Budaya Korupsi Afrika: Produk Kegagalan Pengelolaan Era Kolonialisme

Label: , , ,
Afrika merupakan sebuah benua yang hingga saat ini masih merasakan efek berkesinambungan dari masa kolonialisme yang dilakukan oleh negara-negara Barat. Implikasi dari masa penjajahan di masa lampau memiliki keterkaitan erat dengan perkembangan pengetahuan, lingkungan, serta masalah kenegaraaan di negara-negara tersebut—yang menyebabkan negara-negara bekas jajahan sulit untuk menjadi independen dan mengembangkan diri secara optimal.
Paul R. Josephson melihat bahwa Afrika, sebagai negara yang memiliki keragaman biodiversitas dalam ekosistem yang variatif, justru merupakan benua yang terkenal akan berbagai masalah sosial-ekonominya. Negara-negara di Afrika dan masyarakatnya menghadapi masalah ketidakpastian masa depan karena adanya deteriorasi lingkungan yang sangat cepat, minimnya akses ke air bersih, ketimpangan dalam memanajemen SDA, perang, instabilitas politik, peningkatan jumlah penduduk yang tidak terkendali, dan berbagai masalah lainnya. Masalah kemiskinan, kelaparan dan kematian terutama, masih menjadi momok bagi mayoritas negara-negara Afrika, bahkan hingga saat ini.
Dari pernyataan-pernyataan diatas, muncul sebuah pertanyaan yaitu: apa yang sebenarnya menyebabkan permasalahan-permasalahan diatas? Dan kenapa Afrika cenderung mengalami kemajuan yang sangat lambat—kalau bukan malah kemunduran—tidak seperti negara-negara bekas jajahan lain yang sudah mulai berkembang? Dari pertanyaan ini saya mengajukan tesis bahwa permasalahan utama Afrika adalah ketiadaan good governance untuk mengatur dan mendistribusikan sumber daya kepada masyarakat secara merata. Afrika yang sudah resmi menjadi wilayah jajahan negara-negara Eropa sejak tahun 1885 tidak mengenal sama sekali apa yang disebut dengan pemerintahan yang baik karena pemerintah kolonial tidak cukup peduli untuk menunjukkan dan mengajari masyarakatnya mengenai good governance itu sendiri.

Kegagalan Pemerintahan Kolonial
Henry Stanley dalam bukunya yang berjudul In Darkest Afrika menegaskan tesis saya mengenai apa yang menyebabkan benua ini tidak juga bisa bangkit dari keterpurukan ekonomi bahkan setelah memperoleh kemerdekaannya. Stanley melihat bahwa permasalahan utama Afrika adalah ketiadaan pemerintahan yang baik, terutama sejak masa-masa penjajahan yang merupakan masa-masa kritis yang membuat Afrika—sebuah benua yang masih liar dan kesukuan—menjadi wilayah-wilayah koloni di bawah pemerintahan yang terpusat dari Gubernur yang memimpin wilayah tersebut hingga ke negara atau kerajaan yang membawahinya. Para gubernur yang menjabat di Afrika tidak memiliki pengaruh yang cukup kuat terhadap pasukannya sendiri sehingga mereka tidak memiliki respek terhadap penduduk asli yang merupakan bagian dari subjek untuk menjaga keamanan dan melindungi properti. Kondisi tersebut kemudian mengarah kepada implikasi lainnya yaitu semakin terbiasanya penduduk setempat untuk selalu diinjak-injak dan diperlakukan seperti sampah oleh para pemimpinnya, apalagi ketika perlawanan hanya akan menimbulkan kesengsaraan yang lebih dalam. Dari sinilah watak masyarakat Afrika pada umumnya mulai terbentuk menjadi lebih defensif tidak terlalu ingin ikut campur dalam pemerintahan. Manajemen sumber daya alam pun sepenuhnya diserahkan kepada para penguasa koloni yang membaginya dengan sangat tidak adil. Kemudian, seiring dengan membudayanya watak masyarakat Afrika mudah tunduk dalam kontrol, korupsi juga ikut membudaya dengan sangat kuatnya sehingga sangat sulit untuk diberantas. Apabila pada masa kolonial korupsi dilakukan oleh para pejabat-pejabat kolonial, termasuk VOC, tanpa ada pengawasan yang berarti dari negara induk, budaya ini kemudian turut mengalir dalam pemerintahan pasca kemerdekaan negara-negara Afrika.
Yang menjadikan masalah korupsi ini unik adalah budaya korupsi itu sendiri berkembang dari masa penjajahan ke masa pasca kemerdekaan, dimana budaya korupsi bukan semakin melemah malah cenderung semakin kuat dan mengakar. Calderisi melihat bahwa budaya korupsi justru berkembang dari kuatnya ikatan kekeluargaan di Afrika. Dalam badan pemerintahan sendiri, para elit-elitnya menghadapi berbagai tuntutan dari para sepupu dan kerabat yang menginginkan bantuan finansial. Korupsi di Afrika ini sudah terlalu bersifat endemis dalam kehidupan masyarakatnya sehingga korupsi nyaris tidak dianggap sebagai sesuatu yang menyalahi aturan. Hanya sedikit yang menginginkan adanya perubahan secara langsung. Mayoritas masyarakatnya terlalu powerless untuk menuntut adanya perubahan itu sendiri.
Oleh karena itu, dalam usaha untuk membantu Afrika, bantuan finansial seperti Marshall Plan seharusnya ditilik ulang lagi. Karena seperti yang sudah terjadi sebelumnya, dana tersebut pasti akan lenyap di tengah jalan. Contoh terkenal adalah Presiden Mobuntu dari Zaire dan Jenderal Abacha dari Nigeria. Pemerintah Nigeria dengan terang-terangan mengijinkan anak-anak Abacha untuk menyimpan $100 juta sebagai penyelesaian untuk mengembalikan $2-3 milyar yang Abacha tumpuk di luar negeri. Rakyat Nigeria sempat gembar dengan kemurahan hati kalangan pemerintahnya. Pada akhirnya, penyelesaian tersebut tidak jadi dilaksanakan. Akan tetapi tetap saja sangat sedikit dari uang tersebut yang kembali ke masyarakat.
Selain contoh diatas, ada perbedaan menarik dari kultur korupsi di Afrika dengan negara-negara lain. Ada sebuah kisah menarik yang diceritakan oleh Julius Nyerere dari Tanzania akan perbedaan korupsi dari orang Asia dengan orang Afrika. Apabila orang Asia mengalirkan sebagian dana dari proyek ia tangani ke kantongnya sendiri, maka orang Afrika justru menggunakan keseluruhan dana untuk proyek yang serupa demi kepentingannya sendiri.

Perkembangan Kontemporer: Usaha Pemerintah-Pemerintah Lokal serta Bagaimana Usaha Tersebut Gagal
Sekalipun pemerintah-pemerintah Afrika tidak dipungkiri memiliki budaya korupsi yang sangat kuat, bukan berarti sama sekali tidak ada usaha untuk memperbaiki permasalahan-permasalahan kemiskinan, lingkungan dan sejenisnya yang semakin memburuk di Afrika. Sayangnya, langkah yang ditempuh pemerintah dalam melakukan perbaikan itu sendirilah yang menurut saya jauh dari memperbaiki masalah. Hingga saat ini mayoritas pemerintah di Afrika masih bergantung kepada negara-negara maju untuk memberikan asistensi keuangan dan teknologi. Akan tetapi, apakah paket bantuan yang diberikan oleh negara-negara maju dapat menyelesaikan masalah? Paul R. Josephson justru melihat sebaliknya.
Pertama, teknologi inovasi memiliki keuntungan yang masih dipertanyakan bagi negara-negara tersebut. Teknologi agrikultural memang memungkinkan negara-negara Afrika untuk mengatasi masalah kelaparan, akan tetapi elektrifikasi daerah-daerah pedesaan malah cenderung menimbulkan perubahan lingkungan dan kekacauan sosial. Pembangunan stasiun-stasiun hydropower, sebagai contohnya, seringkali menyebabkan relokasi sebagian atau keseluruhan komunitas masyarakat dan menghilangkan kesuburan tanah setempat.
Kedua, negara-negara bekas koloni mayoritas cenderung masih lemah, memiliki pemerintahan yang tidak terlalu transparan, serta ekonomi dan perpolitikan yang terselubung. Birokrasinya tidak memiliki kekuatan atau pengaruh yang cukup terhadap kapital mereka sendiri. Negara-negara seperti ini tidak mampu mengumpulkan data-data jangka panjang yang diperlukan untuk proyek-proyek pembangunan seperti dam air dan sejenisnya. Keadaan ini menyebabkan negara-negara Afrika rentan diintervensi oleh negara-negara besar yang memiliki keunggulan teknologi dan kapital, terutama oleh negara-negara yang menawarkan bantuan-bantuan keuangan dan teknologi. Kondisi tersebut menjelaskan trend negara-negara di Afrika dimana penduduk maupun lingkungannya tetap saja miskin kalau otoritas negara masih lemah. Sekalipun negara-negara Afrika terus mengejar pembangunan, modernisasi dan urbanisasi, tanpa adanya pembuatan kebijakan finansial, legal dan institusi-institusi regulator yang memadai untuk mendukung perubahan yang dibawa oleh inovasi-inovasi teknologi, tetap saja tujuan-tujuan tersebut tidak akan terwujud.
Josephson berargumen bahwa teknologi justru merupakan alat yang mendukung neo-imperialisme di bawah kekuasaan MNCs. Sebagai komoditas yang tidak dimiliki oleh negara-negara bekas jajahan, teknologi kemudian dijadikan alat tawar oleh negara-negara industrialis demi keuntungan mereka sendiri. Negara-negara industrialis menawarkan teknologi dan berbagai proyek-proyek asistensi untuk mengatasi berbagai permasalahan di Afrika, termasuk masalah pangan.
Para analis melihat bahwa teknologi dan bantuan asistensi keuangan yang diberikan kepada negara-negara berkembang tidak menyelesaikan permasalahan negara-negara tersebut, justru meningkatkan dependensi. Negara-negara Afrika tidak memiliki SDM yang berkemampuan untuk membangkitkan, beradaptasi dan menggunakan teknologi itu sendiri, sementara di lain pihak teknologi memiliki biaya kapitas yang sangat tinggi, hanya menguntungkan pihak-pihak tertentu saja, dan menyebabkan pergolakan sosial, ekonomi maupun lingkungan dalam proses adaptasinya. Dan dengan tingginya tingkat korupsi, dapat dipahami kenapa bantuan asistensi keuangan tidak pernah mencapai sasaran atau hilang di tengah jalan sementara bantuan teknologi rata-rata tidak diimplementasikan karena pemerintah tidak mengerahkan sumber daya secara maksimal untuk menggunakan teknologi tersebut.

Langkah Solutif untuk Memperbaiki Afrika
Dari penjabaran diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa pemerintah-pemerintah Afrika cenderung terfokus kepada solusi-solusi yang salah. Faktor paling penting untuk melakukan perubahan sosial ekonomi di Afrika bukan
Robert Calderisi menyebutkan bahwa setidaknya ada sepuluh langkah untuk memperbaiki kondisi Afrika. Sepuluh langkah tersebut dapat diperkenalkan oleh negara-negara asisten dan meliputi : a/ memperkenalkan mekanisme untuk melacak dan memperbaiki keuangan publik; b/ mewajibkan semua kepala negara, para menteri dan para pegawai senior untuk membuka rekening bank pribadi mereka agar dapat diketahui oleh publik; c/ memotong bantuan langsung terhadap negara-negara secara individual dalam jumlah setidaknya setengah dari jumlah awal; d/ memfokuskan bantuan hanya kepada empat atau lima negara namun yang memiliki keseriusan dalam melakukan usaha mereduksi kemiskinan; e/ meminta seluruh negara-negara Afrika untuk melakukan pemilihan yang diawasi oleh secara internasional; f/ mempromosikan aspek-aspek lain dari demokrasi termasuk kebebasan media dan pengadilan independen; g/ mengawasi jalannya sekolah-sekolah di Afrika serta keberlangsungan program-program untuk HIV/AIDS; h/ membentuk kelompok pengawas dari golongan masyarakat umum untuk mengawasi kebijakan pemerintah dan perjanjian-perjanjian bantuan; i/ memberikan perhatian lebih kepada infrastruktur dan jaringan regional; j/ menggabungkan World Bank, IMF dan UN Development Programme.
Kesepuluh langkah yang dianjurkan oleh Calderisi ini, apabila kita perhatikan lagi merupakan langkah-langkah untuk mengenalkan dan membentuk good governance di kawasan Afrika. Beberapa negara pendonor pun sebenarnya sudah menerapkan kebijakan ini, terutama pasca perang dingin, yang menunjukkan bahwa negara-negara asisten pun mulai gerah terhadap budaya korupsi Afrika. Sebagai contohnya, pada tahun 1991, Swedia sebagai salah satu pendonor utama Tanzania mengurangi jumlah asistensinya hingga 10 juta dolar.
Nyaris seirama dengan Calderisi, Josephson juga berpendapat bahwa negara-negara maju harus memformat bantuan yang akan diberikan dalam bentuk yang mudah diadaptasi oleh negara-negara berkembang yang masih belum siap menerima teknologi negara-negara maju secara keseluruhan. Contohnya, bantuan teknologi obat-obatan dengan harga murah, terutama untuk AIDS, nyaris tidak terlalu diperhatikan atau bahkan disertakan dalam paket-paket bantuan yang diberikan negara maju. Padahal teknologi obat-obatan justru sangat dibutuhkan oleh sebagian besar warga Afrika yang rentan oleh penyakit ini.
Saya sendiri cenderung berpendapat bahwa pemerintah negara-negara Afrika harus bisa mengambil langkah drastis terutama di bidang edukasi. Pengembangan bidang ini akan memberi kesempatan bagi para penduduk setempat untuk membangun institusi-institusi iptek milik mereka sendiri dan menciptakan teknologi yang lebih sesuai dan ramah lingkungan bagi masyarakat setempat. Dengan solusi ini, negara-negara bekas jajahan tidak lagi hanya terfokus untuk mengejar dan berusaha mengimplementasikan teknologi negara-negara maju yang belum tentu sesuai untuk mereka, akan tetapi berusaha mengembangkan potensi mereka sendiri dalam penciptaan teknologi sekaligus dalam membenahi moral masyarakatnya yang cenderung koruptif. Sejauh ini, aspek pendidikan merupakan salah satu yang kurang mendapatkan perhatian, baik dari pemerintah setempat maupun negara-negara Asisten.



Referensi:
Calderisi, Robert. 2006. The Trouble with Africa. USA: Yale University Press.
Josephson, Paul R. Development, Colonialism and The Environment.
Nzomo, Maria. The Foreign Policy of Tanzania: From Cold War to Post-Cold War.
Oliver, Roland and Anthony Atmore. 1994. Africa Since 1800. Cambridge: Cambridge University Press.

0 komentar:

Post a Comment