Biodiversitas dan Hak Properti Intelektual

Label: , , ,
Mengaitkan biodiversitas dan hak properti intelektual akan merujuk kepada gerakan Demokrasi Bumi yang dilakukan oleh Vandana Shiva sebagai salah satu contoh yang terkenal. Gerakan yang dipelopori oleh Shiva tersebut mendorong terjadinya protes yang dilakukan oleh para petani India terhadap Dunkel Draft Text (DDT) dari negosiasi GATT di Uruguay. The Trade Related Intellectual Property Rights atau TRIPs atas DDT tersebut bagi para petani India merupakan suatu hal yang tidak dapat ditoleransi—mengingat bibit dan biodiversitas sangatlah mendasar dalam proses produksi makanan—sehingga karenanya menyimbolkan adanya perbudakan yang dilakukan oleh TNCs. Hal inilah yang kemudian mendorong petani India melakukan gerakan diam kedua pada tahun 1992 (gerakan yang pertama berlangsung pada tahun 1942 yang dipelopori oleh Mahatma Gandhi).
Kenapa draft tersebut dianggap sebagai ancaman? Karena bagi para petani India, draft tersebut jelas merugikan para petani dunia ketiga yang merupakan pendonor biodiversitas dengan mereproduksi dan memodifikasi sendiri materi tanaman dan bibit-bibitnya. Bagi para petani, bibit merupakan suatu hal yang sangat esensial, anugerah dari alam dan dapat ditukarkan dengan bebas antara petani satu dengan petani lainnya dan antara negara satu dengan yang lainnya. Oleh karena itu, monopoli terhadap bibit, dalam hal ini disebut sebagai Bibit Satyagraha, merupakan suatu hal yang melanggar hak cipta dan dapat disamakan dengan kasus hukum garam di Inggris.
Bagi Shiva, pematenan yang dilakukan melalui TRIPs sebagaimana yang dijelaskan diatas merupakan efek dari globalisasi yang pada dasarnya membahayakan hak-hak kehidupan masyarakat pada umumnya. Oleh karena itu, tidak heran kaum petani di India melakukan gerakan untuk menolak kebijakan tersebut. Dalam level pertama, penolakan dilakukan dengan perlawanan. Argumen dasarnya adalah, kehidupan bukan ciptaan manusia, oleh karena itu tidak dapat dimonopoli oleh pihak-pihak tertentu, sekalipun ada royalti yang diberikan sebagai timbal balik. Dalam level kedua difokuskan kepada usaha untuk merebut kembali demokrasi rakyat dalam menjaga maupun menggunakan biodiversitas secara berkelanjutan. Untuk level yang kedua ini, Shiva mencontohkan gerakan yang berlangsung di salah satu desa di India pada Hari Lingkungan Hidup 1998 yang berusaha mendeklarasikan kedaulatan untuk mengkonversi biodeversitas mereka sendiri.
Masalah antara biodiversitas melawan hak intelektual properti di India kemudian menjadi semakin memanas. Masalah hak paten beras Bismati merupakan salah satu contoh lainnya. Ricetec Inc. sebagai perusahaan yang mengklaim dan mematenkan beras tersebut mendapatkan penolakan dari masyarakat yang telah mengkonsumsi beras tersebut selama berabad-abad. Masyarakat bahkan menuduh perusahaan tersebut melakukan pencurian dan pembajakan terhadap masyarakat lokal.
Bagi TNC seperti Ricetec Inc. sendiri, kecenderungan masyarakat negara-negara dunia ketiga yang menganggap bahwa biodiversitas serta pengetahuan mengenai pemanfaatannya tersebut sebagai halangan dalam melakukan ekspansi pasar. Satu hal yang menarik disini, dari sudut pandang TNCs, pemanfaatan biodiversitas seperti reproduksi benih yang dilakukan oleh para petani-petani kecil secara bebas juga merupakan suatu pentuk pencurian. Oleh karena itulah permintaan akan hak properti intelektual yang diinginkan oleh TNCs sebenarnya merupakan suatu asumsi yang tidak dapat dibenarkan mengingat sebagai ganti dari investasi, TNCs tersebut menginginkan monopoli sebagai gantinya.
Dari penjabaran dan contoh-contoh diatas, Shiva sebenarnya berusaha berargumen bahwa globalisasi yang membawa tren liberalisme dan privatisasi terhadap berbagai unsur-unsur kehidupan termasuk biodiversitas merupakan suatu hal yang melanggar hak-hak manusia atas alam. Gerakan sebagaimana yang dilakukan oleh penduduk India dalam mendeklarasikan kedaulatan untuk mengkonversi biodiversitas sebenarnya merupakan salah satu contoh dari berbagai respon terhadap globalisasi yang dianggap telah mengingkari kemerdekaan sipil dan kebebasan.
Praktek yang berlangsung terkait kebijakan TRIPs tersebut membuat keragaman biodiversitas seperti benih dikuasai oleh raksasa-raksasa korporat global tertentu. Kondisi itu tentu saja tidak dapat dibenarkan mengingat bibit-bibit seharusnya berada di tangan para petani. Hal yang sama juga terjadi dengan air, hutan, dan sebagainya. Jadi, sistem ekonomi global saat ini bukannya malah membantu masyarakat malah justru merebut berbagai kebutuhan hidup masyarakat yang sebenarnya sudah tersedia di sekitar mereka, akan tetapi tidak dapat dimanfaatkan untuk kepentingan umum secara maksimal akibat eksploitasi yang terjadi. Shiva berargumen bahwa model ekonomi kapitalisme liberal yang mendukung privatisasi ini justru mendorong peningkatan ketidakamanan ekonomi bagi sebagian besar masyarakat, terutama yang menyandarkan hidupnya dari hasil alam seperti para petani dan nelayan. Bahkan negara yang seharusnya menjadi pelindung masyarakat pun sekarang tidak dapat menjalankan fungsi dengan selayaknya karena hak absolut atas sumber daya alam yang ada di tangan negara dilalihkan kepada korporat-korporat yang kebanyakan adalah dari negara-negara lain. Belum lagi konsekuensi dari eksploitasi yang dilakukan oleh pihak korporat tersebut cenderung merusak ragam biodiversitas tanpa adanya rasa pertanggungjawaban terhadap masyarakat lokal.
Apabila dipandang dari sudut yang lebih radikal lagi, hak intelektual properti dapat menjadi alat yang digunakan oleh TNCs dalam melakukan kolonialisasi, atau dalam hal ini rekolonialisasi dunia ketiga setelah masa kolonialisasi yang dimulai pada jaman Colombus. Bibit Satyagraha contohnya menjadi simbol baru terhadap perjuangan untuk memperoleh kebebasan dalam memerangi sistem yang berlangsung saat ini secara damai sebagaimana yang dicontohkan oleh Gandhi.
Menurut saya sendiri, pandangan Shiva diatas memang cenderung ekstrim dalam memandang globalisasi dan privatisasi. Akan tetapi pandangan tersebut sebenarnya tidak dapat disalahkan. Kerusakan alam yang terjadi dalam dekade-dekade belakangan ini cenderung terjadi karena adanya eksploitasi manusia yang dilakukan secara berlebihan. Eksploitasi dalam batas yang sewajarnya sebagaimana yang dilakukan oleh individu-individu yang bekerja sebagai petani, nelayan, bahkan tukang kayu tidak akan membawa kerusakan yang separah ini karena ada norma-norma tradisional diantara masyarakat negara-negara dunia ketiga mengenai hidup yang sederhana dan mengambil secukupnya dari alam. Eksploitasi yang dilakukan oleh TNCs di lain pihak dilakukan semaksimal mungkin untuk mengeringkan sumber daya yang seharusnya dimiliki oleh masyarakat luas demi keuntungan sebesar-besarnya. Sebagai akibatnya, uang hanya berputar kepada sejumlah kecil manusia sementara mayoritas bukan hanya menderita kehilangan sumber penghidupan yang kemudian berujung kepada ketidakstabilan sosial politik. Dan apabila kita perhatikan lagi, ketidakstabilan sosial politik akibat eksploitasi pihak-pihak korporat itulah yang menyebabkan munculnya gerakan-gerakan sosial di seluruh dunia yang kemudian identik dengan gerakan-gerakan fundamentalisme.

Referensi:
Heffni Effendi. 2010. Masalah Sumber Daya Alam di Indonesia. Diakses dari www.mediaindonesia.com/webtorial/klh/?ar_id=NzEx0Q pada 31 Mei 2010.
Shiva, Vandana. Biodiversity and Intellectual Property Rights.

0 komentar:

Post a Comment