Geopolitik dan Geostrategi Timur Tengah



A. Situasi Geopolitik dan Geostrategi Timur Tengah
Timur Tengah merupakan kawasan yang terletak di barat daya Asia dan timur laut Afrika. Istilah Timur Tengah sendiri merupakan sebuah istilah geopolitik yang diperkenalkan oleh Alfred T. Mahan, seorang pasukan angkatan laut Amerika Serikat. Istilah yang pertama kali digunakan pada tahun 1902 ini pada awalnya digunakan untuk menjelaskan wilayah Asia yang terletak di sebelah selatan Laut Hitam, diantara Laut Mediterania di sebelah barat dan India di sebelah timur. Saat ini, pusat wilayah Timur Tengah saat ini sendiri meliputi daratan diantara Laut Mediterania dan Teluk Persia dan wilayah yang memanjang dari Anatolia, Jazirah Arab hingga Semenanjung Sinai. Dalam definisi Timur Tengah yang lebih modern, wilayah ini meliputi Bahrain, Siprus, Mesir, Turki, Iran, Irak, Palestina, Yordania, Lebanon, Oman, Qatar, Arab Saudi, Suriah, Uni Emirat Arab, Yaman dan Palestina. Dalam pengertian yang lebih luas, yang termasuk di dalamnya adalah negara-negara Islam, Timur Tengah juga meliputi Moroko, Algeria, Tunisia, Libia, Sudan, Afghanistan, dan Pakistan.[1] Kawasan Timur Tengah memiliki keunikan geografis tersendiri dengan letaknya yang diantara Eropa, Asia dan Afrika serta memiliki jalur-jalur strategis seperti Selat Bosphorus yang menghubungkan Laut Mediterania dengan Laut Hitam dan Terusan Suez yang menghubungkan Laut mediterania dengan Laut Merah.
Kondisi geografis dari Timur Tengah kebanyakan merupakan wilayah-wilayah yang gersang, musim panas yang kering serta musim dingin. Beberapa sungai besar seperti Nil, Eufrat, Jordan dan Tigris menjadi sumber kehidupan dan irigasi bagi beberapa negara sekaligus. Hal inilah yang kemudian menjadi konflik antara beberapa negara Timur Tengah yang memperebutkan kontrol atas sumber air. Contohnya adalah masalah pertikaian atas Sungai Eufrat antara Turki, Siria dan Irak. Ketiga negara tersebut semuanya sangat bergantung kepada aliran Sungai Eufrat untuk memenuhi kebutuhan hidup penduduknya. Turki yang memiliki hulu sungai Eufrat mengambil keuntungan atas letak geografisnya dengan membangun dua buah dam besar untuk tenaga listrik di Sungai Eufrat. Akibatnya, aliran air ke Siria berkurang dengan dengan drastis. Siria kemudian membangun dam yang akhirnya mereduksi aliran air ke Irak. Sebagai akibatnya, Irak yang mengalami kekurangan air yang mempengaruhi ke bidang agrikulturnya. Kondisi ini menunjukkan posisi strategis Turki atas Siria serta Siria akan Turki berkaitan dengan sumber daya air. Akan tetapi sebagai akibatnya perang nyaris pecah diantara Siria dan Turki pada tahun 1975.
Sekalipun wilayah ini terkenal dengan wilayahnya yang bergurun-gurun dan sangat minim sumber air, akan tetapi Timur Tengah juga terkenal sebagai wilayah yang memiliki kekayaan minyak alam yang sangat melimpah. Menurut Sluglett, kawasan Timur Tengah merupakan penampung dari 65% cadangan minyak dunia. Beberapa negara Timur Tengah seperti Mesir, Iran, Irak, Kuwait maupun Arab Saudi menjadi sangat kaya raya berkat persediaan minyaknya tersebut. Sementara itu Qatar, Oman dan Bahrain juga merupakan negara-negara yang memiliki pertambangan minyak bumi serta industri-industri yang berkaitan dengan minyak bumi sebagai penyangga ekonominya. Bahkan, berkat kekayaan minyak buminyalah, Timur Tengah menjadi wilayah incaran negara-negara besar di seluruh dunia, termasuk AS dan China. Keuntungannya, beberapa negara yang memiliki sumber minyak dapat memanfaatkannya sebagai bargaining power dalam menghadapi negara-negara Barat. Arab Saudi sebagai contohnya mendapatkan bantuan ekonomi sekaligus dukungan politik dari AS sebagai ganti dari minyaknya. Akan tetapi di lain pihak sumber daya minyak juga menyebabkan negara rentan akan invasi politik maupun militer dari Barat seperti yang terjadi di Iran dan Irak.

B. Sifat alami Perpolitikan Timur Tengah dalam Lingkup Sejarah dan Geografi
Sejarah Perkembangan Timur Tengah
Peradaban di Timur Tengah tumbuh di lembah-lembah sungai Nil, Tigris dan Eufrat, yang kemudian dikenal sebagai Peradaban Mesopotamia. Di wilayah ini pulalah kemudian Peradaban Mesir mulai tumbuh dan berkembang sejak 3000 SM. Peradaban Mesir ini bahkan memiliki pengaruh politik yang lebih besar dibandingkan dengan Mesopotamia. Hal ini terbukti dengan nyaris tidak adanya invasi dari luar maupun pengaruh dari langsung dari luar terhadap perpolitikan Mesir.[2]
Satu hal yang menarik dalam perkembangan peradaban-peradaban di Timur Tengah, adalah kekayaan budaya yang dimiliki oleh kawasan ini. Timur Tengah merupakan tempat lahirnya huruf alfabet, hukum, perkotaan, bahkan agama-agama terkenal di dunia yaitu agama Islam, Kristen dan Yahudi. Sekalipun dalam perkembangannya Islam merupakan agama yang paling kuat mengakar dan bertahan di Timur Tengah, yang terbukti dengan 90% penduduk Timur Tengah adalah orang muslim, akan tetapi tetap saja Timur Tengah merupakan tempat sakral bagi umat manusia di seluruh penjuru dunia yang memeluk agama-agama tersebut.
Setelah terbentuknya peradaban Islam, pada abad ke-13 muncullan Kerajaan Ottoman yang menyatukan Eropa Tenggara, Anatolia, Irak, Iran bagian barat, Siria, Mesir, Semenanjung Arab bagian barat, pantai di sepanjang Afrika Utara diantara Mesir dan Maroko Timur. Pada masa kekuasaan dinasti Ottoman inilah Timur Tengah sempat mengalami masa-masa yang cukup damai. Pada abad ke-18, Kekaisaran Ottoman mulai mengalami keruntuhannya yang diakibatkan oleh tekanan dari luar dan kebangkitan negara-negara Eropa. Kehancuran dari Kerajaan Ottoman akibat tekanan hutang kepada bahgsa Eropa menyebabkan kawasan Timur Tengah jatuh dalam kekuasaan Inggris dan Prancis. Pada saat yang hampir bersamaan, gerakan Zionisme muncul, dan pada tahun 1882 gelombang pertama pendudukan kaum Yahudi ke Palestina pun dimulai.
Setelah runtuhnya Imperium Ottoman, pada tahun 1915 Inggris melakukan perjanjian bilateral rahasia dengan Prancis. Dalam perjanjian yang disebut Sykes-Picot Agreement tersebut, Inggris setuju untuk membagi bekas wilayah Imperium Ottoman dengan beberapa negara di Eropa. Iggris sendiri mendapatkan wilayah Irak, Yordania, dan sebagian Haifa. Prancis mendapatkan wilayah Irak Utara, Turki, Lebanon dan Suriah sementara negara-negara lain dibebaskan untuk memilih sisanya. Saat perjanjian tersebut dibuat, Palestina masih berupa wilayah yang berstatus quo sehingga pengelolaannya dilakukan oleh negara-negara pemenang secara bersama-sama.
Akan tetapi Sykes-Picot Agreement tidak berjalan dengan baik ketika negara-negara di Eropa yang menguasai bekas wilayah Ottoman terus bersengketa. Sebuah konferensi di San Remo digelar untuk menyelesaikan permasalahan tersebut. Keputusan yang dihasilkan adalah wilayah Suriah dan Lebanon untuk Prancis dan wilayah Palestina serta Irak untuk Inggris. Hasil konferensi tersebut kemudian dijadikan British Mandate of Palestine oleh LBB pada tahun 1920. British Mandate of Palestine tersebut memberikan kekuasaan bagi Inggris untuk mengelola wilayah Palestina.
Pada tahun 1947 ketika mandat Inggris atas Palestina berakhir, PBB membuat proposal perdamaian dengan mengatur pembagian wilayah bagi warga Arab dan Yahudi. Resolusi DK PBB No.181 (UN Partition Plan) tersebut membagi wilayah Palestina menjadi tiga bagian. 55% dari wilayah tersebut diberikan kepada warga Yahudi, Jerusalem berada dalam kekuasaan PBB, sementara sisanya diberikan kepada warga Arab. Bangsa Yahudi yang menyambut gembira proposal tersebut langsung mengumumkan pendirian negara Israel pada hari berakhirnya mandat Inggris. Beberapa jam setelah Israel resmi dibentuk, Amerika Serikat dan Uni Soviet memberikan pengakuannya kepada negara tersebut. Proklamasi kemerdekaan Israel dan pengakuan dari Amerika serta Soviet tersebut menimbulkan kemarahan rakyat Palestina dan mendorong terjadinya peperangan bersenjata yang memperebutkan kedaulatan di tanah Palestina.
Pasca perang dunia kedua, perhatian dunia terhadap Timur Tengah semakin meluas. Negara-negara berkekuatan besar seperti Amerika dan Uni Soviet mulai menyadari pentingnya Timur Tengah, terutama berkaitan dengan minyak yang dihasilkan oleh kawasan strategis ini. Untuk menjelaskan hubungan internasional kontemporer pasca Perang Dunia II di Timur Tengah dapat dibagi menjadi tiga fase.
Fase pertama, 1945-1948, berkaitan dengan diawalinya perang dingin antara Amerika Serikat dan Uni Soviet. Pada periode waktu tersebut, AS menggantikan peran Inggris yang memenangkan Perang Dunia kedua namun mengalami kelelahan pasca perang sehingga tidak mampu memerankan peran tradisionalnya sebagai hegemon. Tantangan AS di Timur Tengah diawali dari Soviet yang mencoba menundukkan Iran melalui pemberontakan Azerbaijan serta kepemilikan konsensi minyak secara paksa. AS bereaksi dengan mendorong Iran melawan tekanan Soviet. Akan tetapi sebelum krisis tersebut berakhir, AS dipaksa menghadapi ancaman komunis baru yaitu terhadap Yunani dan Turki, yang mengalami kekosongan kekuasaan pasca perang dunia kedua.[3] Amerika dengan didorong oleh ketakutannya atas pengaruh Soviet atas ketidakpastian politik di Yunani, Turki dan Iran mengeluarkan doktrin Truman untuk membendung pengaruh Soviet di wilayah tersebut.[4]
Dalam fase yang kedua, 1948-1974, kebijakan politik AS yang berkaitan dengan Timur Tengah tidak dapat dipisahkan dengan Israel. AS yang berperan sebagai pelindung Israel menyebabkan Soviet dapat mengeksploitasi keuntungan dari situasi tersebut dengan menyuplai persenjataan sekaligus berperan sebagai penasihat Egypt, Syria dan Iraq. Hubungan AS dengan Israel memunculkan ketegangan dengan negara-negara Arab yang menjadi klien AS seperti Yordania dan Saudi Arabia. Negara-negara tersebut pada saat yang sama mendukung AS namun semakin anti dengan Israel. Hal inilah yang menjadi salah satu alasan kegagalan usaha AS untuk melakukan kerjasama regional yang mencakup keseluruhan Timur Tengah dengan beraliansi kepada NATO. Pada saat yang sama, Pakta Baghdad menyebabkan munculnya reaksi politik berantai yang memperburuk hubungan AS dengan para nasionalis Arab. Hal tersebut diikuti nasionalisasi Terusan Suez dan terjadinya Perang Suez. Resolusi dari Perang Suez dapat dicapai ketika AS menentang tindakan yang dikeluarkan oleh sekutu-sekutu terkuatnya seperti Israel, Prancis dan Inggris. Setelah melakukan diplomasi unilateral bersama secara intens, pasukan dari PBB akhirnya ditempatkan diantara negara-negara yang berperang dan memaksa negara-negara tersebut menarik diri dari teritori perang.
Fase ketiga, 1973-1990, diwarnai dengan perang antara Arab dengan Israel. AS yang berusaha bersekutu dengan kedua belah pihak mendapatkan tekanan dari kedua pihak yang berperang. Akhirnya, satu-satunya  pilihan yang memungkinkan bagi AS adalah berusaha mendorong terjadinya negosiasi bilateral, yang kemudian dilaksanakan di Camp David. Negosiasi tersebut menghasilnya beberapa perjanjian iplomatik, namun tidak menyelesaikan permasalahan yang paling penting yaitu mengenai otonomi Palestina akan West Bank dan Jalur Gaza. Di saat yang sama pengaruh Soviet di Timur Tengah juga semakin berkurang akibat invansi Soviet ke Afghanistan.

Sifat Alami Perpolitikan Timur Tengah
Berdasarkan penggambaran ringkas mengenai sejarah Timur Tengah, dapat disimpulkan bahwa sifat alami perpolitikan Timur Tengah pada dasarnya adalah konfliktual. Masalah ideologi dan agama, baik antara Islam dengan Kristen maupun Islam dengan Yahudi, selalu menjadi sumber konflik dan peperangan dari masa ke masa. Konflik antara Israel dan Palestina di lain pihak tidak hanya masalah perebutan wilayah yang sudah terjadi sejak berabad-abad yang lampau saja, akan tetapi juga sudah bercampur dengan masalah ideologi, agama bahkan harga diri dari ras yang menghuni kawasan tersebut.
Apabila dianalisis secara geografis, konflik perebutan wilayah dan sumber daya alam hingga masalah eksploitasi minyak terus mewarnai perkembangan wilayah ini, sejak era kerajaan hingga terbentuknya negara-bangsa di Timur Tengah sendiri. Menurut penulis[5], secara geografis pemusatan sumber-sumber daya alam yang tidak merata merupakan salah satu penyebab konflik tiada akhir dari wilayah ini. Mesir, Iran, dan Irak memiliki sumber daya minyak yang berlimpah sementara Yaman nyaris tidak memiliki sumber daya alam apapun sehingga terus berkubang dalam kemiskinan, ketidakstabilan politik, pemberontakan, dan bahkan dimanfaatan oleh kelompok teroris menjadi markas utama serta tempat perekrutan. Tidak hanya minyak saja, masalah sumber daya air yang didapat dari aliran sungai pun banyak menimbulkan konflik. Di Mesir, Sungai Nil mengalami degradasi mutu akibat peningkatan populasi yang pesat. Sungai Jordan menjadi perebutan antara Yordania, Israel dan Siria. Hal yang sama juga terjadi dengan Sungai Eufrat yang diperebutkan arusnya oleh Turki, Siria dan Iran.
Selain itu iklim rata-rata yang sangat panas dengan wilayah yang tandus menyebabkan sifat alami para penduduk Timur Tengah sendiri menjadi cenderung keras dan tidak mau kalah. Oleh karena itulah ketika negara-negara asing seperi AS dan Uni Soviet turut campur dan berusaha memanfaatkan permasalahan regional Timur Tengah demi keuntungan mereka sendiri, penduduk Timur Tengah cenderung menghadapinya dengan penolakan. AS dan anteknya Israel menjadi semacam penjahat di Timur Tengah dan menjadi musuh bersama negara-negara Islam yang juga mendukung Palestina. Kondisi seperti ini pada akhirnya berujung kepada usaha untuk mengembalikan tatanan sosial Timur Tengah ke bentuk tatanan Islam sesuai dengan tatanan yang ada sejak jaman Nabi Muhammad. Salah satu penanda yang sangat menonjol dalam usaha untuk memberontak dari pengaruh Barat tersebut termanifestasi dalam Revolusi Islam Iran yang menjalar dari terbentuknya republik Islam pertama di Iran serta pergerakan-pergerakan serupa yang mulai bangkit di negara-negara Timur Tengah lain termasuk di Arab Saudi, Irak dan negara-negara dengan penduduk Islam lainnya.

C. Tantangan Geostrategis Posisi Timur Tengah terhadap AS, China dan Asia Tengah
Pemikiran McKinder mengenai Eurasia sebagai bagian penting pusat dunia menyebabkan Amerika Serikat percaya bahwa usaha untuk menguasai dunia sebagaimana yang diinginkan oleh kelompok Hawkish akan tercapai dengan menguasai wilayah tersebut. Dari pemikiran McKinder tersebut, AS menarik kesimpulan bahwa kawasan Teluk Persia dan Laut Kaspia—wilayah-wilayah yang kaya dan mengandung sekitar 70 persen cadangan minyak dunia—merupakan kawasan yang harus berada di bawah kontrol AS. Tidak hanya Amerika Serikat saja, China, Rusia, Kanada, Inggris, bahkan negara-negara Asia Tengah merupakan negara-negara yang berusaha menguasai sumber-sumber minyak strategis di dunia. Akan tetapi keinginan untuk menguasai sumber daya terbatas paling dicari tentu saja akan menyebabkan bentrokan kepentingan antara pihak-pihak yang mengejarnya. Perang Teluk II merupakan salah satu contoh usaha AS untuk menguasai sumber daya minyak tersebut.
Sebagaimana yang dijelaskan Abdul Halim, apapun alasan yang dikemukakan AS terhadap publik (terorisme dan senjata nuklir di Irak) akan tetapi alasan sebenarnya dari agresi Amerika ke Irak tersebut adalah permasalahan sumber daya minyak bumi yang sangat melimpah di kawasan tersebut.[6] Amerika Serikat sebagai pengimpor sekaligus konsumen minyak terbesar didunia melihat Irak sebagai kawasan strategis untuk menjaga cadangan minyak bumi AS. Dilihat dari catatan cadangan minyak AS, hanya tersedia 22 milyar barel minyak atau setara dengan 2% saja dari cadangan minyak dunia.[7] Hal ini menunjukan terus berkurangnya cadangan minyak AS. AS sebagai pengimpor minyak terbesar didunia, sekaligus memiliki kekuatan militer terbesar di dunia melihat bahwa penguasaan minyak Irak dapat mengantisipasi penurunan keberadaan minyak dunia sebanyak 5 juta barel per hari pada dekade yang akan mendatang. Selain itu, AS berkeinginan untuk membanjiri pasar minyak dunia dengan 7 hingga 8 juta barel minyak per harinya, yang tentu saja diambil dari ladang-ladang minyak di Irak, yang kemudian dapat menghancurkan OPEC dan merugikan negara-negara penghasil minyak.
Selain AS, negara-negara Asia Tengah, melihat bahwa potensi minyak, gas alam serta listrik dari kawasan Timur Tengah sangat dibutuhkan oleh negara-negara Asia Tengah yang saat ini sedang mengalami krisis energi. Selain itu beberapa negara seperti Turkmenistan melihat bahwa hubungan dengan negara-negara Timur Tengah sangat penting terutama demi pembangunan jalur pipa gas. Iran contohnya merupakan salah satu importir terbesar gas alam dari Turkmenistan. Selain itu Iran pulalah yang menyuplai listrik ke beberapa negara Asia Tengah seperti ke Nakhjavan dan Turkmenistan. Penetrasi yang dilakukan oleh negara-negara Asia Tengah ke Timur Tengah sendiri dilakukan melalui Shanghai  Cooperation Organization dimana China juga menjadi salah satu anggotanya. Dengan posisi Iran sebagai anggota obeserver, organisasi ini memiliki posisi strategis di kawasan Eurasia.
China pada dasarnya merupakan salah satu negara kuat yang mulai tertarik untuk memperluas pengaruhnya ke Timur Tengah. Tujuan China nyaris sama dengan AS yaitu suplai minyak dan gas alam. Berbeda dengan AS yang cenderung ofensif dan militaristik, pendekatan dari China cenderung lebih halus dan berhati-hati. Melalui SCO sebagai contohnya, pada tahun 2006 China menandatangani kesepakatan pengembangan sumber minyak Yadavaran dengan Iran serta mengimpor 250 milyar ton LNG dari negara tersebut. Tidak hanya itu, bantuan China juga berkembang ke infrastruktur bahkan ke bidang pertahanan dan militer dengan menyuplai persenjataan ke Iran.
Lalu, apakah usaha-usaha AS maupun China dan negara-negara Asia Tengah untuk menguasai Timur Tengah bisa berhasil?
Ada beberapa hal yang menyebabkan usaha invasi AS di kawasan ini tidak berjalan dengan sukses. Pertama, Timur Tengah merupakan wilayah yang cukup sulit untuk mengimplementasikan kebijakan luar negeri. Konflik tiada akhir dan  berbagai perubahan struktur dalam sistem internasional menyebabkan negara-negara yang mengimplementasikan kebijakan luar negerinya di wilayah ini, termasuk AS, mengalami frustasi. Contohnya adalah konflik antara Israel dan Palestina yang hingga saat ini masih menjadi pusat perhatian dunia. Usaha-usaha tiada akhir yang dilakukan AS untuk mengakhiri pertikaian tersebut melalui mediasi tidak mendapatkan hasil yang cukup memuaskan. Hal tersebut turut menunjukkan bahwa pada dasarnya Timur Tengah adalah wilayah yang sulit terlepas dari konflik mengingat apabila regional-regional lain mengalami penurunan ketegangan pasca runtuhnya Uni Soviet pada tahun1990-an, wilayah ini masih saja menunjukkan tingkat ketegangan yang sangat tinggi, sekalipun usaha mediasi dilakukan tanpa henti. Selain itu, dengan mendasarkan kepada sifat orang-orang Timur Tengah yang cenderung keras, pendekatan offensif sebagaimana yang dilakukan oleh AS tidak akan pernah menghasilkan kesuksesan di wilayah ini.
Kedua, kondisi geografis negara-negara Timur Tengah yang bergurun-gurun, kering dan sangat luas menyebabkan pendudukan yang dilakukan AS di Irak dan Afghanistan tidak berjalan dengan lancar. Sebaliknya, perlawanan gerilyawan semakin meningkat, terorganisir, berpindah-pindah dan semakin efektif melawan AS. Di Irak pimpinan Paul Bremer tidak dapat berjalan dengan baik akibat pemberontakan rakyat sehingga pada tahun 2004 AS memutuskan untuk mengembalikan pemerintahan kepada bangsa Irak sendiri.
Di lain pihak, kondisi geografis yang sama juga mencegah Asia Tengah untuk melakukan pengembangan jalur pipanya ke Timur Tengah. Hanya Turkmenistan yang cukup sukses melakukan pembangunan pipa gas dengan Iran. Akan tetapi dari tiga proposal pembangunan jalur pipa, pada akhirnya hanya satu itu yang dibangun dan bahkan itupun tidak terlalu menguntungkan bagi Iran sendiri. Negara-negara Asia Tengah lain malah cenderung terfokus dengan usaha mengusir pengaruh AS dengan bantuan China, atau berusaha mengatasi krisis energi yang sedang melanda negara masing-masing.
Ketiga, posisi Timur Tengah sendiri cenderung jauh baik dari AS maupun dari China menyebabkan intervensi secara langsung, terutama dalam bentuk militaristik, cenderung sulit dan memakan banyak biaya. Memang AS memiliki Israel yang merupakan sekutu dalam pusat Timur Tengah sendiri, akan tetapi perkembangan terakhir hubungan AS-Israel menunjukkan bahwa Israel mulai cenderung lepas kendali dengan melakukan serangan-serangan ke Palestina bahkan tanpa persetujuan AS. China di lain pihak berusaha membangun linknya sendiri melalui Iran yang dijak bergabung sebagai observer di SCO. Namun, sama halnya dengan AS, China juga akan mengalami kesulitan yang serupa apabila menginginkan turut campur secara langsung, terutama dalam bentuk militer. Faktor jarak, waktu dan biaya inilah yang menimbulkan tantangan tersendiri bagi negara-negara besar yang ingin bermain kekuasaan di Timur Tengah.

D. Masa Depan Timur Tengah di Era Globalisasi
Dari berbagai penjabaran diatas, pertanyaan utama mengenai prediksi masa depan Timur Tengah di era globalisasi adalah: apakah regional ini pada akhirnya akan meraih perdamaian dan dapat terintegrasi menjadi sebuah regional yang kokoh, baik secara ekonomi maupun politik?
Munurut penulis, justru globalisasi akan mendorong terjadinya konflik dan pergolakan di Timur Tengah sendiri. Pada dasarnya, globalisasi merupakan sebuah produk yang dihasilkan oleh peradaban Barat. Apabila dikaitkan dengan argumen Alan Brinkley, globalisasi yang semakin populer sejak tahun 1970-an memunculkan adanya dukungan dan penolakan dalam prosesnya. Bagi negara-negara non-industrialis, terutama, globalisasi meninggalkan mereka dalam kemiskinan, tereksploitasi dan tertekan dari segala penjuru (Brinkley, 2003: 947). Di Timur Tengah khususnya, globalisasi menciptakan pergolakan, bukan di bidang ekonomi akan tetapi cenderung lebih menjurus ke bidang religi dan kultural. Contoh dari puncak pergolakan tersebut adalah gerakan nasionalisme Islam dalam Revolusi Islam Iran. Revolusi tersebut berefek domino dan menyebar ke negara-negara dengan penduduk Islam lainnya sehingga menimbulkan suatu gelombang fundamentalisme Islam.
Revolusi Islam Iran hanyalah salah satu dari efek globalisasi yang mendorong nasionalisme di Timur Tengah. Manifestasi dari fundamentalisme Islam yang berikutnya adalah melalui gerakan-gerakan terorisme yang dibentuk dari atau melakukan perekrutan di Timur Tengah. Sekalipun gerakan terorisme seperi Al Qayyeda pada dasarnya tidak berdiri diatas nasionalisme tertentu, akan tetapi secara umum bangsa Barat melihat Al Qayyeda sebagai representasi keseluruhan dari Timur Tengah sendiri. Dan tujuan dari Al Qayyeda sendiri merupakan perang melawan Barat yang direpresentasikan oleh AS dan antek-anteknya.
Baik terorisme maupun revolusi Islam, keduanya merupakan fundamentalisme berdasarkan nasionalisme sebagai sebuah reaksi atas globalisasi dan termanifestasi dalam sebuah perang besar melawan dunia Barat pada umumnya dan Amerika Serikat pada khususnya. Hal ini dikarenakan adanya ketidakpuasan terhadap negara-negara Barat terutama AS yang mendukung pemerintahan korup di negara-negara Timur Tengah serta infiltrasi dalam bidang ekonomi-militer di regional Timur Tengah.
Dari penjabaran diatas saja sudah dapat dilihat bahwa globalisasi justru semakin memudahkan invasi politik-militer-ekonomi AS ke Timur Tengah, serta semakin mengobarkan kemarahan negara-negara Timur Tengah baik yang diinvansi maupun yang tetap saja berada dalam jurang kemiskinan dan ketidakstabilan politik dalam era globalisasi sendiri. Memang tidak dapat dipungkiri bahwa globalisasi juga mempopulerkan multikulturalisme yang mungkin bisa dimanfaatkan dalam mereduksi tensi tinggi di regional ini. Akan tetapi dalam prakteknya usaha-usaha diplomasi secara damai selalu saja berlangsung secara alot dan tidak pernah menemui titik akhir. Dalam kasus Israel-Palestina sebagai contohnya, sudah dilaksanakan berbagai perundingan yang juga diprakarsai oleh negara-negara lain termasuk AS. Akan tetapi hingga saat ini gencatan senjata hanya bertahan sesaat saja dan perang bisa melanda kapanpun di kawasan kedua negara.

Daftar Pustaka:
Andersen, Roy R. 1998. Politics and Change in The Middle East. New Jersey: Prentice Hall.
Anonim. http://soc.culture.indonesia/google groups.htm. Diakses tanggal 28 Desember 2008.
Anonim. www.tragedipalestina.com/sejarah.html. Diakses tanggal 22 Desember 2008.
Anonim. www.cmm.or.id/cmm-ind_more.php. Diakses tanggal 10 Januari 2009.
Garaudy, Robert. Israel dan Praktik-Praktik Zionisme. Bandung: Pustaka.1988.
Halim, Abdul Perang Teluk II: Ambisi Global Amerika Serikat; dalam Mahally,. 2003. Membongkar Ambisi Global Amerika Serikat. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan. Hlm 311-414.
Lenczowski, George. 1993. Timur Tengah di Tengah Kancah Dunia. Berkeley: University of California.
Morgenthou, Hans J. Politik Antarbangsa Edisi Revisi. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Sluglett, Peter. "Middle East." Microsoft® Student 2008 [DVD]. Redmond, WA: Microsoft Corporation, 2007.


[1] Peter Sluglett. "Middle East." Microsoft® Student 2008 [DVD]. Redmond, WA: Microsoft Corporation, 2007.
[2] Ibid.
[3]George Lenczowski. 1993. Timur Tengah di Tengah Kancah Dunia. Berkeley: University of California. P 442.
[4] International Relations in Contemporary The Middle East. Page 279.
[5] Mega Savitri A, NIM 070710410.
[6] Abdul Perang Teluk II: Ambisi Global Amerika Serikat; dalam Mahally,. 2003. Membongkar Ambisi Global Amerika Serikat. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan. Hlm 341-356.
[7] Anonim. http://www.pewarta-kabarindonesia.blogspot.com, diakses pada 29 September 2009.

0 komentar:

Post a Comment