisme yang dilakukan oleh negara-negara Barat hingga saat ini masih meninggalkan jejak di negara-negara yang dahulu pernah menjadi jajahannya. Negara-negara bekas koloni tersebut—mayoritas berada di wilayah Afrika, Asia dan Amerika Selatan—cenderung merupakan negara-negara agraris dengan struktur politik dan patriarkal tradisional. Akan tetapi yang menjadi masalah di sini bukanlah mengenai bentuk agraris atau ketradisionalan itu sendiri. Implikasi dari masa penjajahan di masa lampau memiliki keterkaitan erat dengan perkembangan pengetahuan, lingkungan, serta masalah kenegaraaan di negara-negara tersebut—yang menyebabkan negara-negara bekas jajahan sulit untuk menjadi independen dan mengembangkan diri secara optimal. Dalam tulisan ini saya akan lebih memfokuskan kepada Afrika yang merupakan sampel paling sesuai untuk menjelaskan korelasi diatas.
Afrika, sebagai negara yang memiliki keragaman biodiversitas dalam ekosistem yang variatif, justru merupakan benua yang terkenal akan berbagai masalah sosial-ekonominya. Negara-negara di Afrika dan masyarakatnya menghadapi masalah ketidakpastian masa depan karena adanya deteriorasi lingkungan yang sangat cepat, minimnya akses ke air bersih, ketimpangan dalam memanajemen SDA, perang, instabilitas politik, peningkatan jumlah penduduk yang tidak terkendali, dan berbagai masalah lainnya.
Hubungan antara lingkungan dan teknologi di rezim-rezim bekas jajahan di Afrika dapat dipahami dalam dua aspek. Pertama, teknologi inovasi memiliki keuntungan yang masih dipertanyakan bagi negara-negara tersebut. Teknologi agrikultural memang memungkinkan negara-negara Afrika untuk mengatasi masalah kelaparan, akan tetapi elektrifikasi daerah-daerah pedesaan malah cenderung menimbulkan perubahan lingkungan dan kekacauan sosial. Pembangunan stasiun-stasiun hydropower, sebagai contohnya, seringkali menyebabkan relokasi sebagian atau keseluruhan komunitas masyarakat dan menghilangkan kesuburan tanah setempat.
Kedua, negara-negara bekas koloni mayoritas cenderung masih lemah, memiliki pemerintahan yang tidak terlalu transparan, serta ekonomi dan perpolitikan yang terselubung. Birokrasinya tidak memiliki kekuatan atau pengaruh yang cukup terhadap kapital mereka sendiri. Negara-negara seperti ini tidak mampu mengumpulkan data-data jangka panjang yang diperlukan untuk proyek-proyek pembangunan seperti dam air dan sejenisnya. Keadaan ini menyebabkan negara-negara Afrika rentan diintervensi oleh negara-negara besar yang memiliki keunggulan teknologi dan kapital, terutama oleh negara-negara yang menawarkan bantuan-bantuan keuangan dan teknologi. Kondisi tersebut menjelaskan trend negara-negara di Afrika dimana penduduk maupun lingkungannya tetap saja miskin kalau otoritas negara masih lemah. Sekalipun negara-negara Afrika terus mengejar pembangunan, modernisasi dan urbanisasi, tanpa adanya pembuatan kebijakan finansial, legal dan institusi-institusi regulator yang memadai untuk mendukung perubahan yang dibawa oleh inovasi-inovasi teknologi, tetap saja tujuan-tujuan tersebut tidak akan terwujud.
Lalu, siapa atau apa yang harus disalahkan terhadap timbulnya berbagai permasalahan diatas?
Teknologi yang dibawa oleh negara-negara industri lah yang mendorong permasalahan diatas semakin melebar dan bukannya semakin terselesaikan, sekaligus merupakan alat yang mendukung neo-imperialisme di bawah kekuasaan MNCs. Teknologi merupakan suatu hal yang tidak dimiliki oleh negara-negara bekas jajahan, yang kemudian dijadikan alat tawar oleh negara-negara industrialis demi keuntungan mereka sendiri. Negara-negara industrialis menawarkan teknologi dan berbagai proyek-proyek asistensi untuk mengatasi berbagai permasalahan di Afrika, termasuk masalah pangan. Akan tetapi apakah teknologi dan proyek-proyek tersebut benar-benar bisa mengatasi permasalahan-permasalahan Afrika?
Jawabannya adalah tidak.
Para analis melihat bahwa teknologi yang diperkenalkan kepada negara-negara berkembang tidak menyelesaikan permasalahan negara-negara tersebut, justru meningkatkan dependensi. Negara-negara Afrika, misalnya, tidak memiliki SDM yang berkemampuan untuk membangkitkan, beradaptasi dan menggunakan teknologi itu sendiri, sementara di lain pihak teknologi memiliki biaya kapitas yang sangat tinggi, hanya menguntungkan pihak-pihak tertentu saja, dan menyebabkan pergolakan sosial, ekonomi maupun lingkungan dalam proses adaptasinya.
Lalu, apa sebenarnya solusi yang paling baik bagi negara-negara maju untuk membantu negara-negara berkembang? Mengubah gaya hidup tradisional secara drastis telah terbukti tidak menjawab permasalahan yang ada, justru semakin memperburuk situasi.
Josephson sendiri berargumen bahwa negara-negara maju harus memformat bantuan yang akan diberikan dalam bentuk yang mudah diadaptasi oleh negara-negara berkembang yang masih belum siap menerima teknologi negara-negara maju secara keseluruhan. Contohnya, bantuan teknologi obat-obatan dengan harga murah, terutama untuk AIDS, nyaris tidak terlalu diperhatikan atau bahkan disertakan dalam paket-paket bantuan yang diberikan negara maju. Padahal teknologi obat-obatan justru sangat dibutuhkan oleh sebagian besar warga Afrika yang rentan oleh penyakit ini.
Solusi lain, sekaligus merupakan yang paling potensial dalam mengatasi masalah ini, adalah mengubah fokus negara-negara industri yang memberikan asistensi keuangan ke bidang ilmu pengetahuan dan pendidikan. Bantuan di bidang edukasi ini memberikan kesempatan bagi para penduduk setempat untuk membangun institusi-institusi iptek milik mereka sendiri dan menciptakan teknologi yang lebih sesuai dan ramah lingkungan bagi masyarakat setempat. Dengan solusi ini, negara-negara bekas jajahan tidak lagi hanya terfokus untuk mengejar dan berusaha mengimplementasikan teknologi negara-negara maju yang belum tentu sesuai untuk mereka, akan tetapi berusaha mengembangkan potensi mereka sendiri dalam penciptaan teknologi sekaligus dalam membenahi moral masyarakatnya yang cenderung koruptif.


Referensi:
Josephson, Paul R. Development, Colonialism and The Environment.

0 komentar:

Post a Comment