Potongan Cerita Part 1

Label:
High School Life

“Kau melakukannya lagi!” kata Nadia.
“Hah? Memangnya apa yang kulakukan?” tanyaku sambil berusaha membuat ekspresi datar. Atau ekspresi tak berdosa. Yang mana saja deh!
“Memelototinya seperti itu. Kayak mau menelannya atau semacamnya. “Nadia mengendikkan kepalanya untuk menunjuk orang yang ia maksud.
Aku mengikuti arah pandangnya.
Mataku menyipit ketika menemukan sosok yang sudah kupandangi selama sepuluh menit terakhir sebelum Nadia menginterupsi.
“Nah, kan! Lihat! Kau melakukannya lagi!” tuduh Nadia. Aku mengerucutkan bibir dan berusaha mengalihkan pandangan darinya. Sebagai gantinya, aku memelototi artikel yang sedang kekerjakan.
Aku sudah bergabung dengan koran sekolah sejak masih kelas satu. Setelah setahun penuh dijadikan pesuruh oleh para senior, dan ditugasi menyusun mading-mading sekolah yang konyolnya minta ampun—puisi-puisi norak karya anak kelas satu lain, gambar-gambar binatang yang sudah atau akan punah, foto-foto terbaru Pak Kepala Sekolah (jangan tanya!), agenda kegiatan dari OSIS dan BK—akhirnya aku diberi tugas yang lebih menantang di koran sekolah yang terbit setiap dua hari sekali. Resminya aku diangkat sebagai penanggung jawab pojok ‘Apa Kau Tahu’ yang membahas hal-hal yang belum jamak diketahui oleh anak-anak SMU yang notabene hanya peduli dengan perkembangan gosip artis A dengan artis B atau perkelahian antara vokalis band C dengan drummernya.
Contoh artikel yang kutulis adalah mengenai jamur langka berusia 2400 tahun yang memiliki diameter ratusan hektar. Jamur itu lebih besar dari rumahku dikalikan sepuluh dan sepertinya tidak enak dimakan.
Yeah, benar-benar menyedihkan. Apalagi koran sekolah kami hanya terdiri dari empat halaman kecil dan dijual seharga lima ratus rupiah kepada anak-anak sekolah kami yang bersemangat mengetahui gosip-gosip baru yang beredar di sekolah (yeah, benar sekali! Kami juga memiliki kolom gosip tersendiri. Satu halaman penuh, sebenarnya). Nama korannya: First Star! Aku tidak bercanda! Kepala sekolah kami yang memilihkan nama itu. Menurut beliau nama itu dapat memotivasi pembacanya agar meraih cita-cita setinggi langit.
Bah, yang benar saja Pak!!
Kalau kaupikir para pengurus koran sekolah diam saja dan menerima nama itu dengan lapang dada, kau salah besar. Kakak-kakak senior sudah pernah melakukan unjuk rasa agar diperbolehkan mengganti nama koran sekolah dengan nama lain yang tidak terlalu konyol, namun hasilnya mereka semua malah diancam hukuman skors serta pengalihan kepengurusan kepada para guru.
Itu malah akan lebih mematikan kreativitas dan kebebasan berpendapat para siswa sehingga akhirnya para senior mengalah. Mereka tetap menggunakan nama ‘First Star’ hingga saat ini, lima tahun setelah penerbitan pertama koran tersebut.
Aku berusaha berkonsentrasi kepada artikelku yang membosankan. Sekalipun berkali-kali aku memohon agar diijinkan menulis untuk halaman depan, Kak Andra—pemimpin koran ini—menganggapku belum siap dan selalu menyuruhku kembali berkonsentrasi kepada artikelku sendiri. Kayak ada yang peduli dengan artikel-artikel semacam itu saja!

1 komentar:

Mega Savitri said...

Ini potongan novel (atau cerpen, aku masih belum memutuskannya) yang kubuat setahun yang lalu, sebelum kuliah2 HI membuatku terlalu sibuk. Aku berencana menyelesaikannya pada masa liburan ini.

Post a Comment