Petualangan Alfa

Label: , , ,
Alfa sudah selesai membereskan barang-barangnya. Saat ini ia merasa puas sekali karena bisa mengatur kamar barunya, nyaris serapi yang bisa dilakukan oleh ibunya. Kemudian Alfa menuruni tangga untuk mencari ibunya. Ia ingin memamerkan hasil kreasinya dalam menata kamar barunya. Ibu pasti akan memujinya. Saking bangganya, Alfa nyaris melompat-lompat.
”Bu, Alfa sudah selesai menata dan membereskan kamar. Sekarang kamar baru Alfa terlihat bersih dan rapi sekali.” lapor Alfa kepada ibunya. Ibu sedang sibuk mendorong sebuah lemari kecil. Tapi beliau berhenti sejenak dan mengusap-usap kepala Alfa. Wajahnya penuh senyuman seperti yang selalu disukai oleh Alfa.
”Anak pandai.” puji Ibu. ”Kau pasti lapar karena sudah bekerja keras. Tunggu sebentar lagi ya. Ibu akan memasakkan semur ayam kalau sudah selesai menata ruang tamu.”
”Boleh tidak kalau aku berjalan-jalan sebentar, Bu? Daerah sekitar sini benar-benar indah dan asri. Aku berjanji akan berhati-hati.” mohon Alfa.
Setelah menimbang-nimbang sejenak, ibu mengijinkan Alfa untuk pergi berjalan-jalan.
”Jangan jauh-jauh.” pesan Ibu. Alfa bersorak. ”Dan jangan ikut orang yang tidak dikenal!”
Tapi Alfa sudah berlari keluar. Ia memang sudah tidak sabar menjelajahi lingkungan rumah barunya yang terletak di pedesaan. Sebagai anak yang dibesarkan di daerah perkotaan, Alfa belum pernah melihat ayam hidup yang berkotek riang sambil mencari cacing. Segerombolan bebek yang sedang dihalau oleh penjaganya agar tidak berpencar-pencar. Bahkan ada dua ekor angsa berleher panjang yang sedang dipermainkan oleh anak-anak desa.
Alfa menoleh ke kanan dan ke kiri. Ia bingung memilih antara berkenalan dengan anak-anak desa yang sedang menggoda angsa, angsa tersebut sekarang balas menyerang kedua anak desa itu, atau melihat-lihat sungai dan persawahan yang sudah menarik perhatiannya ketika ia pertama kali memasuki desa tempat ia tinggal sekarang ini. Ketika si angsa berhasil mematuk kaki anak kedua, bocah kecil dengan rambut keriting kemerahan, Alfa memutuskan kalau berkenalan dengan anak-anak tersebut belum aman untuk dilakukan sore ini. Dengan riang ia melangkahkan kakinya ke persawahan.
Persawahan itu membentang luas seperti permadani berwarna hijau. Ada beberapa gubuk yang didirikan tiap beberapa petak sawah. Sementara itu orang-orangan sawah menjulang menakutkan tidak jauh dari tempat Alfa berdiri.
Alfa berjalan berhati-hati menelusuri pematang sawah. Ia menyapa beberapa petani yang sedang menyiangi padi. Kemudian Alfa menghampiri salah satu gubuk dan ditawari pisang goreng oleh keluarga petani yang sedang menyantap makan siang. Sambil menggigiti pisang gorengnya yang manis dan renyah, Alfa kembali menelusuri pematang.
Tiba-tiba Alfa terlonjak kaget. ”Ada ular!” pekik Alfa ketika melihat sesuatu yang licin dan panjang bergerak-gerak diantara padi di dekat pematang.
Putra keluarga petani yang memberi Alfa pisang goreng tertawa. Ia turun dari gubuk dan berlari lincah menghampiri Alfa.
”Ini bukan ular.” kata Si Anak Petani. Dengan cekatan ia menangkap binatang tersebut dan menggoyang-goyangkannya di depan wajah Alfa. ”Ini namanya belut. Enak sekali kalau dimakan. Kau mau? Ibumu bisa memasakkannya untukmu.”
Si Anak Petani tersenyum lebar. Wajahnya yang terbakar membuat giginya terlihat sangat putih. Ia memakai caping kecil seperti yang dipakai oleh ayahnya. Dalam senyumnya ada sebuah ketulusan yang membuat Alfa yakin kalau anak petani itu tidak bermaksud mengolok-oloknya.
”Eh, tidak usah saja deh. Aku lebih senang melihat binatang itu hidup bebas.” kata Alfa namun tak urung mundur selangkah ketika belut yang dicengkeram Si Anak Petani bergoyang-goyang hampir mengenai wajahnya.
Si Anak Petani tampak keheranan. Tapi ia melepaskan belut tersebut sesuai keinginan Alfa.
”Namaku Alfa.” kata Alfa. ”Kalau kamu?”
Si Anak Petani menegakkan tubuhnya dan tersenyum lagi. ”Namaku Rahman. Kamu anak baru ya di lingkungan ini?”
Alfa menganggukkan kepalanya. Kemudian mereka berdua berjabat tangan.
”Aku baru saja mengantar makan siang untuk bapak bersama ibuku. Sekarang aku mau mencari kerang untuk lauk makan malam kami. Kamu mau ikut?”
”Tentu saja.” kata Alfa senang.
Mereka berdua berjalan menuju sungai kecil yang berada tidak jauh dari persawahan. Sungai tersebut dikelilingi pepohonan tinggi yang Alfa tidak ketahui namanya. Angin semilir berhembus sejuk menyegarkan tengkuk Alfa yang basah oleh keringat.
”Hei, itu ada teman-temanku,” kata Rahman. ”Ayo, kukenalkan pada mereka.”
Rahman berlari mendahului Alfa. Ia meloncat tanpa ragu-ragu ke sungai dangkal di hadapan mereka dan menghampiri dua anak yang masing-masing membawa ember kecil. Alfa mengenali kedua anak tersebut sebagai anak yang mengganggu angsa di dekat rumahnya.
”Alfa! Ayo kemari!” panggil Rahman. Ia melambai-lambaikan tangannya dengan tidak sabar.
Alfa ragu-ragu sejenak. Namun dengan segera ia tidak bisa menahan godaan air sungai yang terlihat sejuk itu. Tanpa melepaskan sendalnya, Alfa memasuki sungai dengan hati-hati. Air sungai tersebut hanya mencapai lututnya. Airnya terasa dingin menyegarkan membuat Alfa sedikit tergoda untuk mencelupkan kepalanya sekalian.
”Alfa, ini Bandi dan Agus. Teman-teman, ini Alfa. Dia baru saja pindah ke desa kita. Hari ini tepatnya.” kata Rahman.
Alfa bersalaman dengan Bandi dan Agus. Bandi adalah anak berambut keriting kemerahan yang dipatuk oleh angsa tadi. Sementara itu Agus bertubuh gempal dengan rambut hitam lurus dan hidung sedikit pesek.
”Hei, aku tahu siapa kamu.” kata Agus. ”Keluargamu membeli rumah di sebelah rumahku.”
Alfa mengangguk. ”Aku juga tahu siapa kalian berdua. Kalian yang tadi mengganggu angsa-angsa di dekat rumahku.”
Bandi dan Agus tertawa.
”Kami hanya ingin memperoleh dua lembar bulunya. Untuk tugas prakarya sekolah besok pagi. Bulunya harus dicelupkan ke pewarna, ditempelkan ke kertas putih dan seterusnya. Tapi mendapatkan bulu angsa jelas-jelas sebuah tantangan. Kaki Bandi dipatuk sementara siku tanganku sedikit lecet sebelum kami mendapatkan dua lembar bulu.” jelas Agus.
”Ooh...” Alfa manggut-manggut. ”Aku juga mendapatkan tugas itu di sekolahku yang lama. Aku mencabut bulunya dari kemoceng di rumah.”
Bandi dan Agus serentak menepuk kepala bersamaan. ”Iya juga ya! Kenapa kami tidak memakai bulu dari kemoceng saja?” Mereka berempat tertawa bersama-sama.
”Hei, lihat. Kalian berdua sudah mendapatkan banyak kerang. Bahkan ada kepiting juga.” kata Rahman sambil menengok ember Bandi dan Agus.
”Untuk dimakan?” tanya Alfa.
”Tentu saja tidak.” kata Bandi tertawa. ”Kau tidak bisa memakan kepiting sungai.”
”Kami masih akan menelusuri sungai. Kalian berdua mau ikut?” tanya Agus.
Rahman mengeluarkan kresek hitam dari saku celananya. ”Tentu saja.” sahut Rahman sambil mengibaskan kreseknya.
Mereka berempat menelusuri sungai bersama-sama. Dengan cepat Alfa belajar mencari kerang berwarna coklat kehijauan dari balik bebatuan dan pasir di dasar sungai. Ia memekik kecil ketika melihat seekor kepiting yang berenang-renang mengikuti arus sungai. Ia sangat senang memperhatikan ikan-ikan kecil berwarna keperakan yang bermain-main di dekat kakinya. Ikan-ikan itu bersembunyi dengan cepat kalau tangan Alfa sudah mau menyentuh mereka.
”Cantik sekali ikan-ikan ini.” kata Alfa. Bandi menoleh. ”Ikan jenis itu tidak terlalu enak dimakan. Tapi, ya, kurasa mereka memang cantik. Aku suka warna peraknya.”
Alfa tersenyum dan meneruskan mencari kerang. Ia bersorak setiap kali menemukan kerang yang besar. Ketiga teman barunya terlihat senang dengan semangat Alfa dan mengajarinya hal-hal baru seperti nama-nama tumbuhan di sekitar mereka, binatang apa saja yang mudah dicari di sungai serta enak dimakan, dan lain sebagainya.
”Tumbuhan itu namanya talas. Bisa membuat gatal-gatal.” kata Rahman kepada Alfa yang sedang memelototi tumbuhan berdaun lebar di tepi sungai. Alfa langsung menarik tangannya yang sudah terulur untuk menyentuh daunnya. ”Tapi kalau kau tahu cara mengolahnya, batang talas bisa menjadi makanan yang lezat.”
Alfa sedikit tidak percaya kalau batang tanaman apapun bisa terasa lezat. Tapi ia tidak mengatakan apapun.
Mereka berempat bercanda-canda dengan berisik, terkadang memercikkan air sungai ke wajah kawannya yang lain. Pakaian Alfa sudah separo basah. Akan tetapi ia tidak bisa berhenti tertawa. Ketiga teman barunya itu sangat lucu. Terutama ketika mereka sudah mulai berdebat. Saat ini mereka mulai mendebatkan jenis dan ukuran cacing untuk memancing di empang yang terletak di perbatasan desa. Kebanyakan Alfa hanya mendengarkan dengan tertarik karena ia tidak pernah mencari cacing untuk memancing. Bahkan sebenarnya ia belum pernah memancing apapun. Ia harus ingat untuk meminta teman-temannya agar tidak lupa mengajaknya ketika mereka pergi memancing.
Akhirnya, ketika plastik yang dibawa Rahman mulai sedikit menggembung dan ember-ember Bandi dan Agus terlihat agak penuh, Alfa sudah merasa sebagai anak desa sejati. Ia bahkan tidak terlalu kaget lagi ketika seekor belut melintas cepat diantara kaki-kakinya.
Kalau ia sudah sampai di rumah nanti, akan ada banyak hal yang ingin ia ceritakan kepada ibunya, pikir Alfa. Hari ini ia benar-benar mengalami petualangan yang menakjubkan! Dan ibunya juga harus tahu kalau Alfa sudah mendapatkan beberapa teman baru yang hebat. Coba kalau keluarga mereka memutuskan pindah ke desa dari dulu-dulu saja, angan Alfa.
Ketika matahari semakin rendah di ufuk barat, Alfa berlari-lari bersama teman-teman barunya. Mereka berlomba-lomba mendahului satu sama lain untuk mencapai rumah masih-masing. Kedua tangan Alfa penuh oleh kerang-kerang yang masih basah oleh air sungai. Kira-kira ibu bisa memasak kerang-kerang ini atau tidak, ya?

*****

0 komentar:

Post a Comment