Negara Arab: Teritorial atau Pan Arabis?

Label: , , , ,
Pan-Arabisme pada dasarnya merupakan merupakan doktrin abad keduapuluh yang terben-tuk terutama disebabkan oleh runtuhnya Kekaisaran Ottoman dan adanya gangguan berupa kolonia-lisasi negara-negara Barat. Pergerakan nasional yang awalnya hanya muncul diantara kalangan terpelajar ini, yang pada awalnya hanya membahas mengenai permasalahan kultural, kemudian berubah halauan menjadi sebuah gerakan yang bertujuan menyatukan bangsa-bangsa dan negara-negara Arab mencakup wilayah Samudra Atlantik hingga Laut Arab. Sekalipun doktrin ini memba-wa budaya dan tradisi Arab, akan tetapi di lain pihak cenderung sekuler dan sosialis.
Doktrin ini semakin menyebar ketika negara-negara Arab mulai mendapatkan kemerdeka-annya. Saat itu seorang pemimpin Mesir yaitu Gamal Abdul Nasser ingin mempersatukan dunia Arab yang terpecah-pecah pasca keruntuhan Kekaisaran Ottoman. Nasser mendapatkan prestise yang tinggi di dunia Arab ketika dapat mengusir Inggris, Prancis dan Israel pada Pertempuran Suez di tahun 1956, yang akhirnya diikuti dengan nasionalisasi Terusan Suez oleh Mesir. Nasser kemu-dian berusaha untuk mendirikan Pan-Arabisme dengan membuat United Arab Republic (UAR) pada tahun 1958, akan tetapi tidak mendapatkan sambutan yang cukup hangat mengingat hanya Mesir dan Suriah yang tertarik. UAR hanya berlangsung sampai pada tahun 1961, ketika tentara Suriah memberontak melawan tentara Mesir, yang dikarenakan ketidakpuasan Suriah atas dominasi Mesir dalam UAR.
Nasser merupakan seorang politisi sekaligus seorang tentara akan tetapi bukan seorang ideologis. Oleh karena itu, struktur konseptual dari Arabisme Nasser cukup sederhana yaitu memili-ki karakter politik baik secara kultural maupun strategis. Kultural dalam terminologi kesamaan bahasa dan sejarah antar negara-negara Arab. Strategis dalam terminologi persamaan perjuangan dalam melawan kolonialisme Barat. Arabisme Nasser juga memiliki sifat politis seperti yang terlihat pada UAR.
Pan-Arabisme Gamal Abdul Nasser akhirnya menemukan organisasi yang dapat mengeks-presikan gerakannya secara resmi melalui Liga Arab setelah berakhirnya perang dunia kedua, tepatnya pada 22 Maret 1945. Liga Arab didirikan di Mesir di mana pada akhirnya Cairo dijadikan markas sekretariat jendral Liga Arab. Anggota liga tersebut terdiri dari 23 negara yang terbentang dari Mauritania sampai ke Irak. Pendirian liga ini berdasarkan Pact of The League of Arab States yang kemudian dijadikan konstitusi. Tujuan pendirian Liga Arab adalah untuk memajukan kerja sama politik antara negara anggota, menyelesaikan sengketa-sengketa antar negara Arab, mengga-lakkan dan mengawasi kerja sama antar negara Arab di bidang ekonomi, komunikasi, kebudayaan, sosial dan lainnya ( Kirdi Dipoyudo, 1981: 25).
Dalam Liga Arab, agresi terhadap satu negara anggota dapat dianggap sebagai agresi terha-dap seluruh negara Arab sehingga diperlukan tindakan kolektif untuk mengatasinya melalui Perma-nent Joint Defence Council dan Permanent Military Council pada tahun 1952. Akan tetapi pengga-langan kekuatan kolektif ini seringkali gagal dalam prakteknya seperti pada kasus Krisis Terusan Suez tahun 1956, kasus Palestina, Perang Irak-Iran maupun Invasi Irak ke Kuwait. Mungkin hanya penyelesaian perang saudara di Libanon, yang kemudian melahirkan Perjajian Taif 1991, yang bisa dianggap sebagai kesuksesan Liga Arab.
Akan tetapi Persatuan Arab yang diharapkan Nasser kemungkinan besar masih jauh dari harapan. Terdapat beberapa hal yang masih harus ditelaah kembali dalam proses pembentukannya. Bagaimana posisi Islam jika pan-Arabisme dibentuk dengan prinsip-prinsip sekularisme masih harus dipertanyakan kembali. Selain itu posisi kaum minoritas yaitu non-Muslim dan Kurdi yang semakin terdesak apabila pan-Arabisme benar-benar terjadi dapat menjadi hambatan terwujudnya pan-Arabisme itu sendiri. Terakhir adalah pertanyaan mengenai pemimpin pan-Arabisme, apakah dipilih sebagai individu atau pemimpin kolektif.

Berlawanan dengan ideologi Arabisme Nasser, terdapat pendekatan lain yang lebih terbatas yaitu pendekatan regional melalui pembentukan Gulf Cooperation Council (GCC) pada tahun 1980-an. Meskipun GCC hanya sebuah organisasi regional, bukan negara federal, akan tetapi GCC dapat merepresentasikan ilustrasi bahwa integrasi Arab adalah suatu hal yang memungkinkan selama beberapa kondisi konkrit dapat dipenuhi yaitu, hubungan geografis, kesamaan kepedulian strategis serta kesamaan pandangan sosio-ekonomi.
Dalam pembentukan GCC, terdapat dua kepentingan bersama para anggotanya yaitu masalah keamanan dan ekonomi. Dengan berbagai permasalahan atau konflik yang dialami oleh Egypt, Iran dan Iraq, negara-negara Gulf mengkhawatirkan kerentanan keamanan wilayah tersebut. Pada saat yang sama, negara-negara Gulf sangat memperhatikan prospek perkembangan perekono-mian mereka di masa depan, terutama pasca era minyak. Persamaan permasalahan antara negara-negara Arab dan Gulf tersebut menyebabkan dimulainya usaha kerjasama. Gulf International Bank kemudian terbentuk pada 1975 dengan GCC berperan sebagai pengontrol.
Peranan utama Saudi Arabia dalam GCC merupakan sebuah permasalahan yang kontro-versial. Saudi Arabia sebagai negara terbesar dan paling berpengaruh baik secara regional maupun internasional memainkan peranan sebagai perantara sekaligus pemberi modal. Akan tetapi Saudi Arabia menjadi salah satu pendukung pendirian Uni Emirat Arab, yang kemudian balik mendukung Saudi Arabia di OPEC.
Tindakan yang dilakukan oleh Saudi Arabia tersebut menyebabkan Pan-Arab semakin sulit terwujud. Selain itu, Saudi Arabia sekalipun sering mengkritik solidaritas Arab, akan tetapi tidak bersedia mengorbankan kedaulatannya sendiri demi persatuan Pan-Arab dan memilih memperta-hankan pola politik dan sosial seperti yang telah dilakukan selama ini. Pan-Arab juga tidak dapat mendorong Sudan untuk bergabung dengan Mesir. Yaman memilih tindakan yang serupa dengan Saudi Arabia sementara Tunisia mengambil langkah drastis dengan memutuskan hubungan dengan Liga Arab pada tahun 1959 hingga 1961 demi menghindari penyebaran Pan-Arabisme dalam negaranya.
Negara-negara Arab sekalipun memiliki ikatan sosial-budaya dan agama Islam, akan tetapi berkeinginan untuk mempertahankan identitas dan kebebasan politiknya sendiri. Tidak hanya bagi para penguasa saja, yang notabene mendapat hak-hak istimewa penguasa apabila dibandingkan dengan mengikuti bentuk Persatuan Arab, akan tetapi juga golongan rakyat biasa yang cenderung enggan terhadap perubahan dan sangat terikat dengan kelompoknya sendiri. Negara-negara Arab juga cenderung enggan berbagi sumber daya ekonomi dengan yang lain. Padahal apabila ditilik kembali, dari segi politis, persatuan tersebut dapat memberikan keunggulan politik yang sangat besar dan posisi unggul terhadap negara-negara lain.

Sumber:
http://www.ismes.net/baca.php?ArtID=214 diakses pada tanggal 15 September 2009.
http://www.infoplease.com/ce6/history/A0837455.html diakses pada tanggal 15 September 2009
Lenczowski, George. 1993. Timur Tengah di Tengah Kancah Dunia. Berkeley: University of California.
Nayubi, Nazih N. 2001. The Arab State: Territorial or Pan-Arabist dalam. Over-stating the Arab State; Politics and Society in Middle East. London: LB Tauris& Co. Ltd. Hlm 135-163.

0 komentar:

Post a Comment