Variabel Internasional dalam Pembuatan Kebijakan Luar Negeri

Label: , , ,
Dalam analisis kebijakan luar negeri level makro, para teoretis cenderung tidak tertarik untuk menciptakan teori-teori mengenai kebijakan luar negeri. Oleh karena itu, untuk melakukan analisis sering kali harus menggunakan suatu ’hubungan’ –sebagai contohnya adalah teori hubungan internasional dengan kebijakan luar negeri— dikarenakan teoretis yang bersangkutan kemungkinan tidak dapat menghubungkannya sendiri. Analisis kebijakan luar negeri kemudian harus diteliti dalam semua level analisis demi menemukan hasil yang memungkinkan untuk pilihan kebijakan luar negeri.

Analisis kebijakan luar negeri dalam level makro memiliki dua variabel penting yaitu atribut nasional dan sistem internasional. Atribut nasional meliputi hal-hal yang juga diasosiasikan sebagai kekuatan dari negara-bangsa. Contoh dari atribut nasional adalah sumber daya alam, kondisi geografis, karakteristik populasi, dan sejenisnya.

Sumber daya alam merupakan salah satu atribut nasional yang sangat populer dalam pembuatan kebijakan luar negeri. Negara-negara yang mayoritas wilayahnya berupa gurun, misalnya, keberadaan air dan akses terhadap sungai-sungai besar sangatlah penting. Masalah pertikaian atas Sungai Eufrat antara Turki, Siria dan Irak mempengaruhi politik luar negeri ketiga negara tersebut terhadap satu sama lain mengingat ketiganya sangat bergantung kepada aliran Sungai Eufrat untuk memenuhi kebutuhan hidup penduduknya. Turki yang memiliki hulu sungai Eufrat mengambil keuntungan atas letak geografisnya dengan membangun dua buah dam besar untuk tenaga listrik di Sungai Eufrat. Akibatnya, aliran air ke Siria berkurang dengan dengan drastis. Siria kemudian membangun dam yang akhirnya mereduksi aliran air ke Irak. Sebagai akibatnya, Irak yang mengalami kekurangan air yang mempengaruhi ke bidang agrikulturnya. Kondisi ini menunjukkan posisi strategis Turki atas Siria serta Siria akan Turki berkaitan dengan sumber daya air. Akan tetapi sebagai akibatnya perang nyaris pecah diantara Siria dan Turki pada tahun 1975.

Kondisi geografis juga memiliki pengaruh dalam pembuatan kebijakan luar negeri suatu negara. Dalam kasus Kashmir, dataran tinggi tersebut memiliki posisi geografis diantara India dengan Pakistan, dua negara yang selalu mengalami konflik sejak terbentuknya Pakistan sebagai sebuah negara. Dikarenakan posisi Kashmir yang strategis untuk mengontrol perang atau perdamaian antara kedua negara, India dan Pakistan berusaha untuk menguasai dataran tersebut dengan kebijakan luar negeri yang cenderung offensif satu sama lain.

Selain kondisi geografis, kedekatan geografis terkadang menimbulkan implikasi kebijakan luar negeri atau bahkan pertikaian yang berkaitan dengan batas antar negara. Contohnya adalah masalah pertikaian perbatasan antara Indonesia dengan Malaysia. Kasus yang terkenal antara kedua negara ini adalah perebutan Pulau Sipadan-Ligitan yang kemudian dimenangkan oleh Malaysia, namun menimbulkan kekecewaan diantara warga Indonesia. Hudson menjelaskan bahwa negara yang memiliki lebih banyak batas memang cenderung lebih terlibat dalam konflik regional dibandingkan dengan negara yang memiliki lebih sedikit batas.

Atribut nasional yang tidak boleh dilupakan dalam era perdagangan bebas ini adalah kapabilitas ekonomi. Negara-negara terbelakang dan negara berkembang memiliki kecenderungan untuk membuat kebijakan luar negeri yang bergantung kepada negara lain yang lebih kuat secara ekonomi. Sebagian negara-negara di Afrika memiliki ketergantungan ekonomi yang cukup besar terhadap Uni Eropa terutama di beberapa komoditas tertentu. Contohnya, negara-negara Afrika Barat memiliki komoditas ekspor utama biji cokelat yang hasilnya digunakan untuk menyokong kehidupan penduduknya. Oleh karena itu negara-negara Afrika Barat cenderung berhati-hati dalam membuat kebijakan luar negeri, terutama yang berkaitan dengan negara yang mengimpor produk biji cokelatnya, agar hubungan kedua negara tetap berjalan baik sehingga kegiatan ekspor-impor tidak terganggu.

Variabel yang kedua yaitu sistem internasional, merupakan level abstraksi tertinggi dalam ilmu hubungan internasional. Berdasarkan pandangan kaum neorealis, sistem internasional memiliki sifat dasar anarkis sehingga menimbulkan perilaku disfungsional seperti dilema keamanan. Kerjasama antara negara satu dengan lainnya sulit dilakukan karena tidak adanya kepercayaan terhadap satu sama lain. Menurut Kenneth Waltz dalam buku berjudul Theory of International Politics (1979), negara melihat negara-negara lainnya sebagai musuh potensial dan yang dapat menjadi ancaman bagi keamanan nasionalnya sehingga menyebabkan dilema keamanan yang mempengaruhi kebijakan luar negeri masing-masing negara. Akan tetapi struktur sistem merupakan faktor terpenting yang mempengaruhi tingkah laku para aktornya. Struktur memaksa aktor bertindak dengan cara-cara tertentu dan menentukan tindakan yang akan diambil. Oleh karena itu, negara-negara besar berperan penting dalam perubahan struktur internasional. Kebijakan luar negeri AS sebagai contohnya memiliki berbedaan antara tahun 1935 dengan tahun 1945; tahun 1955 dengan tahun 1989; atau tahun 1989 dengan tahun 1992, yang sangat dipengaruhi oleh sistem internasional. Sebelum tahun 1989 misalnya, kebijakan luar negeri AS sangat hati-hati terhadap Uni Soviet yang merupakan tandingan AS dalam sistem internasional yang cenderung bipolar. Pasca keruntuhan US pada tahun 1990, sistem internasional cenderung multipolar sehingga kebijakan luar negeri AS mulai terfokus pada usahanya untuk mempromosikan perdagangan bebas.
Berbeda dengan pandangan neorealis, sistem internasional menurut kaum marxis merupakan sebuah siklus panjang dari sebuah teori yang terus bergerak maju menuju kondisi ’berakhirnya sejarah’. Marx menjelaskan bahwa pergerakan sejarah, termasuk apa yang saat ini kita sebut sebagai sistem internasional berawal dari sebuah istilah materialisme, yaitu suatu kondisi dimana berbagai peristiwa yang terjadi di dunia ini berawal dari keinginan untuk menguasai suatu materi. Hal ini kemudian yang menjadikan adanya pemisahan kelas antara kaum yang memiliki materi dengan kaum buruh yang hanya memiliki tenaga. Sejarah yang merupakan cerita tantang dialektikal perpecahan antar kelas akan berakhir apabila kaum proletariat di seluruh dunia bangkit dan melakukan perlawanan. Sejarah akan berakhir ketika dunia menjadi global dan tidak ada lagi kaum yang miskin maupun yang kaya.

Berdasarkan penjelasan marxis diatas, dan digabung dengan teori Lenin mengenai pemisahan kelas dalam sistem internasional, struktur perekonomian internasional digambarkan sebagai kepentingan negara-negara besar terhadap negara-negara berkembang atau negara-negara miskin dimana negara-negara besar memiliki kebijakan luar negeri yang cenderung memanfaatkan negara kecil untuk mempertahankan kekuasaannya, sementara negara kecil memiliki kebijakan luar negeri yang cenderung dependen terhadap negara besar baik secara ekonomi, politik, bahkan militer.

Terakhir, baik atribut nasional maupun sistem internasional memiliki pengaruh yang sangat besar dalam pembuatan kebijakan luar negeri. Atribut dari sebuah sistem cenderung membentuk sebuah jaringan insentif dan disinsentif. Jaringan tersebut juga dapat terbentuk dari aktor yang memiliki prioritas yang lebih besar dibandingkan dengan nilai yang disediakan dalam jaringan yang sudah ada. Hal yang sama juga dapat dikatakan mengenai atribut nasional. AS yang memiliki wilayah yang sangat luas dan SDM yang banyak memiliki kecenderungan untuk berperan sebagai hegemon. Belanda di lain pihak berhasil membentuk dataran di bawah level ketinggian laut sehingga menjadi negara dengan kekuatan maritim terbesar di dunia.


Referensi:
Couloumbis, Theodore A. dan James H. Wolfe. 1986. Introduction to IR: Power and Justice. USA: Prentice-Hall Inc.
Hudson, Valerie. 2007. Foreign Policy Analysis: Classic and Contemporary Theory. USA: Rowman & Littlefield Publisher, Inc.
Plano, Jack C. and Roy Olton. 1982. The International Relation Dictionary. England: Cho Press Ltd.

0 komentar:

Post a Comment